Nonang di Bakkara
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Ia salah seorang cucu dari Sisingamangaraja ke dua belas yang tinggal di rumah yang bersebelahan dengan makam Sisingamangaraja ke sepuluh, di kompleks istana Dinasti Sisingamangaraja, di Bakkara. Ia bersedia memberi nomor kontak, tetapi ketika namanya saya tanya, ia menjawab “ditulis istana saja”. Jawaban ini memberi sesuatu kepada saya. Ia tak tahu bahwa tak hanya satu dan tak hanya dua orang istana di Nusantara yang saya simpan nomor kontaknya. Itu yang pertama.
Kedua, rupanya “istana” itu masihlah sebuah kewibawaan penting tak hanya di tengah masyarakat. Saya duga “istana” juga bermakna akses ke badan-badan pemerintahan terutama di sekitar eks Tapanuli (Utara, Toba, Tobasa, Humbahas dan Samosir). Mungkin terkait dengan kepariwisataan, atau yang lain-lain. Kesan “istana” bagi kalangan pemerintahan lokal, dalam persepsinya, menurut saya, cukup bagus. Maka ia memilih nama itu yang akan saya tulis saat menyimpan nomor kontaknya pada handphone saya. Baiklah.
Nonang (perbincangan) ini berlangsung beberapa pekan lalu. Saya yakin nonang ini meninggalkan kekecewaan mendalam buat lawan dialog saya itu karena saya membongkar mitos yang pada umumnya dipegang teguh oleh mayoritas orang Batak hingga kini. Saya anggap enteng mitos itu, saya sepelekan mitos itu, dan saya merontokkannya dengan begitu ringan, tanpa beban. Memang tanpa beban. Tetapi saya rasa lawan bernonang saya memetik sebuah pemikiran baru dari seseorang yang selalu berfikir anti-mainstream.
Banyak misteri di sekitar Sisingamangaraja, teristimewa Sisingamangaraja ke dua belas. Tentang kewafatan dan jasad yang dikubur di Tarutung untuk kemudian dipindahkan ke Soposurung, Balige. Tentang agamanya, berhubung fakta-fakta yang multi-interpretatif antara lain terhadap bendera, pedang, stempel berpernyataan Hijrah Nabi 1304 (?) dan dituliskan dalam aksara Arab Melayu.
Tulisan ringkas ini menghindari misteri-mesteri lama yang sudah menjadi catatan umum itu. Biarlah hal-hal yang sangat sensitif itu terbuka sendiri kelak, baik secara kebetulan maupun oleh penelitian pakar yang lebih jujur dengan penyajian data lebih kuat dan akurat. Tak hanya sekadar mengulang-ulang kalmat-kalimat lama bahwa agama yang dianut oleh Sisingamangaraja ke dua belas adalah agama asli Batak. Juga adanya sesuatu yang selama ini disebut sassus yang tetap dibiarkan menjadi sassus terlalu lama bahwa sudah sejak zaman Belanda orang mendengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja memeluk agama Islam. Katanya para penginjil RMG (Rheinische Missions-Gesellschaft) yang pertama-tama menyebarkan hal ini, dengan menghubungkan kerjasama Singamangaraja ke dua belas dengan Aceh untuk kesekutuan menentang para penginjil RMG. Tetapi ini dianggap tak kuat, karena motifnya hanya untuk meyakinkan pemerintah Belanda agar segera menganeksasi Tanah Batak. Itu yang kemudian dibahas sangat mendalam oleh Uli Kozok dalam sebuah bukunya, bahwa atas permintaan penginjil RMG, terutama Ludwig Ingwer Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Singamangaraja ke dua belas di Bakkara dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda. Aneh juga kalau keislaman Sisingamangaraja tidak bermakna apa-apa sebagai tantangan bagi missionaries RMG tetapi mereka memohon agar Belanda menggempurnya dengan segenap kekuatan militer yang dimilikinya hingga keberadaan kerajaan itu pun “sirna” hingga kini.
Nonang ini saya fokuskan kepada Sisingamangaraja ke tiga belas yang mestinya hadir setelah Sisingamangaraja ke dua belas dianggap telah wafat. Kita ketahui, beberapa tahun terakhir muncul di Indonesia gerakan yang merujuk kembali sejarah dan kekuatan kerajaan-kerajaan nusantara. Mereka berkonsolidasi, mematut diri, dan berdiplomasi kian kemari hingga Negara pun berperhatian khusus kepada mereka. Jogjakarta malah mendapat perlakuan istimewa beroleh hak-hak khusus menyelenggarakan pemerintahan di luar koridor undang-undang yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia.
Jika semua kerajaan-kerajaan nusantara yang berkonsolidasi itu menginginkan perlakuan dari Negara sejajajar dengan perlakuan terhadap Jogjakarta, maka apa gerangan pemikiran di kalangan pewaris istana Sisingamangaraja? Adalah hal normal mereka menginginkan kuasa, atau klausul hukum yang memberi pengakuan lebih kuat terhadap keberadaan mereka selain pengakuan sejarah belaka. Tentu tidak perlu muncul pemikiran liar: jangan-jangan secara diam-diam mereka juga berharap ada arah perkembangan baru Negara menjadi Negara-negara bagian berbasis kerajaan-kerajaan nusantara itu, tanpa harus merujuk kepada politik pecah-belah van Mook.
Mombang Marsundut dan Piso Gaja Dompak
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela, dari Bakkara, yang lebih dikenal dengan nama jabatan kebesarannya sebagai Sisingamangaraja ke dua belas adalah raja terakhir dari dinasti ini yang oleh banyak literatur berbahasa Inggeris kerap pula disebut dengan kedudukannya yang amat magis “the last priest-king of the Batak peoples of North Sumatra”. Tidak ada keraguan Indonesia atas jasa-jasanya melawan kolonial Belanda, melalui gerilyanya yang panjang. Pada tahun 1961, untuk semua jasa-jasanya itu, almarhum Sisingamangaraja ke dua belas dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela lahir tahun 1849, dan dinobatkan menjadi Sisingamangaraja ke dua belas menggantikan ayahandanya wafat pada tahun 1867.
Jika boleh tidak mombang marsundut (turun-temurun), saya Shohibul Anshor Siregar dari Pahae, ingin naik tahta menjadi Sisingamangaraja ke tiga belas. Itu pertanyaan yang saya sasarkan pertama. Jawabannya sudah saya tahu lama sebelum ini, bahkan sejak saya mendengar cerita heroisme raja ini dari guru saya di bangku SR tahun 1960-an. Lalu mengapa saya ajukan pertanyaan ini? Ya, saya hanya memerlukan landasan yang kuat untuk memasuki pertanyaan berikutnya, yakni mengapa dinasti Sisingamangaraja tidak berlanjut.
Teman marnonang saya manolak. Dinasti Sisingamangaraja harus mombang marsundut, suksesinya harus di kalangan marga Sinambela, dan dari keturunannya langsung, serta yang mustahak. Sekiranya hari ini akan dilangsungkan penentuan siapa di antara keturunan yang mustahak untuk diamanahkan jabatan kerajaan Sisingamangaraja ke tiga belas, maka menurut mitos lama dan juga yang dikuatkan oleh teman nonang saya, metodenya adalah mencabut Piso Gaja Dompak dari sarungnya. Piso Gaja Dompak adalah pisau simbol penting kerajaan dengan gagang berbentuk kepala gajah. Tentu diyakini amat magis, dan kekuatannya begitu tinggi hingga mampu menjadi alat seleksi yang diterima oleh seluruh orang Batak untuk menjadi satu-satunya cara melakukan suksesi.
Teman nonang saya berkata: “Piso Gaja Dompak itu katanya dibawa Belanda ke negerinya (Leiden), disimpan di sebuah musem dan mereka tak akan bersedia menyerahkannya sebelum Indonesia memiliki sebuah museum penyimpanan yang standar untuk pengamanan dan pengawetan sebuah dan banyak benda-benda berharga warisan leluhur Batak termasuk piso Gaja Dompak itu”.
Beberapa hal saya kemukakan sebagai sangkalan. Pertama, siapa yang mengatakan bahwa sukses dinasti Sisingamangaraja harus melalui ujian mencabut piso Gaja Dompak dari Sarungnya? Seberapa percaya kita terhadap “mitos” ini sedangkan kita semua tahu bahwa Belanda dan para missionaries dari RMG menginginkan Batak struktur dan nilai diporak-porandakan untuk dibentuk dengan nilai kekristenan yang ramah kepada penjajah Belanda?
Saya harus curiga. Saya anggap ini mitos yang wajib ditolak. Dalam kisah yang diceritakan oleh beberapa literatur, setelah Sisingamangaraja ke dua belas dinyatakan terbunuh, mayatnya “dipamerkan” di Balige untuk memastikan kepada seluruh halayak bahwa raja dan pemimpin sakti mereka sudah meninggal. Sisa pasukan Sisingamangaraja ke dua belas terus dikejar. Keluarganya ditahan dan dibuang ke berbagai tempat. Semua itu lazim dilakukan oleh Belanda untuk memutus jaringan dan mengikis habis potensi munculnya perlawanan baru oleh keturunan yang dianggap mampu dan berharisma.
Saya menduga RMG dan Belanda sengaja menciptakan mitos prasyarat suksesi dengan mencabut piso Gaja Dompak dari sarungnya, sedangkan mereka membawa piso Gaja Dompak itu ke Belanda. Dalam catatan banyak penulis perlawanan terhadap Belanda tidak serta-merta berhenti pasca dinyatakannya Sisingamangaraja ke dua belas wafat. Tetapi wacana untuk meneruskan kerajaan itu tidak muncul. Berarti tujuan mereka tercapat dengan sangat efektif.
Kedua, jika hukum selalu memberi ganjaran kepada pencuri, maka apa hukuman yang harus kita berikan kepada Belanda dengan membawa piso Gaja Dompak yang menjadi simbol penting kerajaan ke negerinya? Batak yang besar harus marah, dan mengambil piso Gaja Dompak dari tangan penjajah Belanda sekaligus menghukum negeri itu setimpal. Pertanyaan-pertanyaan lain agak lebih sensitif, tidak akan saya kemukakan dalam tulisan ini.
“Angan-angan nama i” (tampaknya semua itu terasa hanya menjadi sebuah hayalan belaka), kata teman nonang saya itu menjawab. Saya menilai bahwa ia merasa semua yang saya kemukakan sangat masuk akal. Ini saya pastikan setelah berulang kali mencermati video yang saya buat khusus selama nonang. Tetapi dalam ketak-berdayaan seperti sekarang ini sangat tidak mungkin untuk melakukan semua yang saya bayangkan, yakni mengambil piso Gaja Dompak ke Leiden, menghukum Belanda karena telah mencuri simbol kerajaan Batak, dan mengukuhkan seseorang di antara keturunan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela menjadi Sisingamangaraja ke tiga belas.
Penutup
Dalam pikiran saya kerajaan Sisingamangaraja harus dilanjutkan, meski bukan untuk sesuatu yang akan memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana keberadaan Kerajaan-kerajaan lain di Nusantara seperti kerajaan Deli yang tak berhenti melakukan regenerasi sesuai kebutuhannya.
Memang, di tengah ketiadaan sumberdaya (terutama ekonomi), sebuah kerajaan hanyalah akan menjadi simbol-simbol tak bermakna yang menunggu giliran sirna ditelan zaman. Saya sadar betul tentang itu, di samping kondisi lokal Tapanuli yang kini sudah jauh berubah, baik karena peta demografis keagamaan dengan segenap konsekuensinya, maupun karena modernisasi yang begitu cepat meninggalkan akar-akar budayanya, yang kesemuanya itu pasti menjadi faktor resistensi.
Namun pertanyaan tetap tak terjawab, mengapa dinasi Sisingamangaraja berhenti begitu saja pada generasi ke dua belas. Dinasti ini perlu dikonsolidasi. Dalam kepentingan yang jelas untuk wisata, pemerintah eks Tapanuli terlihat begitu bersemangat menggali nilai-nilai genuine. Tetapi mereka secara tidak adil memilah mana yang perlu dilupakan begitu saja.
Tentulah program yang belakangan dideklarasikan oleh Negara dengan berbagai obsesi bermagnitkan Danau Toba tak seyogyanya menganggap penghapusan permanen Dinasti Sisingamangaraja sebagai agenda prasyarat. Tidak elok begitu.
Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)