Selama Negara Biarkan TPL dan masyarakat Bertarung Tidak akan Ada Titik Selesainya

sentralberita|Medan~Dialog “Menakar Untung-Rugi Berdirinya TPL di Tanah Batak” digelar Eksponen Cipayung Plus, Jumat (25/6/2021) malam dengan pembicara Direktur PT TPL, Jandres Silalahi, Bill Clinton Simanjuntak dari Toba Youth Foundation, Komisi B DPRD Sumut M Andri Alfisah, Effendi Naibaho (MPM Unika 2011-2012), Andika Syahputra (HMI Sumut 2012-2014) dan moderator Turedo Sitindaon (GMNI Sumut 2012-2014).

Menurut Bill Clinton, pro dan kontra akan terus berdatangan terhadap aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tanah Batak, meski menurut pihak TPL mereka sudah melakukan banyak hal positif kepada masyarakat.

“Yang kita simpulkan dari konflik itu sederhana saja. Selama Negara masih membiarkan kedua belah pihak (TPL dan masyarakat/LSM) bertarung bagaikan kakak dan adik berkelahi, tidak akan ada titik selesainya,” kata Bill Clinton.

Karena, dari pertemuan yang disampaikan perwakilan masyarakat tadi ternyata CSR (Coorporate Social Responsibility) yang dipermasalahkan. Pembagian dana yang lelet. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwasannya ini murni konflik antara masyarakat dengan TPL. Harus memperhatikan faktor-faktor lain yang ada dalam pusaran permasalahan ini, supaya bisa clear.

Makanya, terlalu cepat kalau ditarik kesimpulan TPL merugikan atau TPL menguntungkan, sebelum semua fakta dibuka, sebelum dana-dana CSRnya dibuka, kemana saja dana CSR itu digunakan selama ini.

“Tidak juga sebelum apa rencana ke depan ini dibahas bersama-sama. Jadi, ini masih serba kabur. Apabila kita kedepankan emosi kita yang ada kita makin jauh, makin berjarak saling melukai. Mungkin disaat-saat ini perlu cooling down pakai kepala dingin cari solusi bersama,” jelasnya.

Terkait penutupan HGU (hak guna usaha) TPL, menurut Bill Clinton ada persyaratan yang harus diperhatikan. Pertama, kalau TPL tidak melaksanakan kewajiban, kedua kalau TPL dengan sendirinya mengembalikan ke Negara, ketiga kalau TPL terbukti melakukan pelanggaran yang membuat izinnya dicabut.

Selama hal-hal tersebut bisa dibuktikan, maka petisi sekalipun harus dibawa kepada hukum karena ini Negara hukum.
“Saya juga sepakat kalau buat petisi, tapi kasih petisi yang mendasar untuk kita perjuangkan bersama ke meja hukum. Kan, ada pengadilan. Kalau masalah lingkungan ayo kita buat class action bersama-sama dengan masyarakat.

Masalah hukum adat, mari kita tuntut hari ini surat pengakuan adat untuk tanah Batak dan sekitarnya oleh Presiden Joko Widodo,” terangnya.

Soal ada tidaknya tanah adat di Sumatera Utara, menurut Bill Clinton, tanah adat menurut versi hukum agraria atau tanah adat menurut versi sejarah dan masyarakat, ini harus dibedakan.
“Kita hati-hati di sini. Karena, kalau kita memperhatikan tantangan yang ada di UU Agraria amat banyak masyarakat adat yang akan dilupakan dan dihapuskan dari negeri ini. Karena banyak masyarakat adat yang dalam perjalanan,” terangnya.

Indonesia kata dia, masih 76 tahun merdeka sementara Indonesia dijajah 350 tahun. Tidak semua masyarakat adat bisa bertahan 350 tahun dijajah.

“Kalau kita bisa simpulkan setiap pasal tersebut, maka hari ini, banyak masyarakat adat tidak memenuhi syarat. Tapi karena kita mengakui adanya masyarakat adat di UUD maka nggak salah juga menggali dan menghidupkan kembali,” kata dia.

Menurutnya, masyarakat adat itu memiliki tujuan yang sama dengan badan usaha-badan usaha yang berdiri. Sama-sama ingin mengelola tanah yang ada, sumber daya yang ada. Akan tetapi, proses dan cara pengelolaannya berbeda.

Kalau perusahaan, pakai pabrik kalau masyarakat pakai gotong royong.
“Tinggal bagaimana sebenarnya memberikan harmonisasi antara pabrik dengan gotong royong,” jelasnya.

Bill Clinton juga mengatakan, tidak ada bedanya TPL atau perusahaan lain di Tanah Batak selama apa yang menjadi hak masyarakat ataupun hak TPL tidak berjalan seimbang, maka perusahaan manapun yang akan datang akan rugi. Hanya bisa tercapai keuntungan apabila masyarakat senang, pemerintah beruntung dan perusahaan juga untung.

Bill Clinton Simanjuntak menegaskan tutup TPL jika terbukti merugikan dan pertahankan TPL jika terbukti masih bisa memberi keuntungan.

Terlalu Dini Serukan Tutup TPL


Sementara itu, Turedo Sitindaon mengatakan, kesulitan ekonomi saat ini menjadi salah satu masalah yang harus diperhatikan sebelum melakukan gerakan maupun membangun isu yang berdampak pada masyarakat luas.

Jangan sampai gerakan maupun isu yang dibangun justeru membawa bencana bagi masyarakat yang tengah berjuang melawan pandemi covid-19.

“Isu dan gerakan yang dibangun harus memperhatikan kondisi nyata yang terjadi sekarang, masa pandemi Covid-19 ini membuat kita harus berpikir panjang terhadap apapun aksi dan isu yang sedang dibangun,” katanya.

Memang kata mantan Korda GMNI Sumut ini, menyataan sikap untuk mendesak penutupan TPL merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam konstitusi. Akan tetapi, pernyataan dan aksi tersebut juga harus dibarengi dengan cara pandang yang proporsional terhadap keberadaan perusahaan bubur kertas tersebut di masa pandemi saat ini.

“Kita tadi bisa mendengar, ketika perusahaan-perusahaan besar mulai melakukan pemangkasan jumlah karyawan akibat terkena dampak covid-19.

Namun, dari apa yang disampaikan pihak TPL tadi, hingga saat ini tidak ada merumahkan karyawannya, CSR tetap jalan. Artinya, ada juga hal yang harus kita apresiasi dari mereka. Jadi harus proporsional kita melihatnya terkhusus mengingat masa pandemi ini,” ujarnya. (SB/01)