Demokrasi Transaksional

Anang anas Azhar
Anang anas Azhar

Oleh : Anang Anas Azhar

Demokrasi Indonesia mengalami pasang surut. Di masa Soekarno, demokrasi politik

kita tanpa batas. Calon perseorangan dan pembentukan partai politik terlalu

demokratis, dan jumlahnya pun di atas seratus. Di masa Soeharto, demokrasi hanya

milik penguasa dari sebuah rezim. Sedangkan di era Gus Dur, Mega dan SBY,

demokrasi menjadi komoditas politik untuk menunggangi sebuah kepentingan parpol

yang berkuasa.

Yang lebih parah, demokrasi di era reformasi dijadikan sebagai demokrasi transaksional

yang tidak ada habis-habisnya. Demokrasi menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan tak

jarang demokrasi dijadikan sebagai modal politik transaksional untuk menguasai

kekuasaan. Karena demokrasi, politisi kita banyak yang terjerembab dalam kasus

korupsi, karena demokrasi juga para politisi kita lupa memperjuangkan aspirasinya

untuk rakyat. Bahkan, demokrasi menjadi sebuah politik dalam kekuasaan berjalan

dinamis.

Tak jarang pula, demokrasi menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang terlalu bebas.

Saking bebasnya, setiap penyelenggaraan pemilihan umum, rakyat kita terikat bebas

memilih atau tidak. Rakyat kita terkadang sudah bosan dengan janji-janji partai politik,

elit partai politik yang hanya bercerita ideal, namun lupa dalam merealisasikannya.

Praktik politik transaksional, sering kita dekatkan kepada politik uang. Politik uang

semakin marak dan tak terkendali. Perjalanan demokrasi kita dalam Pemilu Legislatif

yang tinggal satu bulan lebih ini, bakal terancam tidak berkualitas dengan implikasi

buruk pada masa depan demokrasi. Masa demokrasi kita sedang dipertaruhkan dalam

Baca Juga :  Inovasi "Polisi Peduli, Kado Istimewa HUT Bhayangkara 2025

demokrasi politik menjelang Pemilu 2014.

Ada fenomena yang menarik terkait demokrasi transaksional. Jangan memilih caleg

yang “menyogok” rakyat. Jika kelak dirinya terpilih, maka pada akhirnya akan minta

giliran untuk disogok oleh mitra kerjanya. Jika kelompok seperti mereka yang pada

umumnya terpilih, maka kita pun sudah dapat memperkirakan bagaimana wujud masa

depan negeri ini. Artinya, kita tidak punya alasan yang meyakinkan bahwa ke depan,

negara ini akan lebih baik.

Transaksional

Apa saja yang mengindikasikan demokrasi kita masuk dalam polituik transksional ?

Haruskah caleg yang memberi uang kita pilih untuk dijadikan sebagai wakil kita dui

legislatif. Sebaliknya, jika para legislator yang terpilih merupakan hasil dari politik

transaksional, setidaknya akan berimplikasi pada empat kondisi negatif pada politik

parlementer.

Pertama, setelah terpilih dan ia bertugas, maka dalam tugasnya dia sudah terbiasa

melanjutkan kebiasaan politik transaksionalnya kepada objek politiknya. Permainan

uang tetap saja menjadi panglima caleg itu, dalam menuntaskan semua persoalan yang

  • ada. Kedua, merebaknya praktik politik transaksional pada proses keterpilihan (bukan

keterwakilan) para caleg, merupakan kejahatan politik dalam demokrasi. Kejahatan

politik itu, sudah pasti mencederai proses demokrasi yang pada akhirnya melahirkan

demokrasi yang cacat. Demokrasi ini tidak dapat tegak dan lurus, ketika orang-

orangnya terlibat politik transaksional yang tidak mendidik.

Ketiga, politik transaksional yang dilakukan sebagian politisi kita, akan menggiring

Baca Juga :  Pemerintah Perlu Perkuat Digitalisasi UMKM

kepada demokrasu pembodohan. Rakyat dibodohi, demi menguasai sebuah

kekuasaan. Pembodohan politik seperti ini, pada akhirnya nanti akan mengikis

kesadaran politik masyarakat untuk menjadi pemilih bodoh dan mengikuti arus.

Keempat, politik transaksional hanya akan melahirkan politisi instans dari jauh dari

standard dan kualitas yang diharapkan.

Lantas bagaimana mengatasi agar jangan sampai modus politik transaksional ini

semakin merebak? Setidaknya, harus ada gerakan kampanye menolak politik kotor,

apalagi politik transaksional yang hanya meresahkan para pemilih kita. Model gerakan

ini harus melibatkan elit dan partai politik sebagai aktor utama dalam kontestasi politik

pemilu. Di sinilah peran partai politik mengatasi politik transaksional, yang semakin hari

semakin marak.

Kuncinya, partai politik harus meminimalisir demokrasu politik transaksional. Mengingat

kondisinya semakin menggurita, bahkan dikerjakan secara sistemik, terstruktur dan

massif, maka mau tidak mau peran partai politik harus menunjukkan taringnya

melakukan pendidikan politik bagi konstituen partai masing-masing.

Substandi meredam demokrasi politik transksional, adalah memberikan pendidikan

politik kepada rakyat kita, secara santun dan elegan. Dengan demikian, rakyat kita

menjadi sadar bahwa politik kotor yang dibalut dengan demokrasi transaksional,

merupakan wilayah terlarang dan mencederai demokrasi sesungguhnya. Semoga

pemilihan umum 9 April 2014 ini, kita terhindar dari demokrasi politik transaksional.

** Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Kandidat Doktor (S3) Konsentrasi

Komunikasi Islam Pascasarjana IAIN Sumut

 

 

Tinggalkan Balasan

-->