Hijrah Dari Korupsi

Anang anas AzharBagi umat Islam, hijrah tidak sekedar belajar dari proses ritual perjalanan (sirah) Nabi Muhammad SAW dalam hidupnya. Momentum hijrah harus berdampak kepada kehidupan pribadi maupun masyarakat kita, setelah meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW baik secara vertikal maupun horizontal.

 

Tahun baru Islam merupakan titik balik refleksi dari perbuatan kita. Hijrah menggambarkan pergerakan transpormatif untuk mengevaluasi diri secara personal, kelompok maupun yang lebih besar dalam sebuah negara. Perubahan hijrah sesungguhnya menggambarkan aplikasi gerakan yang berdampak kepada sebuah perubahan. Migrasi yang dilakukan Nabi Muhammad, dari sistem jahiliyah (primitif) menuju ruang terbuka yang terang bederang penuh dengan nilai-nilai keadaban.

 

Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madina, merupakan simbol perubahan. Ketika Muhammad menyerukan dakwahnya di Mekkah selama 13 tahun, beliau sukses dalam mengemban amanah itu. Nabi Muhammad SAW sukses memberikan inspirasi perubahan kepada umat Islam di Mekkah. Akhirnya praktik kenabian dari Muhammad SAW pindah ke Madina, yang muncul sebagai peradaban baru Islam menjadi sebuah negara yang memiliki aturan dan tata kelola pemerintahan yang kuat.

 

Peradaban baru Islam ini dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Dari sinilah, praktik-praktik Islam berkeadaban dimulai, segala jenis jual beli dalam bisnis diatur dalam pemerintahan. Karena pada masa hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madina, konon merupakan awal pembentukan negara Islam pertama pasca Muhammad SAW dingkat menjadi Rasulullah.

 

Kilas Balik

Sekedar mengingatkan kita, Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar, dengan cerdas mengambil momentum hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah sebagai awal penanggalan tahun baru Islam, dan 1 Muharram sebagai awal tahun hijriyah. Umar tidak memulai tahun baru Islam dari kelahiran atau kewafatan Nabi. Ini merupakan bukti spirit dari perubahan yang ingin terus didengungkan sepanjang masa. Secara vertikal Nabi Muhammad merupakan manusia pilihan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka, untuk memakna nilai-nilai keadaban spirit horizontal itu, sebagai umat Nabi Muhammad kita harus meneladaninya di setiap penjuru kehidupan kita.

 

Ketika merasa bahwa Mekkah sudah tidak kondusif untuk mengembangkan dakwah Islam, Nabi menyuruh pengikutnya untuk hijrah ke Madinah. Kaum Muslimin setiap hari mendapat teror, tekanan, intimidasi, bahkan penyiksaan fisik, dari tirani otoriter penguasa Quraisy. Di antara mereka bahkan sudah ada yang harus mati demi keyakinan. Hijrah ke Madinah bukan hijrah pertama. Sebelumnya, dua kali hijrah dilakukan kaum Muslimin ke negeri Habasyah di Afrika, tanpa disertai Nabi. Di negeri ini, kaum Muslimin mendapat perlindungan dari penguasa setempat yang Kristen, Raja Najasyi.

Baca Juga :  Catatan Akhir Tahun SMSI Sumut 2024 : Membangun Kembali Tatanan Organisasi Pasca Pilkada

 

Hijrah dalam konteks perubahan, ternyata tidak hanya milik umat Islam di masa Nabi Muhamamad SAW. Tapi lebih jauh sebelumnya, ribuan tahun silam sudah dijalankan Rasul sebelum Muhammad SAW. Umat-umat yang lebih dulu eksis sebelum Islam mencapai puncak keemasan peradabannya setelah melakukan hijrah. Sejarah membuktkan, bahwa hijrahnya Musa dari negeri Fir’aun menjadi tonggak sejarah baru umat Yahudi yang tertindas di negeri Mesir. Peradaban baru yang dibangun Nabi Musa menjadi peringatan kepada kita, bahwa Musa telah memberikan pelajaran kepada Raja Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.

 

Di sisi lain, sejarah menceritakan Nabi Ibrahim meninggalkan rumahnya di Ur untuk hijrah ke Kan’an sebagai tonggak keberhasilannya menjadikan Kabah sebagai pusat ibadah. Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim akhirnya menjadi tempat sujud umat Islam dari dulu hingga akhir zaman nanti. Padahal, nabi Ibrahim tak pernah berpikir bahwa Ka’bah yang dibangun pada masanya, akan menjadi tempat sujud umat Islam.

 

Momentum-momentum hijrah yang dilakukan para pendahulu kita itu, sejatinya menjadi peringatan kepada kita semua. Baik dalam konteks sosial maupun konteks pemimpin dalam melayani umatnya. Hijrah sejatinya memberikan peradaban yang beradab, dari kegelapan kepada pencerahan yang beradab. Hijrah memberikan iktibar kepada kita dan harus belajar dari kebodohan sebelumnya. Momentum hijrah juga harus dijadikan spirit untuk mengubah perbuatan jelek kepada yang lebih baik.

 

Hijrah Dari Korupsi

Bercermin dari literatur sejarah di atas, bangsa Indonesia saat ini sudah masuk pada masa transisi. Selama 70-an tahun terakhir setelah merdeka, Indonesai dikenal sebagai negara tiga transisi, yakni masa orde lama, orde baru dan orde reformasi. Masing-masing masa transisi ini, Indonesia mengalami jatuh bangun untuk membangun negara ini. Meski pergantian rezim selama tiga transisi itu, yakni rezim Soekarno, Soeharto sampai masa SBY. Tiga masa transisi ini ternyata rakyat kita belum sejahtera, sebab penyakit korupsi masih saja mewarnai negara kita selama tiga masa transisi itu.

Baca Juga :  Menunggu Kepastian Hukum Peneror Wartawan di Madina

 

Musuh utama bangsa ini adalah persoalan korupsi. Penyakit sosial ini sudah sangat meluas di lapisan rakyat kita, tak terkecuali pejabat atau rakyat biasa sekalipun. Korupsi tetap menjadi musuh kita semua, tapi sisi lain, prilaku korupsi juga menjadi kebanggaan kita ketika memimpin sebuah instansi.

 

Budaya korupsi di tengah-tengah masayarakat kita, terutama di tingkat elit, rupanya masih belum hilang. Bahkan, tampak semakin menjadi-jadi dan terang-terangan. Sudah berapa banyak lembaga pemantau pejabat negara, bahkan lembaga resmi yang dibentuk pun seperti KPK belum sepenuhnya melakukan tugasnya untuk memberantas korupsi.

 

Pertanyaannya, sudah sudah berapa banyak pejabat kita yang harus berurusan dengan KPK? Bahkan sudah berapa banyak pula pejabat kita yang harus meringkuk di penjara? Pasca dibentuknya KPK, sudah ribuan kasus yang ditangani KPK, namun penanganannya belum tuntas, karena persoalan intervensi politik. Korupsi di negeri ini sudah di tingkat mengkhawatirkan. Frekuensinya sangat tinggi, meluas dan sangat rapi. Para pejabat kita, tak segan-segan lagi mengambil uang rakyat secara terbuka. Bahkan, pejabat kita sering diejek-ejek, ketika mereka tidak mau melakukan korupsi. Hancurnya negara ini, karena hilangnya urat nadi pikir, hati dari pejabat.

 

Penutup

Akhirnya, melalui pergantian tahun hijriah dari 1436 H ke 1437 H ini, kita jadikan tonggak baru perjuangan untuk melawan korupsi di negara ini. Korupsi nyata-nyata menggiring umat ke arah hedonisme, otoriter, dan barbarian. Korupsi juga menggiring kita menjadi negara yang memikirkan sesuatu yang dilihat dari aspek material semata.

 

Melalui tahun baru Islam 1437 H ini, kita perkokoh iman kita, dan lebih bervisi ke arah perubahan, berketuhanan, berkeadilan, berkeadaban, berperikemanusiaan, bersupremasi hukum dan demokratis. Hanya dengan kekuatan inilah, umat Islam di Indonesia bangkit dari keburukan. Spirit hijrah harus dijadikan ikon bersama untuk merubah bangsa ini dari keterpurkan moral para pejabat. Hijrah dari korupsi mau tidak mau harus dijalankan bersama pula, karena meminjam isi Piagam Madinah sebagai konstruk perencanaan negara Islam, yang bebas dari korupsi dan nepotisme. **

 

** Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Wakil Direktur Bidang SDI & Binroh RSU Muhammadiyah Sumut, dan sedang studi Program Doktor (S3) di UIN Sumut.

 

 

Tinggalkan Balasan

-->