EPZA: Tak Perlu Terlalu Reaktif Soal Seragam Sekolah
sentralberita | Medan ~ Tidak perlu terlalu reaktif menanggapi soal penggunaan seragam sekolah, hingga mengeluarkan surat keputusan bersama. Sebab, tidak bisa dipungkiri sejumlah daerah di Indonesia masih menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.
Karena itu, pemerintah seharusnya bisa menghormati kearifan lokal tersebut. Seperti contoh, yang diterapkan di Pariaman Sumatera Barat, mewajibkan siswi harus menggunakan jilbab, karena memang masyarakatnya didominasi umat Islam.
“Sejatinya, itu sebenarnya urusan lokal saja. Gak penting urusan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri dengan seragam sekolah ini,” kata Praktisi Hukum Eka Putra Zakran ( EPZA)
Ia menyampaikan itu di acara launching EPZA LAWYER CLUB (ELC) jilid I bertajuk Kontroversi SKB 3 Menteri Terkait Seragam Sekolah, yang diadakan di Jl. Abdullah Lubis No.57/71 Medan, Kamis (18/2) sore.
Ia mengatakan, SKB 3 menteri terkait seragam sekolah, belum tepat dikeluarkan, sebab sudah ada peraturan Mendikbud No 45 Tahun 2014 yang sudah lebih dulu dikeluarkan.
“Kalau memang kurang efektif (peraturan Mendikbud) atau tidak berjalan, kembali dievaluasi dan sosialisasikan ulang, bukan justru dibuat dengan SKB,” ujarnya.
Ia berpandangan, kasus yang terjadi di Sumatera Barat hanya berawal dari keluhan kecil saja. Padahal, sejatinya masalah seragam sekolah yang mengkhususkan memakai jilbab sudah ada sejak 15 tahun lalu.
“Kemudian sekarang, maaf kata, seperti pepatah, gara-gara setitik, rusak susu sebelanga. Katakanlah ada 500 siswa SMK, hanya gara-gara satu orang yang gak berjilbab, rusak kita bernasional. Kan gak efektif juga itu namanya,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, boleh saja mencampuri urusan daerah, tapi untuk kearifan lokal, biarlah diurus masing-masing daerah.
“Kalau yang dipersoalkan warna merah putih misalnya, bolehlah diurus pusat, karena menyangkut lambang negara kita. Tapi kalau urusan jilbab gak pakai jilbab itu kearifan lokal. Kearifan lokal ini harus dihormati pusat,” ucapnya.
“Kalau pusat juga mau mencabik-mencabik urusan lokal ini akan jadi masalah, berarti kita gak ada lagi Bhinneka Tunggal Ika. Maaf, saya bilang, Sumatera Barat itu mayoritas umat Islam, wajarlah sekolah pakai jilbab,” sambungnya.
Ia juga menyoroti daerah lain yang menerapkan seragam khusus sekolah, namun justru seakan tak dipersoalkan pemerintah. Namun, begitu yang jadi sasaran umat Islam, pemerintah langsung bereaksi.
“Di Bali itu dilarang jilbab, karena mayoritas Hindu. Di Manokwari juga, kenapa tidak protes. Kita tidak suka yang bilang maksa-maksa jilbab dibilang intoleran dan radikal,jangan sikit – sikit radikal,intoleran’.tandasnya.
Ia menilai, jika SKB 3 Menteri terus diberlakukan, tatanan berbangsa dan bernegara bisa jadi menimbulkan kegaduhan. Karena itu, SKB tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
“Ini kita kaji secara ilmiah ya, bukan brarti gak boleh SKB, gak ada masalah, tapi itu dilapisan kedua dan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Maksudnya, kalau memang ada kasus seperti ini, pejabat publik jangan sikit-sikit buat SKB, kan masih ada undang-undang. Apalagi bicara pendidikan, bukan urusan pusat semata. Jadi bukan pusat saja punya kewenangan mengurus pendidikan. Daerah seperti provinsi, kabupaten dan kota juga punya kewenangan,” ujarnya.
EPZA dalam kesempatan itu mengatakan,tidak menutup kemungkinan akan melakukan gugatan hukum terhadap SKB 3 Menteri tersebut.
” Iya kita lihat perkembangan,kalau memang dimungkinkan,iya kita akan layangkan gugatan hukum untuk meninjau ulang SKB tersebut,jelas EPZA.
Dalam acara itu, turut hadir narasumber lain, diantaranya, Dr T Riza Zarzani, SH MH Kepala Prodi MH UNPAB, Irfan SE MM PhD selaku Dikdasmen PDM Kota Medan, kemudian H. Dadang Darmawan MSi selaku Pengamat Politik USU.
Kegiatan yang digelar tersebut merupakan salah satu program yang sengaja diluncurkan Kantor Hukum EPZA guna memberi edukasi kepada publik. Ke depan program ELC LAWYER CLUB akan digelar setiap sebulan sekali, dengan melibatkan para pakar dan masyarakat. (fs/red)