Gaduh (Terus) Soal Pancasila

Oleh: Dr. Masri Sitanggang sentralberita|Medan~Ribut lagi soal Pancasila. Siapa sesungguhnya yang wajib melaksanakannya, rakyat atau Pemerintah ? Jika ormas dapat dibubarkan, karena dianggap tidak sesuai dengan Pancasila, bagaimana pula kalau pemerintah abai menjalankannya ?

Aneh juga negeriku ini. Sudah 74 tahun merdeka, masih saja ribut soal Falsafah Negaranya. Gaduh soal Pancasila. Kalau pun tenang, mungkin hanya beberapa saat saja. Celakanya, yang selalu menjadi korban Pancasila adalah rakyat. Entahlah, apakah ada negara lain di dunia ini seperi negeriku ini.

Sejak merdeka 1945 sampai tahun 1965, oleh rezim Orde Lama, Pancasila diperas menjadi Trisila dan selanjutnya Ekasila. Demokrasi menjadi terpimpin sesuai keinginan penguasa.

Presiden Sukarno betul-betul dijadikan penyambung lidah rakyat, sehingga apa yang dikatakan Sukarno, seolahnya adalah kehendak rakyat. Nasionalis, Agama dan Komunis disatukan menjadi “ideologi Negara” Nasakom.

Padahal, antara agama dan komunis, berbeda seperti bedanya hitam dengan putih. Negara pun gunjang-ganjing. Yang berseberangan dengan pemerintah akan berhadapan dengan kekuasaan. Pemerintahan jadi otoriter.

Muncul gerakan radikal : gerakan kembali ke UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Rakyat bersorak seperti keluar dari ruang pengap lagi menyesakkan. Tetapi itu tidak lama. Oleh rezim Orde Baru, Pancasila dijadikan pegangan hidup dan pandangan hidup, pengarah sikap laku dan kepribadian bangsa termasuk dalam urusan moral dan etika.

Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum. Tidak ada sumber hukum lain selain Pancasila. Tidak juga agama. Ajaran agama harus dipangkas kalau saja dihadapkan dengan Pancasila. Pelajar, mahasiswa dan calon pegawai negeri diwajibkan ikut penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Partai politik dan ormas-ormas sampai kelompok perwiridan di kampung-kampung, wajib berazaskan Pancasila. Pendek kata, hampir-hampir Pancasila menjadi agama baru di Indonesia. Dari sinilah mungkin munculnya tudingan bahwa Pancasila itu telah menjadi Toghut, karena ia ditempatkan lebih tinggi dari agama.

Tafsir Pancasila, satu-satunya, ada di tangan pemerintah. Yang berseberangan dengan pemerintah, samalah artinya bertentangan dengan Pancasila; dan itu dipastikan akan berhadapan dengan kekuasaan.

Lahirlah lagi gerakan radikal : reformasi menuju demokrasi. Azas tunggal dihapuskan, penataran Eka Prasetya Panca Karsa (P4) dihentikan. Orang-orang yang dikurung dalam penjara atau dalam pelarian karena tuduhan anti Pancasila dibebaskan.

Rakyat bersorak sorai lagi seperti lepas dari penjara “Pancasila”. Mereka ramai-ramai buat ormas dan membuat partai dengan azas ideologinya masing-masing. Tapi itu juga ternyata tidak lama. Hanya berbilang belasan tahun setelah reformasi, sudah pula ribut soal Pancasila lagi.

Atas nama Pancasila, ada pengajian yang harus dibubarkan, atau dibatalkan. Atas nama Pancasila, ada ustadz yang dipersekusi. Atas nama Pancasila, ada ormas yang dipersoalkan. Sesuatu yang dianggap berbau “radikal” segera pula ditangkal.

Kenapa sich bangsa ini ribut melulu soal Pancasila ? Apakah Pancasila itu memang sesuatu yang terlalu abstrak sehingga untuk memahaminya mengundang keributan ? Jangan-jangan, di benak anak bangsa ini memang ada beragam Pancasila sehingga melahirkan pandangan Pancasila yang berbeda-beda. Atau, jangan-jangan, kita memang tidak jujur soal Pancasila dan belum Ikhlas menerimanya sebagai falsafah negara. Untuk ini, perlu rasanya kita mundur ke hulu sejenak agar kekeruhan ini didapatkan penyebabnya.

Bicara soal Pancasila, sebagai landasan falsafah negara RI, maka yang dimaksud haruslah aline ke 4 Pembukaan UUD 1945 –meski pun alinea ini tidak disebut sebagai Pancasila. Bukan yang lainnya.

Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan kesepakatan bangsa dalam membentuk negara bernama Republik Indonesia. Ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 setelah menjalani debat panjang, tajam dan melelahkan sejak masa persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung 29 Mei -1 Juni 1945.

Baca Juga :  Gerindra Sumut Bagi 1200 Paket Qurban, Penyembelihan 9 Ekor Lembu Ukuran Jumbo dan 3 Ekor Kambing

Debat antara yang menginginkan negara berlandaskan sekuler dan yang menginginkan negara berlandaskan Islam. Perlu juga diingat, ”… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dasar berlakunya kembali UUD 1945.

Jika saja masih ada yang mengambil Pancasila selain dari Alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945 dimaksud, berarti mereka tidak jujur dalam bernegara. Belum ikhlas menerima kesepakatan bersama. Mereka ingin mengurai benang yang sudah dipintal menjadi kain, kembali menjadi benang yang terpisah-pisah. Ini pastilah sumber keributan yang sukar diselesaikan kecuali negara ini bubar.

Bila ada upaya pihak yang memahamkan/menerapkan falsafah negara sebagaimana Pancasila 1 Juni 1945, sama artinya pihak itu sedang menarik bangsa ini mundur ke masa sebelum merdeka. Ingin mengembalikan Indonesia ke masa sebelum republik ini ada, tepatmya masa di mana terjadi perdebatan sengit dan tajam tentang landasan falsafah negara –apakah sekuler atau Islam, pada sidang BPUPKI. Ini sama artinya mengurai benang yang telah dipintal menjadi kain. Negara ini bisa bubar !

Begitu juga, tidaklah tepat bila yang dimaksud Pancasila –sebagai falsafah negara, itu adalah apa yang (disimbolkan) ada pada dada Burung Garuda Pancasila. Sebab, apa yang disimbolkan di dada Burung Garuda Pancasila hanyalah ekstraksi dari alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945.

Di situ sila-sila Pancasila diberi nomor urut dari 1 (simbol bintang bersegi lima, Ketuhanan Yang Maha Esa) sampai 5 (simbol padi dan kapas, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Dengan hanya melihat Pancasila yang ada pada dada Burung Garuda Pancasila, tafsir dan pemahaman yang diperoleh akan kehilangan konteks, tidak utuh dan bisa menyimpang jauh. Ini pun menjadi sumber perdebatan yang tidak berkesudahan pula.

Sila-sila dalam Pancasila dapat dipahami sebagai sesuatu yang terpisah satu sama lain, karena memang ditulis terpisah dan diberi nomor urut. Oleh karena yang demikianlah Rocky Gerung tidak meresa bersalah ketika menyatakan sila-sila dalam Pancasila saling bertentangan.

Kata Gerung, orang boleh isi sila kelima itu dengan marxisme, liberalisme atau Islamisme karena tidak ada satu keterangan final tentang isi dari keadilan sosial itu.

Mari kita simak ulang aline ke 4 Pembukaan UUD 1945 ini.

“Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 di tulis hanya dalam satu kalimat panjang. Di dalam kalimat panjang itu ada yang disebut Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila adalah bagian tidak terpisahkan dari kalimat sepanjang satu alenia itu.

Bila ditilik secara seksama, “Sila-sila Pancasila” dalam alenia ke 4 itu, adalah merupakan landasan negara untuk jadi pedoman Pemerintah Indonesia menunaikan fungsinya –yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Baca Juga :  Peringati  HUT Bawaslu ke 17,  Apel Pagi dan Tasyakuran Pemotongan Tumpeng Bersama Stakeholder 

Jadi, Pancasila itu adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah dalam menge;lola kehidupan berbangsda dan bernegara. Dalam kata lain, yang berkewajiban melaksanakan Pancasila itu adalah Pemerintah Indoinesia.

Ada pun rakyat Indonesia, adalah mereka yang harus menerima manfaat dari hasil kerja pemerintah mengelola negara sesuai dengan Pancasila.

Hal ini dipertegas pula oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 itu (anak kalimat ini pada dada Burung Garuda Pancasila dijadikan sila ke 5), yakni : “…serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tentulah tugas Pemerintah Indonesia, bukan rakyat Indonesia.

Tanda baca “koma” di antara sila-sila Pancasila, juga kata sambung “dan” setelah Persatuan Indonesia dan “serta” sebelum sila “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” menunjukan Pancasila alenia ke 4 ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahlkan.

Dengan demikian, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah suatu yang terlarang dan adalah merupakan upaya merongrong Pancasila. Ini pula yang membedakannya dengan Pancasila 1 Juni 1945 (Pancasila 1 Juni 1945 Sukarno dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila).

Satu alinea dalam suatu naskah, adalah satu pokok pikiran dari beberapa pokok pikiran yang saling terkait dalam naskah itu. Dalam konteks Pembukaan UUD 1945, maka alenia ke 4 adalah satu dari empat pokok pikiran yang tidak terpisahkan dari sebuah tema deklarasi yang ada dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, tafsir yang ada di alenia ke 4 pun harus juga melihat pokok pikiran yang ada di alenia-alenia lainnya.

Maka apa yang disebut oleh Rocky Gerung –bahwa orang boleh isi sila kelima itu dengan marxisme, liberalisme atau Islamisme—menjadi tertolak.

Pertama, karena Pancasila dalam alenia ke 4 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang diberi nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, di dalam alenia sebelumnya, alenia ke 3, di sebutkan bahwa kemerdekaan ini dinyatakan sebagai “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.

Jadi, Pancasila itu bernilai religius dan oleh karenanya jelas menolak pemahaman Marxisme dan liberalism yang jelas-jelas kering dari nilai Ketuhanan itu.. Ini sejalan dengan pidato Mr. Kasman Singodimedjo di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, yang mengiritisi pandangan PKI terhadap Pancasila.

Kasman berkata : “…soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama”.

Sekali lagi, berdasar pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945, yang berkewajiban menjalankan Pancasila adalah Pemerintah Indonesia, bukan Rakyat Indonesia. Maka sepatutnyalah rakyatl mengawasi pemerintah soal Pancasila, bukan sebaliknya. Pemerintah yang abai melaksanakan Pancasila adalah Pemerintah yang menghianati Pancasila, menghianati rakyat.

Pertanyaan besarnya kemudian adalah : bila ormas yang dinilai pemerintah bertentangan dengan Pancasila dapat dibubarkan, bagaimana kalau Pemerintah yang memang berkewajiban mengelola negara ini dengan Pancasila tetapi abai mengelolanya dengan Pancasila ? Tidak mewujudkan keadilan sosial, misalnya ? ( Penulis adalah Ketua Komisi di MUI Medan Ketua GIP-NKR dan Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia)

-->