Lintasan Sejarah Kenegarian Ranah Nata

Muara Sungai Natal, tempat berlabuh kapal-kapal (dok)

Oleh: HERI SANDRA, S. SOs- sentralberita|Natal~Sejarah ini dituliskan untuk mengenang asal muasal pendiri sebagai susuk lantak Nagari. Sebab sebagai orang yang beradat tentunya kita menghormati para pendahulu kita yang merupakan peneroka berdirinya Nagari Ranah Nata. Sehingga kita terhindar dari sebutan sebagai orang orang yang lupa daratan, lupa asal usul, seperti kata pepatah lupokacangjokuliknyo(Lupa Kacang Pada Kulitnya).


1. Indrapura dan Ujung Gading.

Dahulu Indrapura merupakan salah satu kerajaan Minang Kabau yang makmur dan tergabung ke dalam Kerajaan Pagaruyung di Batu Sangkar. Masa kejayaan Kerajaan Indrapura dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sultan Muhammadsyah sebagai pewaris yang syah.

Beliau adalah salah seorang keturunan anak cucu yang Dipertuan Nan Sati di dalam Nagari Pagaruyung. [Sumber: Tambo Alam Minang Kabau – Sultan Nan Salapan – hal. 84] . 

Secara resmi Indrapura memang merupakan bahagian Kerajaan Minang Kabau namun kenyataannya berdiri sendiri dan tidak terikat dalam bentuk apapun kepada yang Dipertuan Nan Sati di Kerajaan Pagarruyung selain hanya hubungan darah saja. [sumber : Thomas Stamford Raffles ].

Kerajaan ini mempunyai wilayah yang cukup luas dan terkaya di sepanjang pesisir Sumatera Barat. Wilayahnya membentang luas ke utara hingga melewati Padang tepatnya Koto Tangah dan ke selatan sampai ke Sungai Hurei.

Sekitar tahun 1625 – 1630 orang Aceh sampai di Inderapura dan menempatkan perwakilannya di sana untuk kepentingan perdagangan lada. Kemudian datang pula Bangsa Belanda yang ingin menguasai perdagangan lada di Inderapura.

Pemandangan Batang Natal

Pada waktu yang hampir bersamaan Inggeris mulai tergusur dari Kerajaan Banten dan mengalihkan perhatiannya ke Bengkulu dan daerah sekitarnya, termasuk Inderapura yang letaknya tidak jauh dari Muko Muko. Akhirnya Inderapura terjepit diantara kepentingan Aceh, Belanda dan Inggeris karena ketiganya saling berebut pengaruh untuk memonopoli perdagangan lada.

Tepatnya pada tahun 1663 VOC berhasil menandatangani perjanjian kolektif  I dengan kota kota penting di pesisir Sumatera Barat yang terkenal dengan Perjanjian Painan. Dengan demikian VOC berhasil menancapkan kekuasaannya di Sumatera Barat.

Pada saat itu di Inderapura raja yang berdaulat adalah Sultan Muhammadsyah dalam usia masih relatif muda. Beliau memerintah diwakili oleh ayahnya, Sultan Malfarsyah. Sayangnya, Sultan Malfarsyah sangat ambisius dan sering bertindak malampaui wewenangnya sehingga rakyat tidak menyenanginya.

 Semetara itu di daerah manjuto yang terletak di sebelah Selatan Inderapura, berkuasa pula saudara sepupu Sultan Muhammadsyah yang bernama Rajo Adil. Ia didudukkan disana sebagai wali dari Inderapura. 

Rajo Adil menentang tindakan sewenang wenang dari Sultan Malfarsyah sehingga terjadilah perang saudara. Karena terdesak, Sultan Malfarsyah meminta bantuan Belanda di Salido dengan imbalan emas dan lada untuk mengusir Rajo Adil dari Manjuto. Sebaliknya, Rajo Adilmemperoleh bantuan dari perwakilan Aceh yang ada di Inderapura.

Dalam peperangan ini Rajo  Adil berhasil di usir dari manjuto namun hanya sementara saja karenaRajo Adil kembali merebut Majuto dengan dukungan sepenuhya dari kalangan rakyat, kemudian kekuatan militer belanda berhasil dihancurkan. Ini merupakan kekalahan Belanda yang pertama di Sumatera Barat.

Akhirnya VOC mengambil sikap untuk mendekati kedua belah pihak dengan mengusung perjanjian damai.Sultan Muhammadsyah kembali memerintah di Inderapura dan Rajo Adil dikembalikan ke Manjuto dengan syarat Rajo Adil menjual lada kepada Belanda. NamunRajo Adil mengingkari perjanjian itu, beliau mengirim lada kepada Inggeris di Banten.

 Pada tahun 1680 VOC berhasil kembali menandatangi perjanjian kolektif II dengan kota kota pesisir pantai barat Sumatera mulai dari Ketuan hingga Air Bangisyang artinya seluruh raja kota tersebut mengakui kekuasaan VOC. Sementara itu Sultan Muhammadsyah dan RajoAdil berpaling dengan menandatangani kontrak perdagangan dengan East Indian Company (EIC) yaitu pusat perdagangan Inggeris di timur. Akibatnya Pimpinan VOC di padang marah besar. 

VOC mulai melakukan politik devide et impera yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan terhadap Sultan Muhammadsyah di Inderapura. Inggeris pun tergusur dan Sultan Muhammadsyah di ganti oleh Belanda.

 Pada abad ke 17 harga lada turun. Menyikapi keadaan ini Belanda membumi hanguskan perkebunan lada di Inderapura dalam skala besar, agar harga kembali stabil. Akibatnya perekonomian Inderapura hancur yang berakhir dengan lumpuhnya pemerintahan Kerajaan Inderapura.

Pada tahun 1824 berakhirlah kedaulatan Kerajaan Inderapura. Lada yang menjadi tumpuan perekonomian Inderapura justru menjadi malapetaka. Pada tahun 1825 belanda mengangkat Achmadsyah sebagai Tuanku Regent di Inderapura dengan gelar Marah Yahya.

Tahun 1911 reget terakhir di Inderapura dipensiunkan oleh belanda tanpa ada penggantinya. Selanjutnya Inderapura hanya menjadi sebuah wilayah kecil dibawah kepemimpinan seorang Controleur yang berkedudukan di Balai Selasa. Demikian sekelumit tentang Inderapura,

 Sebagaimana adat nan berlaku pada setiap kerajaan bahwa anak tertualah yang akan dinobatkan sebagai putra mahkota penerus raja kelak. Sedangkan anak anak yang lain disuruh merantau mencari daerah pemukiman baru yang nantinya dijadikan sebagai kerajaan untuk dirinya sendiri.

 Berdasarkan penuturan orang – orang tua di Nata, yang diceritakan secara turun temurun tentang asal muasal peneroka Kenagarani Ranah Nata. Disebutlah salah seorang keturunan raja Indrapura yang bernama Indra Sutan.

Beliaupun ditugaskan untuk merantau mencari daerah pemukiman baru guna dijadikan Kerajaan. Kira – kirapada tahun 1300 berangkatlah Indra Sutan dengan rombongannya mengharungi Samudera Hindia menuju arah Utara.

Keberangkatan itu terdiri dari beberapa buah kapal pincalang yang dipenuhi oleh orang orang yang setia kepadanya, perbekalan yang cukup, air tawar dan hewan ternak ditambah pula dengan segenggam tanah yang diambil dari tumpah darahnya serta sebuah labu kering yang nantimya berguna untuk menimbang segenggam tanah tersebut, ketika tiba di pemukiman yang baru.                        

 Pelayaran menuju utara dihantarkan oleh angin yang berhembus, seolah olah ikut merestui pengembaraan Indra Sutan bersama rombongannya. Berbagai halangan maupun rintangan mereka hadapi dengan sabar dan tabah demi mewujudkan cita cita luhur membangun sebuah dinasti baru.

Haluan pun diarahkan memasuki muara sungai beremas terus menyusup ke pedalaman hingga tibalah mereka disebuah negeri yang bernama Kerajaan Ujung Gading ( Ibukota Kecamatan Lembah Melintang di Kabupaten Pasaman Barat sekarang ).

Kedatangan mereka di sana disambut baik oleh segenap masyarakat dan keluarga besar kerajaan Ujung Gading. Indra Sutan beserta rombongan menetap beberapa saat untuk melengkapi perbekalan yang mulai menipis. Pada masa inilah terjalin hubungan baik antara Indra Sutan dengan Datuk Imam Basa.

Bertepatan pula sedang terjadi kemelut di dalam percaturan politik Kerajaan Ujung Gading sehingga disinyalir akan adanya rencana pembunuhan terhadap diri Datuk Imam Basa. Lantas Indra Sutan mengajak Datuk Imam Basa agar ikut bersama dengannya berlayar mencari daerah pemukiman baru.

Mulanya Datuk Imam tidak bersedia namun Indra Sutan memberikan pandangan betapa teragisnya nanti bila polemik ini harus berakhir dengan perang saudara yang tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Akhirnya Datuk imam bersedia menerima usulan Indra Sutan. Maka berangkatlah kedua orang anak bangsawan ini beserta rombongannya keluar dari sungai beremas menuju muara.

Pelayaran dilanjutkan menuju ke utara hingga tidak berapa lama masuklah iring iringan pincalang itu ke muara Sungai Batang Natal yang disebut Kualo Tuo. Terus menyusuri sungai hingga terlihatlah sebuah hamparan tanah yang datar lantas mereka menepi lalu turun mengamati keadaan daerah tersebut sambil mencari keberadaan hunian penduduk namun tak seorangpun manusia yang mereka jumpai.

Perbekalan pun diturunkan sebahagian dari rombongan mempersiapkan peralatan untuk memasak dan yang lainnya ada yang memeriksa keadaan sekitar sambil mengumpulkan kayu untuk persiapan memasak. Selesai bersantap, terucaplah pantun dari lisan Datuk Imam yang berbunyi :

            Batang pauh batang barambang

            Bungo tanjuang dipadeta

            Dari jauh kami nan datang

            Sampai di ranah tanah nan data

Pantun ini spontan saja dijawab oleh Indra Sutan dengan pantun pula  :

            Di Tanjuang Ranah Tanah nan Data

            Alang lauik manyemba ikan

            Pueh hati duduk basanda

            Kanyang paruik lah sudah makan

Setelah membincang situasi daerah yang baru saja mereka singgahi, sepakatlah kedua orang sahabat itu untuk menetap dan bermukim di sana. Lantas prosesi menimbang tanah dan air tawar yang mereka bawa dari daerah asal pun dimulai.

Keduanya sama sama bertanya siapakah diantara mereka yang pertama melakukan ritual ini? Lantas Indra Sutan mempersilahkan sahabatnya Datuk Imam untuk mengambil peranan lebih dahulu.

Akhir dari ritual, disudahi dengan memberi nama tempat  ini dengan sebutan  Malako sesuai dengan banyaknya terdapat tumbuhan kayu yang bernama malako. Kayu malako ini adalah tumbuhan kayu yang batangnya tidak terlalu besar, ukuran paling besar hanya sebesar tiang rumah namun tahan bertahun tahun.

Diakhir tahun 2000 masyarakat masih sering mengambil kayu malako ke sana sebelum daerah ini dijadikan perkebunan sawit. Penabalan nama ini dilanjutkan dengan nama nama daerah sekitarnya seperti tempat mereka menyandarkan pincalang disebut dengan Labuhan Ajuong.

Keadaan kontur tanah Kampung Malako yang sesayup mata memandang terlihat datar dan indah mengilhami orang orang disana menyebutnya dengan nama lain yaitu Ranah Nan Data.

Inilah kelak yang akan menjadi cikal bakal nama Nata menurut salah satu versi masyarakat di nagari nata. Setelah beberapa waktu berlalu kedua anak bangsawan itu berniat menjelajahi daerah hulu sungai karena mereka melihat bonggol jagung hanyut dibawa arus sungai.

Hal ni manandakan bahwa di hulu sungai tentulah ada pemukiman penduduk. Mereka pun berkemas dan berlayar kembali menuju hulu sungai. Sebahagian pengikut, mereka tinggalkan di malako untuk melakukan pembenahan terhadap daerah itu sehingga menjadi perkampungan yang layak huni.

Tidak berapa lama antaranya, nampaklah taratak orang orang yang tinggal di peladangan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam dan menangkap ikan di sungai.  Rombongan Datuk Imam dan Indra Sutan pun singgah sembari menyapa mereka. Setelah terjadi dialog singkat, komunitas peladangan itu pun membawa Datuk Imam dan Indra Sutan menghadap kepada pimpinan mereka yang disebut dengan Tuo Taratak, artinya orang yang dituakan dalam taratak.

Kedua anak bangsawan ini melakukan diplomasi yang santun untuk menyampaikan keinginan mereka mendirikan kerajaan baru. Gayung pun bersambut, Tuo Taratak dapat memaklumi dan menerima maksud hati kedua anak bangsawan itu bahkan beliau juga menyampaikan bahwa disekitar daerah itu juga terdapat komunitas suku pedalaman. Mereka biasanya menyebut suku pedalaman itu dengan sanaksuku kubu, yang berdiam disekitar daerah Sinunukan.

Bulek ayie dek pambuluh, bulek kato dek mufakat, tercapailah persetujuan untuk mendirikan sebuahkerajaan baru yang dinamai dengan LINGGO BAYU.Kerajaan baru ini pun ditata sedemikian rupa dan Ibukotanya berkedudukan di Tapus dengan kepala pemerintahannya seorang raja yang bernama Tuanku Indera Sutan, gelar Rajo Putih pada awal tahun 1301.
Bersambung…