Demi Integritas Ilmu: Seruan untuk Menunda Pengesahan Pedoman Immawati

Oleh: Tamara Rizki |sentralberita~Dalam setiap gerakan intelektual dan sosial, kejujuran ilmiah merupakan fondasi moral yang tak dapat ditawar. Ia bukan sekadar etika individu, melainkan napas dari sebuah peradaban yang ingin menegakkan kebenaran. Bagi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), nilai tersebut mestinya menjadi roh dari seluruh aktivitas keilmuan dan gerakan, termasuk dalam penyusunan dokumen strategis seperti Pedoman Immawati.
Namun, munculnya klaim bahwa Pedoman Immawati terbaru merupakan hasil dari “Simposium Immawati yang telah diuji” menimbulkan pertanyaan mendasar. 14 DPD IMM yang hadir dalam ruang simposium IMMawati tidak pernah mengetahui adanya proses simposium yang sahih dan terbuka sebagaimana lazimnya tradisi ilmiah. Di sinilah letak persoalan serius yang tidak boleh dianggap sepele. Sebab, ketika suatu dokumen organisasi terutama yang menyangkut marwah gerakan perempuan IMM diluncurkan dengan landasan yang tidak transparan, maka yang tercederai bukan hanya prosedur administratif, tetapi juga integritas intelektual kita bersama.
Klaim bahwa sebuah naskah merupakan “hasil simposium” membawa implikasi epistemik dan etis yang besar. Dalam konteks ilmiah, simposium berarti forum akademik terbuka, tempat gagasan diuji melalui dialog, kritik, dan validasi kolektif. Ia mensyaratkan dokumentasi, notulensi, daftar peserta, dan hasil pembahasan yang dapat diverifikasi publik. Dengan demikian, jika Pedoman Immawati disebut sebagai hasil simposium, maka seharusnya terdapat bukti konkret mengenai pelaksanaan forum tersebut: kapan, di mana, siapa pesertanya, serta bagaimana proses pengujiannya dan apa hasilnya.
Sayangnya, banyak kader tidak pernah menerima publikasi resmi atau dokumen hasil uji yang dapat dikonfirmasi. Ketika transparansi proses diabaikan, maka keabsahan epistemologis suatu produk intelektual menjadi lemah. Ia bukan lagi hasil musyawarah ilmiah, melainkan sekadar produk administratif yang dibungkus dengan bahasa akademik. Ini berbahaya, karena menciptakan ilusi keilmuan, suatu bentuk pseudo-intelektualisme yang justru bertentangan dengan semangat IMM masa depan yang menjadi dasar gerakan IMM dimasa kepemimpinana ketua umum Riyah Betra Delza.
Dalam perspektif etika organisasi, setiap kebijakan atau produk kelembagaan harus lahir dari proses yang jujur dan akuntabel. Ketika sebuah dokumen penting seperti Pedoman Immawati diklaim berasal dari proses ilmiah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka terjadi bentuk pembohongan epistemic yakni penyamaran atas fakta dengan dalih akademik.
Pembohongan epistemik ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi pelanggaran moral. Sebab, ia menodai prinsip amanah ilmu yang menjadi sendi gerakan mahasiswa Islam. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang pemberdayaan perempuan IMM bila dasar teks yang hendak dijadikan pedoman justru disusun dengan mengabaikan etika ilmiah? Di sini, kritik bukanlah bentuk perlawanan, melainkan panggilan moral agar organisasi tidak kehilangan arah etikanya sendiri.
Immawati, sebagai representasi gerakan perempuan dalam IMM, memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan, kesadaran kritis, dan otonomi gerakan. Setiap pedoman yang mengatur orientasi dan strategi gerakan Immawati sejatinya harus berangkat dari refleksi kolektif kader perempuan IMM di berbagai daerah, bukan hasil tertutup segelintir individu.
Oleh karena itu, proses penyusunan pedoman harus dilakukan secara partisipatif, berbasis data lapangan, dan terbuka terhadap kritik. Jika dokumen yang diklaim sebagai hasil simposium ternyata tidak melalui uji publik dan diskursus ilmiah yang memadai, maka ia justru melemahkan posisi Immawati sebagai subjek gerakan intelektual.
Pedoman seharusnya menjadi cermin nilai-nilai keilmuan dan emansipasi, bukan alat legitimasi administratif. Tanpa proses yang benar, pedoman kehilangan ruhnya. Ia menjadi teks kosongmengatur tetapi tidak membebaskan, berbicara tentang perempuan tanpa mendengar suara perempuan.
Kritik terhadap pedoman ini tidak dimaksudkan untuk menolak gagasan pembaruan. Justru sebaliknya, ia lahir dari kepedulian agar setiap produk intelektual organisasi tidak terjebak dalam praktik pragmatis dan formalisme. IMM seharusnya menjadi contoh bagi organisasi mahasiswa lain dalam menjaga integritas akademik.
Jika kita menoleransi manipulasi kebenaran dalam hal sekecil apapun termasuk dalam proses pengesahan dokumen maka kita sedang menanam benih dekadensi intelektual. Mahasiswa Muhammadiyah, dengan identitas gerakan ilmiah dan keagamaan, tidak boleh menormalisasi penyimpangan akademik atas nama efektivitas organisasi.
Setiap pedoman, keputusan, maupun hasil forum ilmiah harus melalui prinsip transparansi, verifikasi, dan akuntabilitas. Tanpa itu, gerakan akan kehilangan wibawanya di mata kader dan masyarakat luas. Kekuatan moral IMM bukan pada seberapa banyak dokumen yang dihasilkan, tetapi pada kejujuran dalam setiap prosesnya.
Berdasarkan pertimbangan etis dan akademik di atas, sudah selayaknya launching dan pengesahan Pedoman Immawati terbaru ditunda atau dibatalkan sementara hingga proses penyusunan dan pengujiannya benar-benar terbuka dan dapat diverifikasi.
Penundaan bukan bentuk penolakan, melainkan langkah pemulihan integritas. Organisasi yang berani menunda demi kebenaran justru menunjukkan kedewasaan moralnya. Dengan membatalkan pengesahan sementara, IMM memberi ruang untuk meluruskan proses, menghadirkan kembali forum ilmiah yang benar, dan memastikan seluruh kader Immawati terlibat secara substansial.
Inilah bentuk tanggung jawab epistemologis dan moral yang seharusnya menjadi karakter gerakan mahasiswa Islam yaitu jujur terhadap proses, terbuka terhadap kritik, dan berani memperbaiki diri. Gerakan Immawati bukan sekadar simbol kehadiran perempuan dalam IMM, melainkan representasi kesadaran intelektual dan spiritual yang menolak segala bentuk ketidakjujuran. Ketika pedoman yang menjadi arah perjuangan disusun tanpa dasar proses ilmiah yang sahih, maka seluruh gerakan perempuan IMM kehilangan pijakan epistemiknya.
Kritik ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun, melainkan mengingatkan kita bahwa integritas adalah harga mati. IMM tidak boleh membangun masa depan gerakannya di atas pondasi yang rapuh. Sudah saatnya kita kembali kepada nilai-nilai dasar gerakan: amanah ilmu, kejujuran intelektual, dan keberanian moral.
Dengan menunda pengesahan Pedoman Immawati dan membuka ruang verifikasi ulang secara terbuka, IMM sedang melakukan tindakan paling intelektual dan beradabyakni mengutamakan kebenaran di atas kepentingan sesaat. Karena pada akhirnya, lebih baik terlambat dalam kebenaran daripada cepat dalam kebohongan.(BPH DPD IMM Sumatera Utara)
