Perempuan Berkemajuan di Tanah Para Pekerja

Oleh: Tamara Rizki|Perjalanan ini belum menemukan titik pemberhentiannya. Sebagai salah satu perempuan yang masuk dalam barisan menyuarakan suara perempuan, aku masih saja belum menemukan di mana titik akhir perjuanganku. Dalam setiap langkah, dalam setiap napas, perjuangan ini terus bergerak, menuntut ruang dan makna.

Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini tahun ini, aku menemukan refleksi mendalam di tengah denyut nadi Kota Batam. Kota yang kerap disebut “Kota Pekerja” ini menawarkan lebih dari sekadar peluang ekonomi; ia menawarkan kisah perjuangan perempuan dalam berbagai rupa. Dari sudut-sudut pasar hingga gedung-gedung perkantoran, dari kafe sederhana hingga pusat-pusat industri, aku menemukan pasukan perempuan yang mengukir harapannya sendiri.

Di pagi, siang, hingga malam hari, aku menyaksikan perempuan-perempuan ini berjalan dengan semangat yang sama: memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Dari yang mengenakan pakaian tertutup hingga yang berpakaian terbuka, dari yang sederhana hingga yang tampil mencolok, semua berbaris dalam gerak yang senada: “Aku ingin mengubah nasibku,” “Aku ingin membeli sesuatu untuk masa depanku,” atau “Aku ingin membuat keluargaku bangga.” Tidak ada satu pun dari mereka yang berjalan tanpa harapan.

Yang menarik, di Batam, pengelompokan pekerjaan berdasarkan baik atau buruk, haram atau halal, tinggi atau rendah terasa semakin kabur. Semua pekerjaan adalah pekerjaan. Semua jerih payah dihargai sebagai bentuk nyata dari kerja keras. Kota ini bukan hanya sekadar tempat mencari penghidupan, tapi juga menjadi ruang bagi perempuan untuk memanifestasikan dirinya, dalam segala bentuk perjuangan dan mimpi. Seperti semboyannya: bangun untuk bekerja, pulang untuk tidur.

Sebagai seorang pendatang dan perempuan, aku melihat Batam sebagai surganya perempuan berkemajuan. Tak perlu jauh-jauh bermimpi pergi ke Amerika, karena di Batam, semangat perempuan maju itu hidup dan berkembang. Data dari website STIS menyebutkan bahwa sekitar 51,91% penduduk Batam adalah perempuan. Dari sekitar 117 ribu perempuan yang bekerja, 89,11% di antaranya terserap di sektor non-pertanian. Ini menunjukkan bahwa perempuan di Batam memiliki peran yang sangat signifikan dalam roda ekonomi dan sosial.

Namun, bagiku, perempuan berkemajuan tidak hanya dilihat dari jumlah atau statistik partisipasi kerja semata. Lebih dari itu, perempuan berkemajuan adalah mereka yang memiliki mindset dan pergerakan untuk menciptakan perubahan besar dan jangka panjang dalam kehidupannya, komunitasnya, bahkan bangsanya. Mereka adalah agen perubahan, meski mungkin dalam skala yang kecil dan senyap.

Baca Juga :  Edi Saputra Kembali Sosper : Warga  Diingatkan Dalam Pengurusan Adminduk Harus Pastikan Sinkronisasi Data Satu Sama Lainnya

Tema Hari Kartini tahun 2025 ini terasa begitu relevan: perempuan satu adalah bagian atau puzzle dari perempuan lainnya. Bahwa perjuangan perempuan tidak pernah berlangsung secara individu, melainkan merupakan gerak kolektif yang saling menguatkan. Salah satu kutipan R.A. Kartini yang menggema di peringatan tahun ini adalah, “Setiap kali seorang wanita membela dirinya sendiri, dia membela semua wanita.”

Kutipan ini tidak hanya sebatas kata-kata inspiratif, melainkan prinsip dasar perjuangan perempuan: solidaritas. Saat satu perempuan berani menyuarakan haknya, ia sedang memperjuangkan hak semua perempuan yang mungkin belum memiliki kesempatan atau keberanian yang sama.

Di Batam, aku melihat prinsip ini hidup. Di antara para pekerja, ada solidaritas diam-diam yang menyatukan. Misalnya, ketika seorang buruh pabrik perempuan membela rekannya yang mendapat perlakuan tidak adil dari atasan, atau saat para perempuan di pasar saling menjaga anak-anak mereka agar ibunya bisa tetap berdagang. Bentuk-bentuk solidaritas sederhana ini adalah manifestasi nyata dari perjuangan kolektif yang diajarkan oleh Kartini.

Namun, di balik segala optimisme itu, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa tantangan besar masih membayangi. Banyak perempuan pekerja yang masih rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, bahkan kekerasan. Banyak yang harus berjuang tanpa perlindungan hukum yang memadai. Meskipun keberadaan perempuan di dunia kerja semakin dominan, namun perlindungan atas hak-hak mereka belum selalu berjalan seiring.

Sebagai mahasiswi hukum, aku merasa penting untuk menyuarakan bahwa perempuan bukan hanya harus diberi ruang untuk bekerja, tetapi juga harus dipastikan hak-haknya terlindungi. Negara, sebagai pemangku tanggung jawab, harus hadir memastikan bahwa kerja keras perempuan tidak berujung pada ketidakadilan.

Dalam hukum ketenagakerjaan, terdapat berbagai instrumen yang mengatur perlindungan terhadap pekerja perempuan, seperti hak atas cuti melahirkan, hak atas perlakuan yang adil, hingga hak atas lingkungan kerja yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, pada praktiknya, banyak perempuan yang tidak sepenuhnya menikmati hak-hak ini karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Baca Juga :  Bupati Asahan Ikuti Rakor Kepala Daerah se-Sumut

Sebagai refleksi, Hari Kartini seharusnya menjadi momentum untuk menagih janji-janji itu. Bukan hanya selebrasi mengenakan kebaya, melainkan juga perenungan sejauh mana hukum telah berpihak pada perempuan, dan sejauh mana kita, sebagai generasi muda, terlibat dalam mendorong perubahan.

Dalam perjalanan panjang memperjuangkan hak-hak perempuan, pendidikan menjadi kunci utama. R.A. Kartini sendiri telah meletakkan pondasi penting tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. Baginya, pendidikan adalah jalan keluar dari keterkungkungan tradisi yang membelenggu.

Di Batam, pendidikan menjadi salah satu tantangan dan peluang besar. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, kebutuhan akan perempuan-perempuan terdidik semakin besar. Namun, akses pendidikan, terutama pendidikan hukum tentang hak-hak pekerja, masih harus terus diperluas. Pendidikan bukan hanya tentang ilmu akademis, tetapi juga tentang kesadaran kritis.

Bayangkan jika setiap perempuan pekerja di Batam sadar hak-haknya. Bayangkan jika setiap perempuan tahu bagaimana memperjuangkan hak cuti, hak atas upah yang layak, hak untuk bekerja tanpa pelecehan. Ini bukan sekadar mimpi, ini adalah tugas kita semua.

Aku bermimpi melihat Batam tidak hanya sebagai “Kota Pekerja”, tetapi juga “Kota Perempuan Berdaya”. Kota di mana setiap perempuan, dari berbagai latar belakang, bisa bekerja, bermimpi, dan hidup dengan martabat yang penuh. Kota di mana hukum benar-benar menjadi pelindung bagi perempuan, bukan sekadar teks di atas kertas.

Hari Kartini ini, aku memilih untuk tidak hanya mengenang Kartini dalam sejarah, tetapi menghidupkannya dalam tindakan. Dengan terus belajar, berbicara, bergerak, dan membela. Karena ketika satu perempuan bergerak, maka seluruh perempuan ikut bergerak.

Perjalanan ini memang belum menemukan titik pemberhentiannya. Tapi bukankah memang begitu seharusnya sebuah perjuangan? Terus bergerak, terus membangun, tanpa lelah berharap dan bekerja untuk dunia yang lebih baik.

Aku percaya, di Batam, di tanah para pekerja ini, perempuan-perempuan sedang, telah, dan akan terus mengukir sejarahnya sendiri. Sejarah yang kelak akan dibaca oleh generasi-generasi berikutnya, sebagai bukti bahwa perjuangan perempuan itu nyata, berharga, dan tidak akan pernah sia-sia. (Penulis adalah DPD IMM Sumatera Utara)

-->