Perlukah Cuti Menstruasi bagi ASN?
oleh: Salma Sa’adah| sentralberita ~ Jika Anda adalah seseorang yang mengalami menstruasi, kemungkinan Anda akan sangat familiar dengan beberapa efek samping fisik menstruasi seperti (dismenore) kram perut, perubahan suasana hati, sakit punggung, mual, diare, dan sakit kepala. Bahkan, sebuah survei di Inggris yang dilakukan oleh yayasan Bloody Good Period and Fever mengungkapkan bahwa 59% partisipan memiliki pengalaman negatif dengan menstruasi mereka dan 73% partisipan merasa struggle untuk melakukan pekerjaan mereka ketika menstruasi.
Alasan mereka merasa struggle yaitu energi rendah (83%), kesakitan (79%), kurang konsentrasi (61%), merasa cemas tentang kebocoran (57%) dan harus berhenti bekerja untuk minum atau membeli obat penghilang rasa sakit (50%).
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan: Jika begitu banyak pekerja wanita yang menderita ketika menstruasi, mengapa tempat kerja tidak lebih siap untuk memenuhi kebutuhan karyawan yang sedang menstruasi?
Regulasi Cuti Menstruasi di Indonesia
Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai cuti menstruasi terdapat dalam Pasal 81 dan Pasal 93 ayat 2(b) UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini memperbolehkan buruh mengambil cuti menstruasi, maksimal dua hari jika memang merasakan sakit ketika menstruasi sehingga tak bisa maksimal bekerja. Hal yang perlu digaris bawahi adalah cuti menstruasi pada UU ini hanya berlaku bagi buruh, tidak untuk aparatur sipil negara (ASN). Dalam hal ini, seharusnya, tidak boleh ada pembedaan hak cuti menstruasi antara perempuan sebagai buruh di sektor swasta dan pegawai di pemerintahan (ASN).
Pemerintah telah membentuk regulasi yang diskriminatif terhadap hak reproduksi perempuan karena cuti menstruasi bagi ASN (yang terdiri dari PNS dan PPPK) tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Dalam UU ASN ini, hanya diatur bahwa “PNS berhak memperoleh cuti” (pasal 21). Sedangkan bentuk-bentuk cutinya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017. Jenis cuti yang dipaparkan dalam PP tersebut adalah cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting, cuti bersama, serta cuti di luar tanggungan negara. Ringkasnya: tak ada cuti menstruasi.
Jika cuti menstruasi digabungkan dengan cuti sakit, maka akan merugikan wanita yang mengalami dismenore. Mereka kemungkinan akan menggunakan semua jatah cuti sakit mereka. Lalu, bagaimana jika mereka mengalami penyakit lain?
Manfaat Cuti Menstruasi bagi ASN dan Organisasi Sektor Publik
Dalam manajemen sumber daya manusia, kita mengenal yang namanya compensation and benefits. Sederhananya, compensation atau kompensasi mencakup bayaran yang diterima karyawan secara langsung, seperti gaji atau upah. Sedangkan benefits merupakan manfaat yang secara tidak langsung diterima oleh karyawan, seperti tunjangan, asuransi kesehatan dan cuti.
Tentunya, compensation and benefits sangat penting dalam meningkatkan motivasi karyawan untuk bekerja dengan baik. Ketika karyawan mendapat manfaat yang sepadan atas pekerjaan mereka, kualitas hidup mereka akan meningkat sehingga mereka dapat fokus dan maksimal bekerja. Dengan demikian, kinerja organisasi pun akan meningkat dan begitu pula sebaliknya.
Manfaat dari penerapan cuti menstruasi dirasakan oleh Kristy Chong, CEO Modibodi, sebuah perusahaan pakaian dalam yang berbasis di Balmain, Australia. Dia tidak menyesal sejak memberlakukan 10 hari cuti berbayar untuk stafnya yang sedang menstruasi pada Mei 2021 lalu. Dia mengatakan bahwa kepercayaan di antara manajer dan pekerja telah meningkat, karyawan tampak lebih produktif dari sebelumnya dan hal itu memposisikan Modibodi sebagai tempat yang menarik untuk bekerja.
Coba bayangkan, ketika ada seorang ASN yang sakit saat menstruasi tetapi tetap bekerja karena tidak mendapat hak cuti menstruasi. Apa akibatnya? ASN tersebut tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik dengan baik.
Perlu diingat bahwa bukan hanya satu atau dua orang perempuan yang bekerja sebagai ASN. Menurut data Badan Kepegawaian Negara (2022), sepanjang tahun 2018 hingga 2021, jumlah PNS perempuan lebih banyak dari jumlah PNS laki-laki. Sehingga, terganggunya kinerja PNS perempuan ketika menstruasi juga pastinya akan membawa dampak pada kinerja organisasi sektor publik.
Atas dasar itulah, saya berpandangan bahwa pemberian hak cuti menstruasi merupakan hal yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah demi tercapainya kesejahteraan ASN dan kinerja sektor publik yang optimal. Kosongnya regulasi yang mengatur hak cuti menstruasi bagi ASN mencerminkan bahwa pemerintah perlu segera mengakomodasikan cuti menstruasi di tingkat UU untuk kemudian diterbitkan PP, Keputusan Presiden, atau Keputusan Menteri. (Penulis adalah mahasiswi Fakultas Administrasi Negara UI)