Hormati Perdamaian, Penyidik Harusnya Dorong Terapkan Restorative Justice
sentralberita | Medan ~ Terdakwa dugaan kasus penganiayaan Joao Pedro Da Silva Bastos ,47), warga Jl. Amal Komplek Evergreen, Kel Sunggal, Kec Medan Sunggal, menyesalkan sikap penyidik dari Polrestabes Medan yang tidak tunduk pada surat edaran Kapolri tentang penanganan hukum yang mengedepankan Restorative Justice.
Terdakwa melalui kuasa hukumnya M. Sai Rangkuti, SH.,MH, Muhammad Ilham, SH, Rahmad Makmur, SH.,MH dan Rizky Fatimantara Pulungan, SH mengatakan, seyogianya Penyidik PPA Polrestabes Medan Harus menghormati proses hukum dan memberikan contoh yang baik ke masyarakat. Sebab, menurutnya antara kliennya selaku Pemohon Praperadilan sudah ada perdamaian dengan korban. Sehingga sangat tepat diterapkan restorative justice.
“Seyogianya Termohon Praperadilan (Polrestabes Medan) jangan campuri atau Ikut campur tentang perdamaian klien kami selaku Pemohon Praperadilan dengan Sri Wahyuni, yang mana ketika para pihak sudah berdamai, maka aturan hukum yang berlaku seharusnya adalah pihak-ihak yang membuat perdamaian itu sendiri,” kata Sai, usai sidang lanjutan Prapid dengan agenda Jawaban Termohon, yang digelar di PN Medan, Senin (6/9).
Menurutnya, ketika perdamaian terkait penganiayaan dibatalkan sepihak, seharusnya mekanismenya melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Medan. Namun, penyidik kembali membuka kasus ini dan menetapkan kliennya jadi tersangka.
Dikatakannya, setelah mencermati Jawaban dan Eksepsi dari Termohon Praperadilan, yang menyebutkan permohonan kliennya keliru dan tidak mempunyai dasar hukum adalah tidak benar.
“Semestinya, Termohon menguji Praperadilan ini dengan menjawab pokok perkaranya, kemudian jawaban Termohon yang menyatakan hakim tidak berwenang menyidangkan perkara ini juga keliru. Karena mengenai kewenangan majelis hakim di dalam menangani perkara Praperadilan telah diperluas dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII2014 tanggal 28 April 2015, sehingga patut dan pantas eksepsi Termohon Praperadilan ditolak,” ujarnya.
Dijelaskannya, merujuk telah adanya perdamaian atau kesepakatan yang dibuat oleh Pemohon Prapid dengan Pelapor Sri Wahyuni, maka antara Pemohon Praperadilan dengan Pelapor Sri Wahyuni telah terikat dengan Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga tidak bisa para pihak membatalkannya secara sepihak tanpa ada persetujuan pihak lain.
Dengan adanya Prapid tersebut, kata dia, bukanlah sebagai bentuk permusuhan atas sikap Termohon Praperadilan. “Akan tetapi di sini, kita menguji proses hukum yang telah dilakukan oleh Termohon Prapid benar atau tidak atau setidak-tidaknya Termohon Prapid jangan memihak kepada Pelapor,” ungkapnya.
Terlebih lagi, perkara sudah berhenti setelah 5 bulan lamanya sejak adanya perdamaian dengan Pelapor pada 21 November 2020, akan tetapi setelah adanya pencabutan perdamaian secara sepihak oleh Pelapor Sri Wahyuni, pada 5 April 2021 terkesan perkara tersebut hidup lagi.
“Perkara tersebut patut dan pantas untuk dihentikannya penyidikan, maka ketika Pelapor Sri Wahyuni membuat pencabutan perdamaian tersebut secara sepihak, maka patut dan pantas perbuatan Pelapor Sri Wahyuni telah melakukan ingkar janji (Wanprestasi) terhadap Pemohon,” ucapnya.
Disebutkannya, Pemohon mengajukan permohonan Prapid berdasarkan adanya penetapan status tersangka Pemohon, terkait Laporan Polisi Nomor : LP/2515/X/2020/SPKT Restabes Medan, tanggal 9 Oktober 2020, oleh Pelapor, Sri Wahyuni, jo Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP-Sidik/2320/X/Res. 1.6/ 2020/Reskrim, tanggal 30 Oktober 2020 jo Surat Perintah Penyidikan Lanjutan Nomor : SP. Sidik/553/IV/Res. 1.6/2021/Reskrim, tanggal 6 April 2021.
Bertalian dengan hal tersebut, lanjutnya kliennya benar telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.( FS/red)