Keluhan ‘Kahanggi’ Petani

Oleh : Suheri Harahap | sentralberia ~Mereka mengadukan nasib pertanian ditengah ancaman kelangkaan pupuk subsidi. Petani ini adalah anak sulung ibu pertiwi yang nasib kehidupan manusia yang tinggal di daerah agraris/tradisional pedesaan yang menjadi ujung tombak pertahanan bangsa, katub pengaman ekonomi dari tantangan masuknya modernisasi dan investasi ke desa lewat pertambangan, perkebunan termasuk sistem ekonomi liberal yang menggerogoti aparatur pemerintahan.
Demi sesaat, transaksional kita menghadirkan bentuk pertanian modern dan perlakuan kurang baik bagi petani dengan memanfaatkan anggaran, dan keterlibatan PPL sebagai garda terdepan, ternyata masih ada yang bermain untuk kepentingan pribadi, kapan petani bisa sejahtera?
Studi kasus pengelolaan sawah (saba) di Padang Galugur. Ternyata ditemukan peran penyuluh pertanian (PPL) sebagai penyalur pupuk subsidi lewat UD. Marsaudaro.
Binaan kelompok tani yang dibentuknya sejak tahun 2014 sampai 2019 masih lancar untuk kebutuhan 5 ton (100 sak) kepada 7 kelompok tani.
Tahun 2020 dan 2021 sudah mulai sulit hanya dapat 2 ton dengan alasan tak ada, akhirnya mereka mencari ke tokoh grosir pupuk dengan harga Rp. 200.000, padahal harga pupuk subsidi hanya Rp. 125.000,-.
Kebutuhan petani 1 kelompok 85 kaleng x 7 kelompok. Untuk 200 kg kebutuhan 3 lungguk (1/2 Ha). Diperlukan 15 kg perlungguk. Untuk 1 hektare sama dengan 6 lungguk.
Ada kelompok tani yang dibentuk anggota PPL, terlihat peran aparat desa yang belum memberikan konsep pertanian berkelanjutan. Kelompok tani dan aparat desa jangan mencari jalan pintas, dia kepdes, keluarga dia ketua kelompok tani, istrinya punya kilang padi, PPL nya yang punya usaha penyalur pupuk.
Apa yang bisa kita banggakan dengan desaku? Jika tak ada usaha Bumdes yang produktif untuk kebersamaan dalam mendukung distribusi ekonomi di desa, tak mau gotong royong semua sentra ekonomi dikuasai aparat desa, kapan ada DESA MANDIRI?
Jika pengurus kelompok tani tak diawasi, bermain dengan aparat desa, keduanya bersekongkol, kapan BENAH DUSUN terwujud? Mereka mengumpulkan KTP, KK, tapi kelompok tani belum ada RDKK , siapa yang bertanggungjawab dengan kesulitan petani?
Modal Bumdes lewat usaha kios bisa buat penyalur pupuk subsidi dan alat pertanian di desa. Kita punya potensi pertanian yang luar biasa, punya dana desa milyaran, punya dana APBD Kabupaten kok pertanian belum maksimal? Kapan negara dan penduduk yang tinggal merasakan denyut nadi pembangunan.