Perekonomian Sumut Hadapi Lima Tantangan

sentralberita|Medan~Ditengah optimisme prospek kinerja ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2020, beberapa tantangan perekonomian masih perlu mendapat perhatian dari seluruh pemangku kepentingan.
Kepala Kantor Bank Indonesia (BI) Wilayah Sumatera Utara Wiwiek Sisto Widayat mengatakan hal itu pada acara pertemuan tahunan Bank Indonesia 2019 di Medan, Rabu (4/12/2019) sore. Acara itu dihadiri Gubsu H Edy Rahmayadi, Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting, Kepala OJK KR 5 Sumbagut Yusup Ansori, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut Syech Suhaimi, pejabat BI, perbankan dan stakeholder di daerah ini.
Menurutnya, berbagai tantangan tersebut dapat menjadi faktor penahan dalam upaya mendorong dan mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi.
“Ada lima tantangan perekonomian utama yang dihadapi oleh Sumut yang dinilai perlu segera diatasi,” katanya.
Tantangan pertama adalah masih besarnya ketergantungan terhadap ekspor terkait komoditas perkebunan dan gejala berkurangnya kontribusi lapangan usaha industri pengolahan kepada perekomian. “Di tengah potensi sumber daya alam yang cukup beragam, ekspor Sumut ke pasar luar negeri masih sangat didominasi oleh produk CPO dan karet olahan,” ungkapnya.
Tantangan kedua yaitu belum optimalnya efisiensi investasi dan masih cukup rendahnya daya saing Sumut dibandingkaj daerah lain.
Lemahnya daya saing pada gilirannya dapat semakin menghambat upaya untuk memperbaiki investasi karena investor akan cenderung memilih daerah dengan daya saing yang lebih baik. “Investasi merupakan kunci utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi agar terlepas dari stagnasi di kisaran 5 persen (you),” katanya.
Namun demikian tingkat efisiensi investasi Sumut yang diukur melalui Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dinilai masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan beberapa provinsi di Sumatera. Selama periode 2011-2018, ICOR Sumut sebesar 5,67 lebih tinggi dari Jambi 4,68, Kepulauan Bangka Belitung 4,99 dan wilayah Jawa 5,56.
Tantangan ketiga yaitu masih terbatasnya kemampuan fiskal serta adanya tendensi backloading dan prosiklikalitas pada pola realisasi belanja daerah.
Tantangan keempat yaitu masih diperlukannya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sampai dengan pertengahan tahun 2019 Sumut masih menjadi salah satu provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka yang cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi lain.
Kemudian tantangan kelima yaitu risiko tergerusnya daya beli masyarakat seiring dengan fluktuasi inflasi, khususnya inflasi kelompok bahan makanan (pangan). Selama periode tahun 2012 sampai 2018, compound annual growth rate (CAGR) dari tingkat pendapatan riil di Sumatera Utara tercatat sebesar 4,05 persen lebih rendah dari CAGR laju inflasinya yang sebesar 5,56 persen.
Lebih besarnya kenaikan inflasi dibandingkan dengan pendapatan masyarakat akan berdampak pada semakin buruknya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Sumut juga perlu memperkuat sinergi, transformasi, dan inovasi untuk menjaga momentum perbaikan ekonomi.
Gubsu H Edy Rahmayadi dalam arahan mengatakan yang penting kita bersyukur kepada Tuhan. Perkembangan ekonomi Sumut perlu sinergi kita semua. “Saya tadi baru pulang dari Pusat Pasar, ditanya cabai merah ke pedagang harganya Rp18.000-Rp24.000 per kg. Padahal empat bulan lalu, gara-gara cabai merah inflasi 7 persen,” katanya.
Menurut Gubsu, inflasi itu seperti tensi. Naik ketinggian stroke, tapi kerendahan mati mendadak. Ada batasannya inflasi itu.
Di Batubara ada lahan cabai merah 600 hektar, pergi ke Beringin cabai merah semua. Juga di Karo, tapi kenapa harga cabai merah sebelumnya naik. Karena, cabai merah dijual ke Padang, Aceh dan Pekanbaru. Petani jualnya ke sana siapa yang bisa melarang. “Jadi kita perlu bersinergi,” katanya. (SB/Wie)