Standar High Maximum Security Indonesia itu Sangat Lemah

SHOHIBUL Anshor Siregar, Akademisi Sosial Politik UMSU

Sentralberita | Medan-Standar high maximum security Indonesia itu sangat lemah.

Hal tersebut dikatakan Akademisi Sosial Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar menjawab pertanyaan wartawan seputar penikaman yang dialami Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia, Jendral (Purn) Wiranto, Kamis, (10/10/2019).

Menurutnya, terlepas dari kewajiban kita untuk mengutuk segala bentuk kekerasan dan kriminalitas di tanah air, ia mencatat beberapa hal dari kejadian penusukan terhadap Menko Polhukam Jenderal (purn) Wiranto siang tadi.

“Pertama, kejadian ini menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai ‘standar high maximum security’ Indonesia itu sangat lemah. Bisa bertekuk lutut berhadapan dengan orang-orang amatiran. Ingat, Wiranto itu adalah figur yang berkedudukan sebagai salah seorang terdekat Presiden dengan otoritas penuh dalam bidang politik dan keamanan,” ujar Shohibul.

Meski pun demikian, lanjut dijelaskannya, ia juga mengaku heran ketika dulu terjadi bom Sarinah, hanya dalam jarak waktu beberapa jam saja Presiden Joko Widodo sudah hadir ke lokasi tanpa alat pengaman sama sekali seperti rompi anti peluru dan sebagainya.

Paradoksnya, Presiden Joko Widodo selalu terlihat selalu memakai alat pengaman standar seperti helm dan rompi saat meresmikan beberapa proyek infrastruktur.

“Kedua, kedua orang terduga pelaku, yakni SA alias AR dan FA binti S melakukannya seolah untuk tertangkap. Dari kejadian yang diberitakan media, kedua orang ini bukanlah orang terlatih sama sekali,” jelas Alumni Fakultas Sosiologi pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Ketiga, disebutkannya, melihat nama-nama yang diidentifikasi sebagai terduga pelaku, apalagi dengan busana cadar si terduga peremuan itu, secara psikologis dengan mudah orang awam di Indonesia akan terdorong secara simplistis (semberono) menghubungkannya dengan umat Islam. Kelompok teror transnasional akan disebut-sebut untuk kejadian ini.

Kemudian tuduhan-tuduhan radikalisme, ekstrimisme, anti Pancasila, anti NKRI dan idiom-idiom peyoratif lainnya akan semakin disahkan untuk memojokkan umat Islam.

“Ini tidak boleh terjadi. Pihak berwenang silakan melakukan tugasnya agar masalah ini terungkap dengan sejelas-jelasnya,” sebut Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPW-IMM) Sumatera Utara periode 1986-1988 ini.

Keempat, Sohibul memaparkan, bisa saja tak sedikit orang di Indonesia pada saat transisi politik yang genting ini kerap merasa dongkol atas berbagai masalah dan respon yang diberikan pemerintah.

Perasaan frustrasi itu dapat semakin bertambah karena ucapan-ucapan pejabat negara tertentu yang kurang menyejukkan.

“Sama sekali tanpa bermaksud melebih-lebihkan, saya menduga saat ini di Indonesia banyak orang tidak puas, tetapi tak semua berani melakukan tindakan seperti kedua terduga penusukan atas Wiranto itu. Karena itu, pemerintah berkewajiban mendiagnosis akar masalah dan secara responsif melakukan perbaikan,” papar Sekretaris Umum Parsadaan Luat Pahae Indonesia (PLPI) ini.

Masyarakat, kata Sohibul, sebaiknya menyikapi kejadian ini dengan sikap percaya kepada pemerintah.

“Perbanyak istigfar dan di tengah kesulitan seberat apa pun, jangan lupa bersyukur,” pungkasnya. (sb.rs)