Kongres Boemiputra Akan Digelar di Medan Dalam Upaya Pencegahan Potensi Disintegrasi Bangsa
Sentralberita|Medan~Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam kepanitiaan Kongres Boemiputra Nusantara akan menggelar Kongres Boemiputra di Garuda Plaza Hotel Medan, Selasa (11/9/2018) mendatang, guna mencegah potensi disintegrasi bangsa.
Dr Masri Sitanggang yang merupakan inisiator sekaligus Ketua Panitia Kongres Boemipoetra Nusantara Sumatera Utara menjelaskan, bahasan Kongres Boemipoetra Nusantara Sumut menggunakan paradigma Asta Gatra Nasional yang meliputi, pertama IPOLEKSOSBUDHANKAM (panca gatra nasional) kedua, Tri Gatra Nasional terdiri atas aspek lokasi dan posisi geografis wilayah Indonesia (aspek geografi), aspek kekayaan dan sumber daya alam (SDA) dan aspek kependudukan (Demografi) atau yang disebut dengan gatra alamiah.
Paradigma Asta Gatra Nasional digunakan pada Pra Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia dalam rangka upaya Bela Negara secara komprehensif.
Kongres BoemiPutra ini akan dihadiri sejumlah tokoh-tokoh nasional seperti Mantan Panglima. Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Prof Dr. Maswadi Rauf, MA. Prof. Dr. Sobar Sutisna, Marzuki Alie, SE, MM, Ph.D., Prof. Yusril Ihza Mahendra, Letjen TNI (Purn). Prof. Dr. Syarifudin Tippe, Dr. M. Dahrin La Ode, M.Si, Dr. Ichsanuddin Noorsy BSc, SH, M.Si, Prof. Dr. Suteki , SH,M.Hum.
Adapun pembicara lokal adalah Dr Shohibul Anshor Siregar, Prof Dr. H. Hasim Purba, SH,M.Hum dan Dr Ir Masri Sitanggang MP. Sementara peserta kongres adalah perwakilan dari kesultanan dan tokoh adat, perwakilan ormas, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan agama di Sumatera Utara yang diperkirakan sekitar 300 orang,” kata Dr Masri Sitanggang yang didampingi Sekretaris Panitia, Chairul Munadi kepada wartawan, Kamis (6/9/2018).
Dipaparkan Masri, secara historis, merujuk pasal 163 IS (Indische Staatregeling) penduduk Indonesia zaman Hindia Belanda diklasifikasikan menjadi tiga stratifikasi yaitu Eropa, Timur Asing (Terutama Tionghoa dan Arab) dan Pribumi/Inlander.
Stratifikasi ini menunjukkan perbedaan status sosial, politik, hukum dan ekonomi penduduk Hindia Belanda. Akibat adanya stratifikasi ini kesenjangan semakin tajam dan ketidakadilan semakin dirasakan oleh pribumi/Inlander, sehingga memunculkan perlawanan yang dimulai sejak periode kerajaan nusantara yang bersifat primordial, hingga munculnya kesadaran kemerdekaan dengan ditandai munculnya berbagai gerakan politik Boemipoetra.
Gerakan politik Boemipoetra itu antara lain seperti Sarekat Islam pada tahun 1905 yang dipelopori oleh H. Samanhudi dan Haji Umar Said Cokroaminoto, Budi Utomo 1908 yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo, Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa 1922 yang dipelopori oleh KH Dewantara hingga Perkumpulan Pemuda Indonesia yang selanjutnya melahirkan Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia pada Kongres Pemuda II 1928 yang kemudian menjadi momentum cikal bakal lahirnya kesadaran berbangsa.
Perjuangan boemipoetra tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari penjajah, melainkan juga mempertahankan kemerdekaan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat.
Untuk itu, berbagai macam perlawanan tidak henti-hentinya dilakukan tanpa mengenal rasa lelah pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia. Kehidupan berbangsa dan bernegara selama 73 tahun mengalami pasang surut.
Kepemimpinan politik silih berganti namun kondisi rakyat Indonesia tidak berubah, khususnya Boemipoetra mengalami berbagai persoalan di berbagai bidang kehidupan baik sosial, politik dan ekonomi.
“Apalagi ketika penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi” dihentikan melalui Inpres Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan,” pungkasnya.
“Amandemen ini membawa konsekuensi politik yang berdampak pada kehidupan bangsa Indonesia khususnya posisi Boemipoetra yang saat ini selain tidak berdaulat secara ekonomi, juga tidak berdaulat secara politik,” sesalnya.
Makanya, kata Masri, apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut akan memunculkan potensi disintegrasi bangsa, merebaknya konflik sosial di masyarakat yang mengancam kedaulatan dan kesatuan NKRI.(SB/01)