Uji Kepemimpinan Golkar Sumut: Membaca Kapasitas Figur Lewat Indikator, Bukan Sekadar Ambisi
sentralberita | Labuhanbatu Utara ~ Kontestasi Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Utara semestinya tidak diletakkan pada hiruk-pikuk konflik atau manuver elite semata. Lebih dari itu, Musyawarah Daerah (Musda) seharusnya menjadi forum pengujian kapasitas kepemimpinan secara rasional dan objektif, khususnya ketika nama Bupati Labuhanbatu Utara, Hendriyanto, SE, disebut-sebut sebagai penantang Musa Rajekshah (Ijeck).
Dalam konteks ini, membandingkan figur bukan soal suka atau tidak suka, melainkan membaca indikator kepemimpinan yang relevan dengan skala organisasi Golkar Sumut.
1. Skala Kepemimpinan dan Kompleksitas Wilayah
Labuhanbatu Utara adalah satu kabupaten dengan struktur birokrasi tunggal dan dinamika politik relatif homogen. Sementara Golkar Sumut adalah organisasi politik dengan: puluhan DPD kabupaten/kota, ribuan kader aktif, spektrum kepentingan politik lintas etnis, wilayah, dan kekuatan ekonomi.
Indikator ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kabupaten belum otomatis linier dengan kepemimpinan provinsi, terlebih ketika di tingkat kabupaten sendiri masih muncul catatan soal efektivitas dan ketegasan pengambilan keputusan.
2. Ketegasan dan Respons terhadap Masalah
Kepemimpinan politik diuji bukan saat situasi normal, melainkan ketika menghadapi tekanan. Di Labura, kepemimpinan Hendriyanto kerap dipersepsikan reaktif dan defensif, bukan proaktif dan solutif, terutama dalam merespons isu-isu strategis yang menyedot perhatian publik.
Sebaliknya, Golkar Sumut membutuhkan ketua yang mampu memimpin di tengah konflik, bukan figur yang tumbuh dari situasi konflik untuk kepentingan elektoral internal.
3. Konsolidasi dan Loyalitas Struktural
Indikator penting kepemimpinan partai adalah kemampuan mengonsolidasikan struktur secara organik, bukan melalui pendekatan formal semata. Dalam konteks ini, basis dukungan Hendriyanto masih dinilai terbatas secara geografis dan struktural.
Golkar Sumut memerlukan figur dengan jejaring lintas daerah yang teruji, bukan sekadar representasi satu wilayah atau satu lingkar kekuasaan tertentu.
4. Legitimasi Moral di Mata Kader
Kepemimpinan partai tidak hanya ditentukan oleh SK dan jabatan, tetapi oleh kepercayaan kader. Legitimasinya lahir dari rekam jejak, keberhasilan nyata, dan kemampuan menyatukan perbedaan.
Ketika seorang figur masih menghadapi kritik luas terkait efektivitas kepemimpinannya di daerah asal, maka legitimasi moral untuk memimpin organisasi yang jauh lebih besar menjadi pertanyaan yang tak terhindarkan.
5. Orientasi Kepemimpinan: Visi atau Momentum
Indikator terakhir yang paling krusial adalah orientasi. Apakah seorang kandidat maju karena: memiliki visi jangka panjang membangun partai, atau memanfaatkan momentum konflik internal sebagai jalan pintas politik?
Di sinilah perbedaan mendasar terlihat. Golkar Sumut membutuhkan kepemimpinan yang lahir dari visi dan kapasitas, bukan dari situasi yang kebetulan membuka ruang ambisi.
Kesimpulan: Indikator Bicara Lebih Keras dari Retorika
Perbandingan berbasis indikator menunjukkan bahwa loncatan dari memimpin satu kabupaten ke memimpin Golkar Sumut bukan sekadar kenaikan kelas administratif, melainkan lompatan kepemimpinan yang membutuhkan kesiapan menyeluruh.
Musda Golkar Sumut akan menjadi penentu apakah partai memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak dan kapasitas terukur, atau menyerahkan masa depan organisasi pada figur yang ambisinya lebih cepat melaju dibanding kematangannya memimpin.
Dalam politik modern, indikator kepemimpinan tidak bisa dimanipulasi oleh retorika. Ia akan selalu menguji figur—cepat atau lambat. (SB/FRD)
