Kolaborasi Tanpa Sekat, Upaya Titik Temu Pemerintah dan Masyarakat

sentralberita ~ Di setiap sistem pendidikan yang berkemajuan, evaluasi pembelajaran menjadi jantung dari proses peningkatan mutu. Evaluasi bukan hanya instrumen pengukur hasil belajar, melainkan fondasi bagi refleksi, perbaikan, dan perencanaan pendidikan jangka panjang.

Di Indonesia, paradigma evaluasi ini mengalami pembaruan seiring lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA). Peraturan ini menjadi tonggak penting dalam membangun sistem evaluasi pembelajaran yang lebih adil, objektif, dan berbasis pada prinsip kolaboratif.

Beberapa Tinjauan TKA

Jika ditinjauan secara teori, TKA adalah kegiatan pengukuran capaian akademik peserta didik pada mata pelajaran tertentu. Berbeda dengan pendekatan ujian tradisional yang bersifat selektif dan menekankan hasil akhir, TKA dirancang dengan prinsip kejujuran, kerahasiaan, dan akuntabilitas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Permendikdasmen tersebut. Ini berarti, TKA tidak hanya menilai angka, tetapi juga menegaskan integritas dalam penyelenggaraannya, serta memastikan setiap data dan hasil dapat dipertanggungjawabkan.

Secara filosofis dan sosiologis, TKA merepresentasikan pendekatan evaluasi yang sejalan dengan amanat konstitusi dan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, TKA menjadi alat untuk menilai bukan sekadar apa yang diketahui anak, tetapi bagaimana ia berpikir, bernalar, dan memecahkan persoalan sebuah kecakapan yang krusial dalam era transformasi digital dan globalisasi.

Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 secara tegas menyatakan bahwa tujuan TKA mencakup empat aspek: (1) memperoleh informasi capaian akademik yang terstandar, (2) menjamin akses bagi peserta dari pendidikan nonformal dan informal, (3) mendorong peningkatan kapasitas pendidik dalam penilaian, serta (4) memberikan bahan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan. Empat hal ini menunjukkan bahwa TKA bukanlah instrumen sempit, melainkan alat ukur multidimensi yang dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk memperbaiki sistem pendidikan secara menyeluruh.

Bangunan Kolaboratif

Namun, sistem yang baik tidak akan berjalan tanpa kerja bersama. TKA, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 hingga Pasal 5, melibatkan kementerian, kementerian terkait urusan keagamaan, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta satuan pendidikan dalam proses penyelenggaraannya. Di sinilah esensi kolaborasi tanpa sekat mulai terlihat. Tidak ada satu pun entitas yang bekerja sendiri. Semua memiliki tanggung jawab sesuai kewenangan, yang saling mendukung satu sama lain demi tercapainya pendidikan yang merata dan bermutu.

Baca Juga :  Pemerintah Perlu Perkuat Digitalisasi UMKM

Sebagai contoh, pemerintah daerah provinsi berperan dalam menjamin mutu soal dan koordinasi pelaksanaan TKA untuk jenjang pendidikan menengah. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota bertugas menyusun soal untuk jenjang dasar dan pertama, serta menetapkan pengawas pelaksanaan TKA di wilayah masing-masing. Kementerian pusat bertanggung jawab terhadap sistem penyelenggaraan nasional, penetapan kerangka asesmen, serta pengolahan dan penerbitan sertifikat hasil TKA. Ini semua menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan bukan hanya kebijakan, tetapi juga implementasi nyata dalam sistem evaluasi nasional.

Namun kolaborasi tidak berhenti pada tataran struktural pemerintahan. TKA juga memanggil keterlibatan masyarakat luas, dunia usaha, dan komunitas pendidikan. Dalam kerangka yang lebih besar, pendidikan adalah tanggung jawab kolektif. Masyarakat dapat berperan dalam memastikan ekosistem belajar di rumah mendukung ketercapaian capaian pembelajaran. Dunia usaha dan industri dapat memberikan masukan mengenai kompetensi yang dibutuhkan di masa depan, sehingga TKA tidak hanya menjadi tolok ukur akademik, tetapi juga relevan terhadap kebutuhan dunia nyata.

Keterlibatan lintas sektor ini menegaskan bahwa TKA tidak dapat dipandang sebagai alat seleksi akademik semata. Ia adalah medium komunikasi dan integrasi antar aktor pendidikan, dari pusat hingga akar rumput. Ketika guru-guru diberdayakan untuk memahami hasil TKA sebagai umpan balik, kepala sekolah menjadikannya dasar perbaikan kurikulum lokal, dan orang tua menggunakan hasilnya sebagai cermin pengasuhan, maka TKA telah menjadi instrumen pembangunan peradaban.

Kontekstualisasi Implementasi TKA

TKA juga bukan entitas yang berjalan sendiri. Ia terintegrasi dengan program strategis nasional seperti Asesmen Nasional (AN), Rapor Pendidikan, dan Platform Merdeka Mengajar. Sinergi ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang bergerak menuju ekosistem pendidikan yang lebih menyatu, di mana data digunakan untuk mengambil keputusan berbasis bukti (evidence-based policy), dan setiap evaluasi bukan akhir, melainkan titik awal perbaikan. TKA memperkuat pendekatan ini karena menyediakan hasil yang tidak hanya kuantitatif, tetapi juga kualitatif dalam memahami capaian murid.

Lebih jauh, hasil TKA dapat digunakan untuk keperluan yang luas sebagaimana diatur dalam Pasal 13. Mulai dari seleksi prestasi untuk jenjang berikutnya, penyetaraan pendidikan nonformal dan informal, hingga dasar kebijakan pendidikan. Bahkan, data TKA dapat digunakan kementerian maupun pemerintah daerah untuk menyusun strategi peningkatan mutu secara spesifik berdasarkan kebutuhan daerah. Ini membuktikan bahwa TKA adalah instrumen yang fleksibel, berguna, dan berdampak lintas jenjang dan sektor.

Baca Juga :  Membiarkan “Fantasi Sedarah” Beredar: Melegitimasi Kekerasan Seksual di Balik Dalih Kebebasan Berekspresi

Namun semua ini tentu menuntut satu hal yang mendasar yaitu komitmen kolektif. Sistem evaluasi sebaik apa pun tidak akan berarti tanpa dukungan moral dan partisipasi aktif dari seluruh pihak. Pemerintah harus memastikan pendanaan, pelatihan, dan infrastruktur memadai. Guru dan satuan pendidikan harus memaknai TKA bukan sebagai beban administratif, tetapi sebagai alat bantu peningkatan mutu pembelajaran. Masyarakat, orang tua, dan peserta didik perlu memahami bahwa evaluasi bukan untuk “mengadili,” melainkan untuk membantu berkembang secara adil dan utuh.

Di titik inilah, kolaborasi tanpa sekat bukan hanya slogan, tetapi kebutuhan mendesak. TKA, dengan desainnya yang partisipatif dan terintegrasi, membuka ruang temu antara negara dan rakyat dalam hal paling fundamental: pendidikan anak-anak bangsa. Ketika pemerintah pusat dan daerah bersinergi, ketika guru dan orang tua berjalan seiring, dan ketika data digunakan untuk membangun, bukan untuk menghakimi, maka di sanalah pendidikan menemukan martabatnya.

Upaya Solusi Strategik

Tes Kemampuan Akademik (TKA) tidak hadir untuk menggantikan semangat belajar, tetapi untuk memetakan dan memperbaikinya. Ia adalah cermin bersama yang disusun dengan nilai-nilai integritas, kerja sama, dan keberpihakan pada anak bangsa. Di tengah tuntutan zaman yang terus berubah, TKA menjadi penegas bahwa pendidikan bermutu hanya dapat dicapai dengan kolaborasi yang solid dan terbuka.

Dengan mengusung prinsip keterlibatan lintas sektor, prinsip evaluasi yang bermartabat, serta keterhubungan dengan kebijakan nasional, TKA telah menegaskan dirinya sebagai titik temu antara pemerintah dan masyarakat. Inilah bentuk evaluasi yang tidak memisahkan, tetapi menyatukan. Dan dari sinilah, Indonesia bisa melangkah lebih pasti menuju masa depan pendidikan yang inklusif, bermutu, dan berkeadilan.

Oleh: Tamara Rizki, Alumni Pascasarjana Universitas Islam Indonesia dan Pengamat Kebijakan

-->