Pemesanan Obat RSUD Diduga Langgar Hukum: BPK Buka Indikasi Unsur Pidana Korupsi

sentralberita | Labuhanbatu Utara ~ Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan obat dan Bahan Habis Pakai (BHP) di RSUD Aek Kanopan tidak lagi sekadar mengarah pada pelanggaran administrasi. Pola pemesanan barang tanpa kontrak, tanpa Surat Perintah Kerja (SPK), melampaui pagu anggaran, serta tidak dicatat sebagai kewajiban daerah, kini dinilai memenuhi indikasi awal unsur tindak pidana korupsi.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), BPK mengungkap bahwa selama tahun anggaran 2020–2021, pemesanan obat bernilai miliaran rupiah tetap dilakukan meskipun anggaran tidak tersedia atau telah terlampaui. Barang dikirim, diterima, dan digunakan, sementara dasar hukum pengadaan dan pencatatan keuangannya tidak ada.
Fakta ini memunculkan dugaan kuat bahwa praktik tersebut bukan sekadar kelalaian, melainkan perbuatan sadar yang membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Dalam perspektif hukum pidana korupsi, pemesanan barang di luar pagu anggaran dapat memenuhi unsur penyalahgunaan kewenangan, terutama apabila dilakukan oleh pejabat yang mengetahui keterbatasan anggaran namun tetap memerintahkan atau membiarkan pemesanan berlangsung.
Lebih mencurigakan, pemesanan tidak dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), melainkan oleh petugas farmasi dan pejabat non-struktural. Namun barang tetap diterima secara institusional dan dimanfaatkan untuk pelayanan.
Kondisi ini menunjukkan adanya rantai pembiaran, yang dalam hukum pidana dapat menyeret lebih dari satu pihak sebagai pihak yang turut serta atau membantu terjadinya perbuatan melawan hukum.
Vendor yang tetap berani mengirimkan barang bernilai besar tanpa kontrak, tanpa SPK, dan di luar pagu anggaran, dinilai sebagai fakta krusial. Dalam praktik normal pengadaan pemerintah, tindakan tersebut nyaris mustahil terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa pembayaran akan tetap dilakukan.
Situasi ini memperkuat dugaan adanya kesepahaman non-formal antara oknum RSUD dan vendor. Jika benar, maka praktik tersebut berpotensi masuk dalam kategori persekongkolan jahat untuk memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan celah administrasi.
Ketua LSM Forum Komunikasi Peduli Pelayanan Nasional (FKP2N) Sumut, Tono Tambunan, SE, sebelumnya menyebut bahwa keyakinan vendor menjadi indikator kuat adanya komunikasi di luar prosedur resmi, bahkan tidak menutup kemungkinan adanya pesanan fiktif atau penggelembungan nilai.
Dalam hukum tindak pidana korupsi, kerugian keuangan negara tidak selalu harus sudah terjadi dan dibayarkan. Cukup dengan adanya potensi kerugian akibat tindakan melawan hukum, unsur pidana sudah dapat dipertimbangkan.
Penggunaan barang tanpa pencatatan sebagai utang daerah, lalu munculnya tagihan di kemudian hari, menempatkan APBD dalam posisi menanggung beban yang sejak awal tidak sah. Skema ini berpotensi menjadikan APBD sebagai alat “pemutih” pelanggaran hukum.
Saat dimintai tanggapan terkait potensi unsur pidana korupsi dalam kasus pemesanan obat yang melampaui pagu anggaran tersebut, Kepala Bagian Hukum Pemkab Labuhanbatu Utara, Zahida Hafani, memilih tidak memberikan komentar. “No komen dek ku,” ujarnya singkat.
Sikap bungkam ini justru memperkuat sorotan publik, mengingat aspek hukum pidana menjadi kunci dalam menentukan apakah temuan BPK akan berhenti sebagai catatan administrasi atau berlanjut ke proses penegakan hukum.
Sejumlah pemerhati anggaran menilai, rekomendasi verifikasi bersama BPKP belum cukup untuk menjawab dugaan pidana. Pola berulang, nilai besar, serta indikasi kerja sama dengan vendor menjadi alasan kuat agar kasus ini didalami melalui audit investigatif dan dilimpahkan ke aparat penegak hukum.
Jika tidak, praktik pemesanan di luar pagu anggaran dikhawatirkan akan menjadi modus aman: pejabat bebas risiko, vendor tetap dibayar, dan keuangan daerah menjadi korban.
Kasus RSUD Aek Kanopan kini berada di persimpangan penting: ditindak sebagai dugaan korupsi atau dibiarkan menjadi kebiasaan berbahaya dalam pengelolaan keuangan daerah. Publik menunggu, apakah hukum akan berbicara atau kembali bungkam. (SB/FRD)
