Bupati Labura “Membisu” di Tengah Dugaan Skandal Dinkes

sentralberita | Labuhanbatu Utara – Di saat dugaan penyimpangan anggaran ratusan juta rupiah di Dinas Kesehatan (Dinkes) Labuhanbatu Utara (Labura) kian terang benderang berdasarkan temuan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), satu hal justru mencolok dan mengusik nalar publik: Bupati Labura, Hendriyanto, SE, memilih diam seribu bahasa.
Diam di tengah krisis bukan sekadar sikap pasif. Dalam konteks pemerintahan, diam adalah pilihan politik—dan pilihan itu kini menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat.
Selama beberapa hari terakhir, publik disuguhi fakta-fakta serius: GU ratusan juta rupiah dicairkan tanpa bukti kegiatan, dana mengalir ke rekening pribadi, mekanisme pengawasan internal lumpuh dan yang lebih mengkhawatirkan, muncul dugaan intervensi terhadap wartawan yang mengungkap kasus ini.
Namun di tengah badai tersebut, tidak ada pernyataan, tidak ada sikap, tidak ada arahan dari orang nomor satu di Labura.
Apakah ini bentuk pembiaran? Ataukah ada kepentingan yang membuat Bupati tak berani bersuara?
Sorotan publik semakin tajam setelah dugaan intervensi terhadap pers dikaitkan dengan oknum yang mengaku sebagai mantan Bupati dan disebut-sebut memiliki hubungan keluarga dengan Bupati aktif. Relasi ini menempatkan Hendriyanto, SE, pada posisi paling krusial sepanjang masa jabatannya.
Publik kini menanti satu kalimat sederhana yang belum juga terdengar: Apakah Bupati menolak atau membenarkan intervensi terhadap pers? Hingga kini, jawaban itu belum datang.
“Dalam demokrasi, konflik kepentingan tidak harus terbukti untuk menjadi masalah. Cukup dengan dibiarkan, kepercayaan publik sudah runtuh,” ujar Ketua FKP2N Sumatera Utara, Tono Tambunan.
Sikap bungkam Bupati dinilai banyak pihak justru memperkuat dugaan adanya ketidakberesan yang lebih besar. Sebab, jika memang tidak ada yang ditutup-tutupi, klarifikasi seharusnya menjadi langkah paling logis.
“Kalau pemimpin daerah tidak berdiri di depan saat institusinya diguncang, maka publik akan menilai ia berdiri di belakang masalah,” lanjut Tono Tambunan.
Ia menegaskan, Bupati tidak dituntut membela individu, melainkan melindungi marwah pemerintahan dan hak publik atas kebenaran.
Kasus ini kini bukan lagi semata soal Dinkes, bukan pula sekadar soal GU atau administrasi keuangan. Ini telah berubah menjadi ujian kepemimpinan.
Apakah Hendriyanto, SE akan berdiri sebagai kepala daerah yang tegas dan menjunjung transparansi, atau tercatat sebagai pemimpin yang memilih diam ketika kekuasaan diuji?
Publik Labura sedang menunggu, dan setiap detik keheningan justru memperkeras satu pesan: diam pun bisa menjadi jawaban.
Redaksi kembali menegaskan, ruang klarifikasi terbuka luas. Namun satu pertanyaan terus menggema di ruang publik: Sampai kapan Bupati Labura akan terus membisu? (SB/FRD)
