Kisah Dedikasi Mangku Aulia Penghulu di Pulau Terluar Madina, Menyebrangi Laut Demi Akad Suci

sentralberita | Madina~ Mangku Aulia Lubis, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambangan, menjalankan tugasnya menyebrangi sungai dan laut demi memastikan acara sakral akad nikah berlangsung sah di mata agama dan negara. Di ujung Kabupaten Mandailing Natal (Madina), tepatnya di Pulau Tamang, Kecamatan Batahan, negara hadir melalui Kementerian Agama memastikan masyarakat terlayani dengan baik.

Mangku Aulia Lubis, pria kelahiran Pulau Tamang tahun 1980, Penghulu Kecamatan Batahan harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 69,5 kilometer dari kantor KUA. Perjalanan itu bukan sekadar jarak, tetapi rangkaian medan berat yang dimulai dengan sepeda motor bututnya menuju sungai, menyeberang menggunakan getek, lalu menunggu kapal kecil menuju pelabuhan Palimbungan, dari pelabuhan ini Mangku Aulia menyeberangi laut menuju Pulau Tamang. Seluruh perjalanan bisa memakan waktu hingga tiga jam, bahkan lebih jika cuaca tak bersahabat.
“Awalnya jujur saja, saya takut,” kata Mangku Aulia sambil tertawa mengenang pengalaman pertamanya. Naik getek dan kapal bot kecil dengan ombak tinggi, pelampung pun belum tentu ada. Waktu turun ke pelabuhan, ombak sering menghantam tangga. Deg-degan sekali,” ujarnya.
Pulau Tamang merupakan wilayah dengan keterbatasan infrastruktur. Listrik PLN tidak ada warga mengandalkan mesin desail desa dan sebagian kecil panel surya untuk supply. Jaringan internet nyaris tidak ada, hanya sinyal GSM untuk telepon. Namun di tengah keterbatasan itu, kehidupan sosial berjalan hangat dan penuh keramahan.

Baca Juga :  Mantan Kanwil Kemenagsu Muhammad Hatta Nilai, Kemenag Semakin Dekat dengan Umat

“Memang sepi, tapi nyaman. Warganya ramah sekali. Kalau ada pejabat atau petugas datang, mereka merasa diperhatikan. Nikah di sana itu jadi momen besar. Mereka senang karena merasa negara hadir,” ujarnya.
Kecamatan Batahan terdiri dari 18 desa, dengan rata-rata 140 hingga 150 peristiwa pernikahan setiap tahunnya. Empat desa di antaranya hanya bisa dijangkau dengan menyeberangi laut. Dalam kondisi tersebut, kehadiran KUA bukan sekadar administratif, melainkan simbol perhatian negara terhadap wilayah terluar.
“Motivasi saya sederhana. Mereka sangat mengharapkan kehadiran kita. Daerah seperti ini jarang disentuh pembinaan keagamaan. Kalau kita datang, mereka merasa senang dan bahagia,” katanya.

Tak jarang, setelah akad nikah, Mangku Aulia menyempatkan diri duduk bersama warga, mendengarkan cerita mereka, membahas kebutuhan keagamaan, hingga persoalan sosial desa. Sambutan warga sering kali sederhana ikan hasil tangkapan kadang di tawarkan makan atau sekadar kopi hangat namun penuh makna.
“Bukan soal apa yang mereka beri, tapi bagaimana mereka menyambut. Itu yang membuat kami tetap semangat,” ujarnya.
Ia juga berharap adanya dukungan sarana operasional yang memadai. “Kendaraan dinas yang sesuai medan sangat dibutuhkan. Jalur berlumpur, banjir, laut ini bukan medan biasa,” pungkasnya

Baca Juga :  Kakanwil Kemenagsu Letakkan Batu Pertama Pembangunan Gedung Asrama Pesantren Tahfizh Qur’an Umat Annajah Sumut

Apa yang dilakukan Mangku Aulia Lubis bukan sekadar menjalankan tugas administratif pernikahan, melainkan merawat harapan masyarakat di wilayah terluar agar tetap merasa diperhatikan, diakui, disentuh dan dilayani dengan bermartabat. Di sanalah nilai pelayanan Kementerian Agama menemukan ruh nya melayani bukan karena mudah, tetapi karena dibutuhkan.
“Pengabdian di pelosok adalah pengingat bahwa tugas negara bukan memilih tempat yang nyaman, melainkan hadir di titik paling jauh ketika masyarakat memanggil. Sebab sejatinya, pelayanan yang berdampak bukan diukur dari jarak tempuh, melainkan dari seberapa jauh hati kita mau melangkah untuk sesame,” ucapnya.

Selama masih ada masyarakat yang menunggu di seberang laut, di balik sungai, dan di ujung negeri, pengabdian itu akan terus berlayar dengan keyakinan bahwa setiap langkah kecil yang tulus, adalah bagian dari kerja besar membangun kemanusiaan. (01/red)

-->