Kacau Pengelolaan Anggaran RSUD Aekanopan: Tagihan Obat Menggunung, Prosedur Diabaikan, Masyarakat Dirugikan

sentralberita | Labuhanbatu Utara ~ Dugaan kuat adanya penyimpangan dalam pengadaan obat-obatan dan Bahan Habis Pakai (BHP) muncul dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada RSUD Aek Kanopan. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2022 dan Inspektorat mengungkap pola manajemen yang kacau, tidak transparan dan berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.

Laporan tersebut menguraikan bahwa sepanjang tahun 2020–2021, RSUD Aek Kanopan melakukan pemesanan obat tanpa prosedur yang berlaku — tanpa SPK, tanpa kontrak, dan tanpa dasar hukum yang jelas.

Berdasarkan wawancara BPK dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) saat itu, Surya Doni terungkap fakta bahwa selain empat kewajiban formal yang harus dijalankan PPK, terdapat pula tagihan pembelian obat-obatan yang tidak pernah dilaporkan sebagai bagian dari pekerjaan pengadaan.

Pemesanan obat dilakukan langsung oleh petugas farmasi dan pejabat penunjang medis, tanpa proses tender, tanpa kontrak, dan tanpa persetujuan administrasi yang seharusnya menjadi standar.

Mereka memesan obat langsung kepada penyedia, barang diterima oleh petugas gudang, baru setelah itu disampaikan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Sistem seperti ini membuka ruang gelap bagi penyimpangan, mark-up, bahkan potensi permainan antara pegawai dan penyedia.

Hasil wawancara BPK dengan pejabat terkait menyebutkan bahwa beberapa pemesanan bahkan melebihi plafon anggaran, namun tetap dilakukan tanpa dasar kontrak. Pada tahun 2020, tercatat pengadaan senilai Rp1,559 miliar, sementara tahun 2021 melonjak drastis menjadi Rp10,726 miliar.

Angka ini tidak pernah dilaporkan PPK dalam penyusunan pertanggungjawaban, sehingga tidak tercermin dalam laporan resmi SKPD.

Kekacauan pengelolaan ini makin terang ketika Bupati Labuhanbatu Utara, Hendriyanto, SE memerintahkan Inspektorat melakukan pemeriksaan. LHP Investigasi Inspektorat Kabupaten Labura mengungkap bahwa RSUD Aek Kanopan memiliki tunggakan pembayaran yang belum diselesaikan hingga 21 September 2021 sebesar Rp12,285,647,859. Tunggakan tersebut berasal dari, tahun 2020: Rp1,559,157,97 dan tahun 2021: Rp10,726,490,662. Jumlah yang sangat besar untuk rumah sakit daerah sekelas Aek Kanopan.

Baca Juga :  Diduga Tak Sesuai KAK, Proyek Konversi Sawit PTPN IV Labuhan Haji Tetap Lanjut Meski Lahan Belum Bersih

Ironisnya, setelah LHP keluar, Direktur RSUD bukannya memperbaiki tata kelola atau melakukan verifikasi menyeluruh, melainkan melanjutkan pembayaran kepada penyedia, dengan total mencapai Rp3,667,931,345.

Pembayaran dilakukan meski dokumen pemesanan belum jelas statusnya, dan sementara audit belum memastikan apakah seluruh pesanan tersebut sah dan benar sesuai kebutuhan rumah sakit.

Salah satu penyedia obat, PT MPI, bahkan melayangkan somasi kepada rumah sakit karena sejak 2020–2021, pembayaran tidak juga dilunasi. Penyedia mengklaim bahwa RSUD masih menyimpan seluruh dokumen pemesanan, sehingga tidak mungkin mereka mencairkan pembayaran tanpa pesanan dari pihak rumah sakit. Total tagihan yang dikirimkan enam penyedia mencapai Rp6,049,222,955 setelah mendapat surat konfirmasi dari BPK.

Dari kronologi dalam laporan tersebut, muncul pola berulang, yakni : Pegawai memesan obat tanpa prosedur, barang diterima tanpa kontrak, tagihan diterima bertahun-tahun kemudian, penagihan menumpuk miliaran rupiah, PPK mengaku tidak tahu atau tidak dilibatkan, Direktur mengambil keputusan pembayaran tanpa verifikasi komprehensif.

Model kerja seperti ini tidak hanya melanggar aturan pengadaan barang/jasa, tetapi juga membuka peluang kolusi dan penyalahgunaan anggaran.

Hingga saat ini, setidaknya terdapat empat pertanyaan besar yang perlu dijawab pemerintah daerah dan aparat hukum, yaitu : 1. Siapa yang memberi kewenangan pemesanan tanpa SPK? Mengapa PPK tidak mengetahui atau tidak melaporkan tagihan selama dua tahun? 3. Apakah Direktur melakukan pembayaran tanpa validasi untuk menutup temuan audit? 4. Apakah ada indikasi permainan antara pejabat rumah sakit dan penyedia obat?

Baca Juga :  Polsek Kualuh Hulu Tangkap Pencuri Motor, Satu Pelaku Masih Buron

Kasus ini telah membawa RSUD Aek Kanopan ke posisi yang memprihatinkan. Dana miliaran rupiah yang seharusnya digunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat justru dipertanyakan kegunaannya, sementara utang kepada penyedia obat terus menumpuk.
Jika tidak ada tindakan cepat, RSUD Aek Kanopan berpotensi mengalami krisis operasional akibat beban utang dan hilangnya kepercayaan penyedia barang.

Sementara, Direktur RSUD Aek Kanopan, dr. Juri Freza saat dikonfirmasi wartawan belum lama ini mengatakan, terkait pemesanan obat-obatan tanpa kontrak memang bisa dilakukan, karena sistem RSUD ada yang namanya kondisi situasional. Artinya, tidak mesti harus menunggu kontrak baru bisa melakukan pemesanan obat, sebab apabila RSUD mengalami situasi yang mengharuskan pengadaan obat terhadap pasien dengan penyakit tertentu harus dapat ditangani.

“RSUD itu kan situasional. Kita bukan macam OPD lain. Penyakit yang masuk itu kan enggak ada di RAB, begitulah analoginya,” jelasnya.
Begitupun Freza tidak menampik kalau mekanisme seperti itu menyalahi aturan. Ia pun mengakui kalau persoalan ini sudah diaudit, bahkan diperiksa oleh Kejatisu. Semua itu tetap dia hadapi sebagai tugas jabatan atas imbas kesalahan Direktur RSUD sebelumnya, dr. Tengku Mestika Mayang.

Lebih jauh Direktur yang kerap disapa Reza ini pun menjelaskan, hingga saat ini utang RSUD yang dibebankan kepada Pemerintah Kabupaten sebenarnya sebesar Rp 6,560 Miliar berasal dari 12 penyedia. Terungkapnya itu dari hasil audit menyeluruh BPKP selama 3 bulan disana.

Hingga kini, lanjut dia, Pemkab telah mencicil hutang pengadaan obat-obatan dan bahan habis pakaiRSUD tersebut sebesar Rp 4 Miliar yang sisanya sekitar 2 Miliar akan dilunasi pada tahun depan. (SD/FRD)

-->