Aroma Kongkalikong di RSUD: Pemesanan Tanpa Kontrak Picu Kecurigaan Manipulasi Keuangan Daerah

sentralberita | Labuhanbatu Utara — Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan obat dan Bahan Habis Pakai (BHP) di RSUD Aek Kanopan menimbulkan kecurigaan serius adanya pola yang tidak wajar dalam proses pemesanan barang. Pemesanan obat senilai miliaran rupiah yang dilakukan tanpa kontrak dan tanpa Surat Perintah Kerja (SPK) selama dua tahun berturut-turut (2020–2021) kini memunculkan dugaan adanya aroma kongkalikong antara oknum pegawai RSUD dan pihak vendor.

BPK mencatat, meski tidak ada dokumen kontraktual, para vendor justru berani mengirimkan barang bernilai besar ke RSUD. Pertanyaan paling tajam muncul dari fakta itu: mengapa perusahaan farmasi berani mengambil risiko pengiriman tanpa dasar hukum yang jelas?

Dalam laporannya, BPK menyebut pemesanan obat dilakukan oleh petugas farmasi serta pejabat non-struktural, bukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Barang tetap dikirim, diterima, bahkan digunakan untuk pelayanan pasien — tetapi tidak dicatat sebagai kewajiban daerah.

Kondisi ini dinilai sangat janggal dan berpotensi menjadi celah permainan oknum karena tidak adanya kontrak memudahkan manipulasi harga dan volume, tidak adanya SPK membuat tanggung jawab hukum kabur, tidak tercatat sebagai utang memungkinkan permainan angka dan peluang mark-up.

Baca Juga :  Indikasi Penyimpangan Teknis di Proyek Konversi Sawit 2025, Pengawasan Kebun Labuhan Haji Dipertanyakan

Pola ini memperlihatkan bahwa sistem administrasi RSUD Aek Kanopan berada pada titik paling rawan penyimpangan.

Dalam praktik umum pengadaan farmasi, vendor tidak akan berani memasok barang bernilai besar tanpa dokumen legal. Namun dalam kasus RSUD Aek Kanopan, hal itu justru terjadi secara berulang.

Ketua LSM Forum Komunikasi Peduli Pelayanan Nasioan (FKP2N) Sumut, Tono Tambunan, SE pun angkat bicara. Ia menilai bahwa situasi ini mengindikasikan kemungkinan adanya komunikasi non-formal antara oknum pegawai RSUD dan pihak vendor. Vendor tampak memiliki keyakinan kuat bahwa tagihannya akan “diamankan” di kemudian hari, sehingga tetap mengirim barang meskipun tanpa dokumen resmi.

“Sepertinya sudah ada komunikasi non formal antara vendor dengan oknum pegawai Rumah Sakit. Hal itu terlihat dari begitu yakinnya vendor mengirimkan barang tanpa prosedur resmi. Berarti vendor yakin, pesanan yang tanpa kontrak itu nantinya akan tetap dibayarkan. Bisa jadi, barang yang dipesan pun sama sekali tidak ada alias fiktif,” ujarnya menduga-duga.

Tono pun menambahkan, penggunaan barang tanpa pencatatan utang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan daerah, sebab barang sudah dipakai untuk pelayanan, harga sudah masuk tagihan vendor, namun RSUD tidak mencatatnya sebagai kewajiban APBD.

Baca Juga :  Anggaran Rehab Kantor Baznas Labura Dipertanyakan

BPK memang telah merekomendasikan pembentukan tim verifikasi bersama BPKP. Namun melihat pola pemesanan tanpa kontrak yang terjadi berulang, banyak pihak menilai langkah itu tidak cukup.

Publik pun mendesak, Bupati Labuhanbatu Utara turun tangan langsung, Inspektorat membuka audit investigatif dan menelusuri dugaan pola permainan antara vendor dan oknum pegawai RSUD.

Karena tanpa penyelidikan menyeluruh, dugaan persekongkolan ini dikhawatirkan akan terus merugikan keuangan daerah dan membuat pengelolaan rumah sakit kian tidak akuntabel.

Temuan BPK itu telah membuka kotak pandora sistem pengadaan yang tidak transparan. Pemesanan tanpa kontrak bernilai miliaran rupiah, barang dikirim tanpa dasar hukum, dan tagihan tidak diakui sebagai kewajiban — semua fakta ini memperkuat dugaan adanya pola yang perlu diusut secara tuntas.

Selagi penyelidikan belum dilakukan, aroma kongkalikong akan terus menghantui RSUD Aek Kanopan dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah. (SB/FRD)

-->