Analisis Kritis: Mengarusutamakan Feminist Regency Response dalam Penanggulangan Bencana di Sumatera Utara

Oleh: Tamara Rizki| sentralberita ~Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang secara geografis berada di jalur Cincin Api Pasifik, risiko bencana adalah kenyataan sehari-hari yang tak terhindarkan. Namun bencana tidak pernah berdampak secara netral, ia selalu berkelindan dengan struktur sosial yang telah lama tertanam dalam masyarakat. Salah satu struktur yang paling menentukan adalah ketimpangan gender.
Hal ini tampak jelas ketika melihat skala bencana yang melanda Sumatera Utara pada akhir 2025, ketika banjir bandang dan longsor menewaskan sedikitnya 295 jiwa di provinsi tersebut, bagian dari total lebih dari 836 korban yang meninggal di seluruh wilayah Sumatra. Selain itu, lebih dari 4,2 ribu warga Sumatera Utara mengungsi akibat meluasnya kerusakan di berbagai kabupaten/kota. Fakta ini menggarisbawahi bahwa bencana tidak hanya menguji infrastruktur fisik, tetapi juga ketangguhan sosial yang tertanam di dalamnya. Maka tidak cukup bagi suatu respons bencana hanya berfokus pada penyelamatan fisik, ia harus peka terhadap dinamika sosial, akses, representasi, serta pengalaman gender yang berbeda.
Pendekatan ini dapat dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai Feminist Regency Response, sebuah paradigma penanganan bencana yang memposisikan perempuan sebagai subjek aktif dan produsen ketangguhan komunitas. Perspektif ini sesungguhnya mendapatkan landasan normatif yang jelas dalam kerangka hukum nasional, terutama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menegaskan bahwa perlindungan kelompok rentan, termasuk perempuan, adalah kewajiban negara dalam seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Kerentanan perempuan dalam bencana sesungguhnya bukan terletak pada faktor biologis, melainkan pada ketimpangan struktural yang membatasi akses terhadap informasi, sumber daya, dan ruang pengambilan keputusan. Berbagai studi global menunjukkan kecenderungan serupa, seperti tingginya angka kematian perempuan pada tsunami 2004 di Aceh. Fenomena tersebut selaras dengan kondisi dalam bencana Sumatera Utara 2025, ketika banyak korban perempuan tidak memperoleh akses cepat terhadap informasi peringatan dini karena alat komunikasi dikuasai kepala rumah tangga laki-laki, atau karena norma sosial yang membatasi mobilitas mereka ketika air bah datang secara tiba-tiba.
Dalam konteks ini, perempuan yang terikat pada peran domestik harus terlebih dahulu memastikan keselamatan anak dan lansia, sehingga memperbesar risiko dirinya. Ketimpangan yang bersifat normatif ini mengakibatkan perempuan menerima dampak yang tidak proporsional, bahkan sebelum proses evakuasi dimulai. Padahal, UU No. 24 Tahun 2007 secara eksplisit memasukkan unsur keadilan dan nondiskriminasi sebagai asas penanggulangan bencana, yang berarti akses informasi dan keselamatan seharusnya dijamin tanpa hambatan gender.
Di luar ancaman langsung terhadap keselamatan jiwa, perempuan menanggung risiko yang jauh lebih berat dalam fase pascabencana. Kondisi pengungsian di Sumatera Utara pada akhir 2025 memperlihatkan bagaimana ruang-ruang evakuasi yang tidak peka gender berpotensi meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender, pelecehan, atau eksploitasi seksual. Banyak pengungsian darurat yang tidak memiliki fasilitas sanitasi terpisah atau penerangan memadai, sehingga menempatkan perempuan dan anak perempuan dalam ancaman ganda.
Hilangnya sumber penghidupan akibat kerusakan sektor informal mulai dari pasar, UMKM rumahan, hingga pekerjaan berbasis domestic juga menciptakan beban ekonomi tambahan yang sulit dipikul tanpa dukungan pemulihan yang adil. Pada saat yang sama, layanan kesehatan reproduksi terhenti atau tidak dapat diakses karena fasilitas kesehatan rusak atau terputus akibat bencana. Kurangnya data terpilah gender dalam pendataan BNPB dan pemerintah daerah memperparah keadaan karena kebutuhan spesifik perempuan tidak terbaca oleh kebijakan resmi, sehingga respons menjadi bias terhadap kelompok yang memiliki suara paling dominan. Padahal kerangka hukum seperti Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menegaskan pentingnya penyediaan layanan dasar, termasuk kesehatan dan perlindungan khusus bagi perempuan, selama masa tanggap darurat.
Dalam konteks tersebut, Feminist Regency Response hadir untuk menegaskan bahwa penanggulangan bencana harus dirancang berdasarkan pemahaman mendalam terhadap pengalaman hidup perempuan. Pendekatan ini memandang perempuan bukan sebagai objek pasif yang menunggu bantuan, melainkan aktor strategis yang berperan menentukan arah respons dan pemulihan.
Di Sumatera Utara, banyak komunitas desa yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki pengetahuan lokal tentang jalur evakuasi keluarga, titik-titik rawan longsor, hingga strategi mengamankan kebutuhan dasar ketika infrastruktur terputus. Sayangnya, pengetahuan yang bersumber dari pengalaman sehari-hari ini masih jarang dianggap sebagai landasan legitimasi kebijakan. Maka pendekatan feminis menuntut keterlibatan perempuan dalam lembaga penanggulangan bencana di semua level, mulai dari relawan desa hingga pejabat pemerintah daerah, sekaligus memastikan pemenuhan kebutuhan seperti ruang aman, akses sanitasi layak, layanan kesehatan reproduksi, dan pendampingan psikososial. Kewajiban untuk melibatkan komunitas, termasuk kelompok rentan seperti perempuan, sebenarnya telah ditegaskan dalam UU No. 24 Tahun 2007 serta Permen PPPA tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Darurat Bencana, tetapi dalam praktiknya implementasi regulasi tersebut masih sangat terbatas.
Pendekatan feminis juga menekankan pentingnya pengumpulan data terpilah gender sebagai prasyarat pengambilan keputusan yang akurat. Ketika bencana Sumatera Utara 2025 melanda, banyak laporan kerusakan infrastruktur dan jumlah korban jiwa yang tidak mencantumkan data rinci berdasarkan gender dan usia, sehingga distribusi bantuan menjadi tidak tepat sasaran. Padahal data semacam ini bukan sekadar alat teknokratis, tetapi instrumen keadilan sosial yang memastikan respons benar-benar menyasar kelompok yang paling terdampak. Dengan data yang terpilah, pemerintah dapat mengetahui berapa banyak perempuan hamil atau menyusui yang membutuhkan layanan medis, berapa banyak perempuan kepala keluarga yang kehilangan usaha, atau berapa anak perempuan yang membutuhkan ruang aman di pengungsian. Hal ini juga sejalan dengan mandat penyelenggaraan sistem informasi bencana yang diatur dalam PP No. 21 Tahun 2008, yang mewajibkan pemerintah menyediakan data yang lengkap dan akurat untuk tujuan perlindungan masyarakat.
Pemulihan pascabencana menjadi ruang krusial untuk menegakkan prinsip keadilan gender. Sektor-sektor yang paling terdampak dalam bencana Sumatera Utara mulai dari pasar tradisional, pertanian kecil, hingga usaha rumahan merupakan ruang ekonomi yang banyak dikelola oleh perempuan. Ketika ruang-ruang itu hancur, perempuan kehilangan pendapatan utama keluarga. Pendekatan feminis menuntut agar pemulihan ekonomi tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga menyediakan akses modal, pelatihan keterampilan, serta pendampingan usaha bagi perempuan. Pemulihan ekonomi yang responsif gender bukan sekadar bentuk perlindungan, tetapi strategi jangka panjang untuk memperkuat ketahanan komunitas. Komunitas yang ekonominya ditopang oleh perempuan terbukti pulih lebih cepat dan lebih stabil menghadapi bencana berikutnya. Prinsip pemulihan yang berkeadilan juga sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007, yang memasukkan rehabilitasi dan rekonstruksi sosial sebagai bagian dari pemulihan menyeluruh, bukan sekadar pembangunan ulang infrastruktur.
Namun implementasi pendekatan feminis dalam manajemen bencana tidak terlepas dari hambatan struktural. Norma patriarkis masih kuat membatasi perempuan dari ruang pengambilan keputusan formal. Hal ini juga terlihat dalam struktur kelembagaan daerah di Sumatera Utara, di mana kepemimpinan teknis dalam penanggulangan bencana masih didominasi laki-laki dan perempuan tidak dianggap relevan untuk posisi strategis. Selain itu, keterbatasan pelatihan teknis, minimnya alokasi anggaran untuk gender mainstreaming, serta lemahnya koordinasi antar-lembaga memperlambat integrasi perspektif feminis dalam siklus penanggulangan bencana. Padahal riset menunjukkan bahwa perempuan yang memimpin dalam konteks bencana cenderung lebih kolaboratif dan inklusif dalam mengambil keputusan, serta lebih peka terhadap kebutuhan kelompok rentan. Hambatan implementasi ini mengindikasikan bahwa kerangka hukum yang sudah ada belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kebijakan operasional dan praktik di lapangan.
Kendati demikian, manfaat penerapan Feminist Regency Response sangat signifikan. Pendekatan ini memperluas cakupan respons hingga ke wilayah domestic ruang yang sering kali terabaikan oleh desain kebijakan formal tetapi justru menjadi pusat stabilitas keluarga pascabencana. Dengan memastikan desain pengungsian yang aman, pencatatan data yang sensitif gender, dan distribusi bantuan yang inklusif, pendekatan ini sekaligus mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender. Dalam jangka panjang, ia mendorong terciptanya ketangguhan komunitas yang tidak hanya didasarkan pada infrastruktur, tetapi pada solidaritas sosial dan kemampuan beradaptasi perempuan sebagai agen perubahan. Ketika perempuan menjadi bagian dari pengambilan keputusan, pemulihan tidak hanya menargetkan kembalinya kondisi prabencana, tetapi transformasi menuju tatanan yang lebih adil.
Dalam konteks Indonesia yang terus menghadapi risiko akibat perubahan iklim, relevansi pendekatan ini semakin meningkat. Perempuan dalam sektor pertanian, pesisir, dan rumah tangga yang juga banyak berada di Sumatera Utara adalah kelompok yang paling terdampak oleh perubahan cuaca ekstrem. Hilangnya pendapatan, meningkatnya beban kerja domestik, dan melemahnya ketahanan pangan keluarga menunjukkan bahwa bencana ekologis dan ketimpangan gender saling memperkuat. Maka Feminist Regency Response tidak hanya diperlukan untuk penanganan darurat, tetapi juga sebagai fondasi ketahanan jangka panjang menghadapi krisis iklim.
Secara teoretis, pendekatan feminis dalam penanggulangan bencana sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dan prinsip hak asasi manusia yang menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan. Keadilan gender adalah prasyarat ketahanan komunitas. Tanpa itu, pemulihan hanya akan bersifat semu bangunan memang dapat berdiri kembali, tetapi ketidakadilan yang melatarinya tetap utuh dan menanti bencana berikutnya untuk kembali memperlihatkan kelemahan struktural. Kerangka hukum nasional sudah memberikan landasan bagi keadilan tersebut, namun implementasinya membutuhkan perubahan paradigma institusional yang lebih dalam.
Pada akhirnya, Feminist Regency Response mengajarkan bahwa bencana adalah momentum untuk mengoreksi ketimpangan sosial. Ketika struktur lama runtuh, terbuka kesempatan untuk membangun tata kelola baru yang lebih setara. Perempuan, dengan pengalaman, ketahanan, dan pengetahuan lokalnya, harus diposisikan sebagai inti dari rekonstruksi sosial tersebut. Melibatkan perempuan bukanlah tindakan moral semata, melainkan strategi fundamental untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh dan lebih demokratis. Bencana tidak boleh menjadi ruang yang memperdalam ketidakadilan, tetapi harus menjadi ruang untuk memulihkan martabat dan memperkuat keadilan sosial. (Penulis adalah BPH DPD IMM Sumatera Utara).
