Ritme Baru Pendidikan: Sekolah Lima Hari sebagai Solusi Holistik di Sumut
Oleh: Rahmat Taufiq Pardede | sentralberita ~ Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menetapkan kebijakan sekolah lima hari bagi peserta didik pada jenjang SMA, SMK, dan SLB.m yang akan dilaksanakan tahun ajaran baru mendatang.
Kebijakan ini lahir bukan semata-mata sebagai pengaturan ulang jadwal akademik, melainkan sebagai ikhtiar strategis dalam merespons meningkatnya persoalan sosial remaja, seperti tawuran antarpelajar, penyalahgunaan narkotika, dan keterlibatan dalam jaringan geng motor.
Dari sudut pandang psikologi perkembangan remaja, langkah ini memiliki landasan yang kuat. Masa remaja adalah fase transisi krusial yang penuh gejolak emosional dan pencarian identitas.
Ketika remaja tidak memiliki struktur waktu yang jelas dan lingkungan positif yang mendukung, mereka menjadi lebih rentan terhadap pengaruh negatif. Dengan menyusun waktu belajar menjadi lebih padat dalam lima hari kerja dan memberikan akhir pekan untuk kegiatan keluarga atau komunitas, kebijakan ini berupaya menciptakan ritme hidup yang lebih sehat dan terarah bagi peserta didik.
Dalam ranah pendidikan kontemporer, pendekatan holistik semakin diakui sebagai kunci keberhasilan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga melalui interaksi sosial, pengalaman komunitas, dan pembinaan karakter secara langsung. Libur dua hari dalam sepekan seyogianya tidak dianggap sebagai kekosongan, tetapi sebagai peluang pembelajaran alternatif—baik melalui kegiatan keagamaan, keterlibatan sosial, seni, olahraga, maupun kegiatan kewirausahaan berbasis komunitas.
Namun demikian, perlu diakui bahwa kebijakan ini menimbulkan sejumlah konsekuensi yang patut diperhatikan. Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya kehadiran orang tua di rumah selama akhir pekan, khususnya bagi keluarga yang orang tuanya bekerja enam hingga tujuh hari dalam seminggu. Dalam kondisi ini, waktu luang siswa justru dapat menjadi ruang yang rawan, apabila tidak disertai pengawasan dan program kegiatan yang terstruktur.
Di sinilah peran penting kolaborasi muncul, kebijakan ini memerlukan pendekatan intersektoral dan dukungan kolektif. Pemerintah daerah dan satuan pendidikan perlu bersinergi dengan masyarakat, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, dan pihak swasta untuk menghadirkan kegiatan akhir pekan yang bersifat edukatif, preventif, dan membangun karakter.
Selain itu, dukungan kepada keluarga melalui edukasi parenting, penyediaan layanan konseling, serta fleksibilitas jam kerja bagi sektor tertentu dapat memperkuat peran keluarga dalam mendampingi anak di luar jam sekolah.
Perlu ditegaskan bahwa kebijakan sekolah lima hari bukan solusi instan, tetapi merupakan kerangka struktural jangka panjang yang dirancang untuk mengembalikan arah kehidupan remaja ke jalur yang lebih positif dan produktif. Evaluasi berkelanjutan, penguatan kapasitas lembaga pendidikan, serta keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat menjadi kunci agar kebijakan ini tidak berhenti pada administratif semata, melainkan bertransformasi menjadi gerakan kultural yang mengakar dan berdampak nyata.
Sumatera Utara telah mengambil langkah awal yang progresif. Kini, tantangan sekaligus tanggung jawab kita bersama adalah memastikan kebijakan ini berjalan dengan kontekstual,inklusif, dan berkelanjutan, demi menyelamatkan potensi generasi muda dan membangun masa depan pendidikan yang lebih manusiawi dan bermakna di Sumatera Utara.(Penulis Adalah Ketua Umum DPD IMM Sumut)