Tambang Tidak Harus Jadi Musuh: Negara Bisa Mengatur Bukan Membiarkan
Oleh: Tamara Rizki SH | sentralberita~Raja Ampat, sebagai kawasan strategis nasional dan simbol keanekaragaman hayati dunia, telah lama berada dalam pusaran wacana konservasi versus eksploitasi sumber daya alam. Ketika isu mengenai keberadaan aktivitas tambang nikel di Pulau Gag kembali menjadi perhatian publik, perdebatan tentang hak atas lingkungan hidup versus hak atas pembangunan ekonomi pun mencuat. Namun, diskursus yang kerap bersifat biner antara “pro-lingkungan” dan “anti-tambang” sering kali menutupi kompleksitas hukum, fakta empirik, serta aspirasi masyarakat lokal yang justru menjadi subjek utama dalam polemik ini.
Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, untuk mempertahankan satu dari lima izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat, yakni milik PT Gag Nikel, telah menimbulkan respons yang beragam. Empat IUP lainnya dicabut karena tidak memenuhi persyaratan administratif maupun teknis. Namun, PT Gag Nikel dipertahankan karena terbukti memiliki kontrak karya yang sah sejak 1998, telah mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta secara geografis tidak berada di wilayah konservasi maupun zona inti Geopark Raja Ampat. Dalam perspektif hukum administrasi negara, keputusan tersebut konsisten dengan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan setiap tindakan pejabat pemerintahan dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penolakan terhadap tambang sering kali didasarkan pada asumsi bahwa semua kegiatan pertambangan pada dasarnya eksploitatif dan destruktif. Namun asumsi ini tidak dapat diberlakukan secara general terhadap setiap subjek hukum. PT Gag Nikel, misalnya, telah menjalankan tahap eksplorasi dan produksi secara bertahap dengan pengawasan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, serta instansi lingkungan hidup daerah. Bahkan, hingga saat ini, PT Gag Nikel telah mereklamasi lebih dari 135 hektare lahan bekas tambang dan membangun sistem manajemen limbah untuk menekan pencemaran lingkungan.
Lebih dari itu, terdapat dimensi sosial yang tak dapat dikesampingkan. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat secara resmi menyampaikan bahwa kehadiran PT Gag Nikel justru menjadi penggerak utama infrastruktur dasar di Pulau Gag, mulai dari dermaga, air bersih, hingga klinik kesehatan. Sekitar 900 warga setempat secara langsung dan tidak langsung bergantung pada keberlanjutan operasional perusahaan tersebut. Dalam berbagai forum dialog publik, tokoh adat dan warga masyarakat lokal bahkan menyatakan harapannya agar tambang tetap beroperasi dengan syarat perusahaan tetap tunduk pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Sikap kehati-hatian pemerintah dalam mengambil keputusan ini mencerminkan upaya menyeimbangkan antara tiga kepentingan utama: perlindungan lingkungan, kepastian hukum, dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, dalam praktik hukum tata usaha negara, tindakan pencabutan izin secara sepihak tanpa dasar evaluasi menyeluruh dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 secara eksplisit menegaskan bahwa perlindungan terhadap hak usaha yang sah merupakan bagian dari jaminan konstitusional bagi warga negara dan pelaku usaha yang beritikad baik.
Penting pula dicatat bahwa negara memiliki peran ganda dalam konteks ini: sebagai regulator sekaligus fasilitator pembangunan. Dalam kapasitasnya sebagai regulator, negara wajib memastikan bahwa seluruh aktivitas pertambangan tunduk pada prinsip kehati-hatian lingkungan (precautionary principle), partisipasi masyarakat, serta prinsip non-regressi dalam perlindungan hak-hak ekologis. Dalam kapasitasnya sebagai fasilitator, negara bertanggung jawab menciptakan iklim investasi yang adil, prediktabel, dan transparan demi mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif.
Dalam konteks inilah, pendekatan Bahlil Lahadalia tidak dapat dibaca sebagai bentuk pembiaran, tetapi sebagai upaya memperkuat sistem hukum yang akuntabel. Dengan mempertahankan satu IUP yang sah dan mencabut yang bermasalah, negara menunjukkan bahwa ia tidak anti terhadap pertambangan, tetapi menolak praktik pertambangan yang tidak taat hukum. Strategi ini mencerminkan pergeseran paradigma dari ekstraktivisme menuju tata kelola sumber daya alam yang lebih adaptif, berbasis bukti, dan mengedepankan partisipasi lokal.
Tentu saja, keberlanjutan lingkungan tetap menjadi prasyarat mutlak. Dugaan pencemaran laut yang mencuat pada awal Juni 2025, misalnya, langsung ditindaklanjuti oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan penghentian sementara operasi dan audit lingkungan. Respons cepat ini menandakan bahwa pengawasan negara tetap berjalan secara aktif dan responsif. Ini menunjukkan bahwa keberadaan tambang tidak identik dengan absennya negara, melainkan justru menuntut kehadiran negara yang lebih cermat, transparan, dan tegas.
Oleh karena itu, posisi negara seharusnya bukan sebagai aktor yang memusuhi tambang, tetapi sebagai institusi yang mampu menata ulang praktik pertambangan dalam kerangka keberlanjutan sosial dan ekologis. Negara harus mampu mengatur, bukan sekadar membiarkan. Dengan tata kelola yang baik, pertambangan tidak harus menjadi ancaman, melainkan dapat dikonstruksi ulang sebagai alat pemberdayaan masyarakat dan pemajuan wilayah terluar Indonesia.
Dalam dunia yang semakin terdampak krisis iklim, pilihan kebijakan memang tidak pernah hitam-putih. Namun yang pasti, negara tidak boleh mengorbankan kepastian hukum dan kesejahteraan warga lokal hanya demi memuaskan narasi global yang belum tentu memahami realitas lokal secara utuh. Kita perlu merumuskan ulang pendekatan terhadap sumber daya alam secara lebih inklusif menggabungkan perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan kepastian hukum.
Keputusan untuk tidak mencabut izin PT Gag Nikel adalah cerminan dari pilihan kebijakan yang berani, berbasis hukum, serta menghormati realitas empiris masyarakat Papua Barat Daya. Jika negara hadir sebagai pengatur yang adil dan aktif, maka tambang tidak harus menjadi musuh. Tambang dapat menjadi bagian dari solusi, selama keberadaannya diarahkan, dikendalikan, dan diawasi dalam kerangka negara hukum yang demokratis dan ekologis.