Membiarkan “Fantasi Sedarah” Beredar: Melegitimasi Kekerasan Seksual di Balik Dalih Kebebasan Berekspresi

Oleh: Tamara Rizki, SH| sentralberita~Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh terbongkarnya grup-grup diskusi daring yang memuat konten berjudul “fantasi sedarah”. Di permukaan, ini mungkin terlihat sebagai tulisan fiksi yang dibagikan secara sukarela oleh anggotanya. Namun, isi narasinya mengandung cerita seksual eksplisit yang melibatkan tokoh anak-anak, dan tak jarang ditulis secara rinci, mengerikan, serta mengandung kecenderungan kekerasan.

Grup seperti ini menjamur di berbagai platform baik terbuka maupun tertutup dan bahkan memiliki pengikut ribuan orang. Salah satu grup terbesar yang pernah terungkap adalah grup Facebook “Fantasi Sedarah” yang dibentuk sejak Agustus 2024 dan sempat mengumpulkan sekitar 32.000 anggota sebelum akhirnya diblokir pada Mei 2025 setelah kontroversi memuncak.

Grup tersebut bahkan sempat berganti nama menjadi “Suka Duka” sebagai upaya mengelabui sistem moderasi platform. Konten yang dibagikan tidak hanya berupa narasi fiksi, tetapi juga melibatkan gambar dan video eksplisit yang mengeksploitasi anak-anak di bawah umur. Pihak berwenang telah menangkap beberapa orang yang diduga sebagai admin dan pembuat konten, serta tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap jaringan penyebaran ini.

Fakta ini menegaskan bahwa media sosial bukan sekadar ruang hiburan atau ekspresi, tetapi telah menjadi medium potensial penyebaran nilai-nilai menyimpang yang sangat merusak, khususnya terhadap anak sebagai subjek yang paling rentan. Yang lebih mengkhawatirkan, konten semacam ini tak jarang dibiarkan bertahan selama berminggu-minggu sebelum akhirnya dihapus setelah laporan masyarakat. Celah ini menegaskan ketertinggalan sistem pengawasan digital dibanding kecepatan persebaran konten menyimpang.

Sayangnya, hukum Indonesia belum cukup tanggap terhadap fenomena seperti ini. Jika melihat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, memang terdapat larangan terhadap produksi dan penyebarluasan konten yang mengandung unsur pornografi anak. Pasal 4 ayat (1) tegas melarang setiap orang untuk memproduksi, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, dan/atau memperdagangkan materi pornografi yang mengeksploitasi anak. Namun, ketika konten tersebut diklaim sebagai “fiksi”, dan tidak disertai gambar atau video nyata, pelaku kerap berlindung di balik dalih kebebasan berekspresi atau imajinasi pribadi.

Baca Juga :  KPU Kota Gunungsitoli Minta Maaf, Ajak SMSI Jadi Mitra Strategis ke Depan

Perdebatan pun muncul: apakah narasi yang ditulis dan dibaca ribuan orang secara sadar dan bertujuan seksual, tetapi tidak memuat gambar eksplisit, masih dapat dijerat oleh hukum? Apakah kata-kata tidak bisa dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika ditujukan pada figur anak, meskipun fiktif? Dalam ranah ini, Indonesia masih gamang membedakan antara fiksi berbahaya dan kebebasan berekspresi yang sah.

Sementara itu, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) serta UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS No. 12 Tahun 2022) menitikberatkan pada perlindungan terhadap korban, terutama jika telah terjadi kontak fisik atau eksploitasi langsung. Ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: bagaimana jika kekerasan itu belum nyata secara fisik, tetapi sudah ditanamkan dalam bentuk narasi menyimpang yang dibaca dan dinikmati ribuan orang?

Dalam konteks ini, negara menghadapi tantangan besar. Pertama, perluasan makna kekerasan seksual harus mencakup dimensi digital dan simbolik. Anak tidak hanya bisa dilukai tubuhnya, tetapi juga dilukai secara simbolik ketika dijadikan objek seksual dalam narasi publik. Kedua, pendekatan hukum pidana konvensional yang menunggu adanya korban nyata justru melemahkan prinsip pencegahan.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UU TPKS, kekerasan seksual dapat berupa tindakan verbal dan/atau non-fisik yang menimbulkan dampak traumatis, rasa tidak aman, atau ketakutan. Ini dapat menjadi pintu masuk hukum terhadap pelaku penyebaran konten semacam “fantasi sedarah”, terlebih jika narasi tersebut ditulis untuk kepuasan seksual pribadi dan dibagikan dalam ruang publik yang memperkuat normalisasi tindakan menyimpang.

Selain itu, Pasal 1 angka 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendefinisikan informasi elektronik sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tulisan dan suara yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang lain. Dengan demikian, narasi bertema seksual yang eksplisit terhadap anak secara teoritis dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik yang mengandung muatan negatif. Namun implementasi hukum ini masih lemah, dan aparat penegak hukum kerap kali tidak memiliki panduan interpretatif yang jelas dalam kasus-kasus yang bersinggungan dengan konten fiksi digital.

Baca Juga :  Soal Sengketa Lahan Eks HGU PT DMK, Kakanwil BPN Sumut: Tim GTRA Sumut Akan Lanjutkan

Masalah lain adalah ketertinggalan algoritma platform digital dalam menyaring konten seperti ini. Platform semestinya tidak hanya bersikap reaktif terhadap laporan pengguna, tetapi juga aktif membangun deteksi dini terhadap narasi bermuatan seksual menyimpang yang melibatkan anak. Hal ini menjadi sangat penting karena kecanggihan kecerdasan buatan saat ini sebenarnya memungkinkan penyaringan berdasarkan kata kunci dan pola tertentu. Negara juga harus memperkuat pengawasan dan kerja sama digital lintas kementerian dan lembaga, tidak semata menyerahkan ke polisi siber yang bekerja saat kasus sudah viral.

Di sinilah negara perlu lebih aktif. Selain pembaruan regulasi, dibutuhkan pula kebijakan edukatif dan preventif yang menjangkau masyarakat luas. Narasi menyimpang tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari pemahaman yang keliru tentang seksualitas, lemahnya literasi digital, dan minimnya ruang dialog yang sehat. Mengedukasi masyarakat untuk mengenali konten berbahaya, melaporkannya, dan tidak menjadi bagian dari normalisasi budaya kekerasan harus menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.

Pada akhirnya, membiarkan narasi “fantasi sedarah” tersebar dengan alasan bahwa itu hanya fiksi, sama halnya dengan melegitimasi penyimpangan sebagai bagian dari norma baru. Kita tidak hanya menghadapi pelanggaran moral, tapi juga kekosongan hukum yang bisa menunda keadilan bagi anak-anak yang menjadi korban simbolik dunia digital. Penundaan ini bukan hanya soal teknis hukum, tetapi juga soal sikap: apakah kita sebagai masyarakat bersedia mengatakan bahwa anak-anak berhak atas ruang digital yang aman dan bebas dari objektifikasi?

Negara tidak boleh kalah cepat dari algoritma. Ketika dunia maya bisa menciptakan realitas baru, hukum harus mampu membacanya lebih awal. Tidak cukup lagi bersandar pada logika “tidak ada korban fisik, maka tidak ada kejahatan”. Sebab dalam banyak kasus, luka batin dan trauma simbolik jauh lebih dalam dan berkepanjangan.

Jika perlindungan anak adalah amanat konstitusi, maka tidak ada alasan untuk menunda langkah. Dunia digital harus dibersihkan dari narasi yang membunuh masa depan anak-anak kita secara diam-diam dengan kata-kata.

-->