Immawati Tampil Tanpa Mengubah, Hadir Tanpa Suara
Oleh: Tamara Rizki| sentralberita~“Yang penting sudah 30%, beres. Sudah feminis itu.” Kalimat semacam ini kerap terdengar di ruang-ruang politik, seolah angka keterwakilan perempuan adalah segalanya. Di atas kertas, kuota 30% perempuan dalam struktur politik tampak seperti kemenangan besar bagi gerakan perempuan. Tapi mari jujur dengan hati nurani kita, apakah benar angka itu bermakna jika di baliknya tidak ada kualitas, tidak ada integritas, dan tidak ada kesadaran politik yang tajam?
Fenomena bias politik dalam tubuh perempuan hari ini sangat mengkhawatirkan. Banyak dari mereka yang tiba-tiba berada dalam posisi strategis hanya karena dianggap memenuhi formalitas kuota. Tidak sedikit pula yang melangkah ke panggung politik tanpa bekal yang cukup baik dari sisi pemahaman isu, kapasitas kepemimpinan, hingga orientasi gerak yang jelas. Akibatnya, kuota 30% justru berubah menjadi tameng bagi kekuasaan patriarkal yang lebih lihai memainkan simbol daripada substansi.
Fakta lapangan yang lebih menyedihkan, sebagian perempuan justru mulai menginternalisasi logika semu ini. Bahwa keterwakilan itu adalah sebuah kemenangan tanpa bertanya lebih jauh, untuk siapa mereka mewakili?. Duduk di kursi pengambilan keputusan adalah sebuah prestasi, tanpa mengukur kontribusi yang benar-benar berpihak pada sesama perempuan dan rakyat tertindas. Dalam kondisi ini, kehadiran perempuan hanya menjadi formalitas statistik, bukan kekuatan substantif yang mampu membawa perubahan.
Situasi ini terasa nyata dalam forum symposium immawati yang diselenggarakan Bidang Immawati DPP IMM. Jika dimasa dulu Immawati dikenal sebagai ruang kaderisasi intelektual perempuan Muhammadiyah yang progresif, hari ini kita menghadapi krisis arah gerakan. Forum diskusi yang dilaksanakan tidak menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan arah gerakan immawati. Issu 30% representative tidak dibedah secara khusus dan matang.
IMMawati seolah kehilangan kompas ideologisnya sebagai penentu arag gerakan IMM. forum symposium immawati juga tidak ditutup selayaknya sebuah acara besar. Namun terlepas dari itu, Ini memperlihatkan bahwa IMMawati hari ini lebih sibuk dengan kegiatan seremonial tidak jelas,forum tanpa isi atau sekadar menjadi pelengkap kegiatan besar IMM, tanpa keberanian menawarkan pandangan alternatif atau menyuarakan keresahan dari basis.
Padahal, isu-isu yang seharusnya menjadi prioritas IMMawati sangat banyak dan mendesak. Kekerasan seksual di kampus, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di wilayah pinggiran, problematika kesehatan reproduksi seperti penjualan sel telur perempuan, hingga digitalisasi ruang publik yang semakin bias gender semua ini membutuhkan respons cepat, tajam, dan berbasis riset. Sayangnya, isu-isu ini sering kali luput dari diskusi mendalam dan sistematis.
Ironisnya, banyak IMMawati yang secara personal sangat potensial sering kali tersingkirkan dengan fenomena cancel culture . Mereka cerdas, punya akses informasi luas, aktif di sosial media, dan memiliki pengalaman advokasi atau kegiatan sosial, Tapi potensi ini tercerai-berai tanpa platform yang mampu mengintegrasikan mereka ke dalam gerakan kolektif yang sistematis dan berbasis ilmu. Alih-alih menjadi gerakan alternatif yang kuat, IMMawati justru terjebak dalam ruang-ruang representasi kosong. Mereka Tampil tapi tak menyuarakan, Hadir, tapi tak mengubah apa-apa.
Penyebab dari situasi ini tentu tidak tunggal. Ada kegagalan dari sistem kaderisasi yang lebih mementingkan loyalitas daripada kualitas. Ada pula pengabaian terhadap pentingnya pendidikan politik berbasis ideologi dan gender. IMMawati, dalam banyak hal, masih menjadi “penggembira” dalam struktur IMM. Dalam forum-forum pengambilan keputusan, suara IMMawati masih dianggap pelengkap, bukan pengarah. Belum menjadi kekuatan kritis yang mampu menentukan arah dan strategi organisasi.
Kini sudah waktunya IMMawati mengambil langkah berani. Gerakan ini harus kembali ke basis ideologisnya: Islam yang membebaskan, memanusiakan, dan menolak dominasi. Perempuan dalam Islam bukan objek politisasi, tetapi subjek perubahan. Kesadaran ini tidak bisa hadir hanya melalui forum-forum seremonial; ia harus hidup dalam pendidikan politik dan etika kaderisasi yang membentuk pola pikir kritis dan etos kerja jangka panjang.
Kaderisasi dalam tubuh IMMawati perlu didesain ulang. Tujuannya bukan sekadar mengejar kuantitas peserta dalam pelatihan, tetapi memastikan kualitas pembentukan pemimpin yang utuh dan visioner. Proses ini harus mengintegrasikan antara keilmuan dan aksi nyata, antara refleksi dan praksis. Kegiatan seperti pelatihan kepemimpinan, kajian ideologi Islam berkeadilan gender, hingga pendampingan masyarakat akar rumput harus menjadi bagian dari napas gerakan. Bukan hanya sebagai proyek musiman atau agenda yang dikerjakan karena tuntutan struktural.
Lebih dari itu, IMMawati perlu membangun solidaritas yang kolektif dan transformatif. Tak cukup menjadi perempuan cerdas secara individual jika itu tidak dikonsolidasikan menjadi kekuatan perubahan bersama. Budaya kompetitif yang selama ini lebih dominan siapa paling sering tampil, siapa paling dikenal oleh struktur harus digantikan dengan budaya kolaboratif yang saling menguatkan. Kita butuh gerakan intelektual perempuan yang saling membangkitkan, bukan saling menjatuhkan.
IMMawati juga harus cakap menyusun narasi tandingan di tengah dominasi politik maskulin. Narasi ini bukan tentang menyalahkan laki-laki semata, tetapi tentang menggugat struktur dan kultur yang selama ini menjadikan perempuan sebagai pelengkap atau simbol. IMMawati perlu hadir dengan bahasa yang tajam, dengan riset yang kuat, dan dengan keberanian untuk mengangkat suara-suara marjinal yang selama ini didiamkan.
Kuota 30% bukanlah puncak perjuangan, melainkan titik awal dari tanggung jawab yang besar. Keterwakilan politik hanya akan bermakna ketika disertai dengan keberanian untuk menantang ketidakadilan dan kemampuan untuk memperjuangkan perubahan struktural. Perempuan yang hanya menjadi simbol tidak akan pernah mampu menggerakkan sejarah. Kita memerlukan pemimpin perempuan yang peka, tangguh, dan memiliki arah yang jelas dalam setiap langkah perjuangannya.
IMMawati harus menolak menjadi gerakan kosmetik. Kita tidak bisa hanya puas menjadi penghias dalam struktur. IMMawati harus menjadi kekuatan pembaruan yang lahir dari keberanian dan kesadaran penuh. Jalan ini memang tidak mudah ia akan penuh dengan tantangan, bahkan mungkin melelahkan dan membuat frustrasi. Tapi hanya dengan cara inilah perjuangan perempuan akan bermakna dan memberi pengaruh yang nyata di tengah masyarakat.
Sudah saatnya IMMawati meninggalkan euforia angka. Kita tidak butuh sekadar kebanggaan karena “sudah memenuhi kuota.” Kita butuh visi. Kita butuh strategi. Kita butuh arah gerakan yang jelas dan berpihak pada rakyat. Kemenangan perempuan bukan ditentukan oleh jumlah kehadiran dalam ruang kekuasaan, melainkan oleh kekuatan visi, ketajaman narasi, dan aksi nyata yang lahir dari kesadaran mendalam dan keberanian untuk berbeda.
IMMawati, saatnya bangkit dan menentukan arahmu sendiri bukan sekadar mengikuti peta yang dibuat oleh orang lain. Bukan sekadar hadir, tapi hadir dengan nyala yang membakar semangat perubahan.
Jalan-jalan ke Surabaya,
Otw healing sambil cari wacana
Gerakan Immawati tidak boleh diremehkan
IMMawati berdaya, IMM Jaya! (Penulis adalah: BPH DPD IMM Sumatera Utara