Dari Peringatan ke Aksi Nyata: Menuntut Keberpihakan pada Kesejahteraan di Momen Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025

Oleh: Dr. Fitri Ramdhani Harahap, M.Si | sentralberita~Hari Buruh, yang diperingati setiap tanggal 1 Mei, bukan hanya menjadi momen refleksi bagi para pekerja di seluruh dunia, tetapi juga sebagai panggilan bagi kita untuk mengevaluasi kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan buruh. Di Indonesia, peringatan ini sering kali diwarnai dengan tuntutan untuk perubahan kebijakan yang lebih adil, termasuk penghapusan sistem outsourcing dan pemberian hak-hak yang lebih baik bagi buruh.

Namun, apakah kebijakan yang ada saat ini sudah cukup efektif dalam menciptakan keadilan sosial bagi buruh?

Masalah Sosial dalam Dunia Kerja: Ketidakadilan Struktural

Fenomena ketidakadilan dalam dunia kerja di Indonesia jika ditelisik dari perspektif teori kelas sosial dari Karl Marx, yang menekankan bahwa hubungan antara buruh dan kapitalis selalu berpotensi mengarah pada eksploitasi. Dalam sistem kapitalisme, buruh seringkali diposisikan sebagai kelas yang terpinggirkan, di mana hak-hak mereka sering diabaikan untuk kepentingan pengusaha.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi buruh di Indonesia adalah tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa jaminan yang jelas. Pada awal tahun 2025, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat bahwa lebih dari 60.000 buruh di-PHK tanpa menerima pesangon atau Tunjangan Hari Raya (THR), yang menunjukkan adanya ketidakadilan dalam hubungan industrial. Ketidakadilan ini semakin diperburuk dengan sistem outsourcing, yang membuat banyak buruh bekerja dengan status yang tidak pasti, tanpa jaminan perlindungan sosial yang memadai.

Selain itu, di Bangka Belitung, krisis pertimahan telah menyebabkan lebih dari 550 buruh di Pangkalpinang di-PHK pada tahun 2024. Begitu pula dengan ratusan buruh smelter timah yang dirumahkan tanpa hak yang jelas. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak buruh di Indonesia yang harus menghadapi ketidakpastian pekerjaan, berisiko kehilangan mata pencaharian, dan berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka.

Dampak Sosial: Meningkatnya Ketimpangan dan Ketidakadilan

Baca Juga :  Catatan Akhir Tahun SMSI Sumut 2024 : Membangun Kembali Tatanan Organisasi Pasca Pilkada

Dampak sosial dari masalah ketenagakerjaan ini sangat terlihat dalam kehidupan buruh dan keluarganya. Dalam jangka pendek, buruh yang di-PHK tanpa pesangon atau THR mengalami kesulitan ekonomi yang berat, yang berimbas pada kualitas hidup mereka dan keluarga. Ketidakpastian ini juga menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan, karena banyak buruh yang tergantung pada penghasilan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Dalam jangka panjang, ketidakadilan ini akan memperburuk kesenjangan sosial yang sudah ada. Ketika buruh merasa tidak dihargai atau diperlakukan tidak adil, hubungan sosial antar individu dalam masyarakat akan tergerus. Polarisasi sosial antara kelas pekerja dan pengusaha akan semakin tajam, menciptakan ketegangan yang berpotensi mengarah pada konflik sosial. Hal ini juga dapat mempengaruhi stabilitas sosial dalam masyarakat, karena ketidaksetaraan yang terus berkembang menyebabkan terjadinya pengucilan sosial bagi kelas pekerja.

Di Bangka Belitung, dampak dari PHK massal ini sangat jelas terlihat. Buruh yang kehilangan pekerjaan di sektor pertambangan timah tidak hanya menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga ketidakpastian dalam mencari pekerjaan baru. Hal ini memperburuk kesenjangan ekonomi di daerah tersebut, mengingat banyaknya keluarga yang bergantung pada pekerjaan tersebut untuk bertahan hidup.

Evaluasi Kebijakan: Ketidakadilan dalam Implementasi

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memperbaiki kondisi buruh, termasuk pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan memperbaiki iklim investasi. Namun, meskipun ada beberapa perubahan, kebijakan ini tetap mendapat kritik karena lebih berpihak pada pengusaha dan tidak cukup melindungi hak-hak buruh. Salah satu kritik utama adalah pengaturan mengenai outsourcing, yang masih membiarkan buruh berada dalam posisi yang tidak pasti dan rentan terhadap ketidakadilan.

Kebijakan tentang pesangon dan THR juga masih belum efektif dalam memberikan perlindungan kepada buruh yang terkena PHK. Banyak buruh yang tidak menerima hak-haknya, bahkan setelah bekerja selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada regulasi, pengawasan terhadap implementasi kebijakan ini masih lemah, sehingga hak-hak buruh tetap terabaikan.

Baca Juga :  79 Tahun, Nusantara Baru untuk Indonesia Maju

Kritik Konstruktif dan Solusi: Kebijakan yang Lebih Inklusif dan Adil

Untuk menciptakan perubahan yang lebih adil, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang ada. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan menghapuskan sistem outsourcing, yang sering kali merugikan buruh. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang lebih mengutamakan kepastian kerja dan perlindungan sosial bagi buruh. Dengan mengganti sistem outsourcing dengan kebijakan yang lebih inklusif, buruh akan mendapatkan hak yang lebih jelas dan pasti, serta jaminan perlindungan yang lebih baik.

Selain itu, kebijakan terkait pesangon dan THR perlu diperbaiki dengan meningkatkan pengawasan dan memastikan bahwa buruh yang di-PHK mendapatkan hak-haknya secara penuh. Pemerintah juga bisa mencontoh negara-negara dengan sistem perlindungan buruh yang lebih baik, dengan memberikan pesangon yang lebih layak dan menyediakan program pelatihan ulang bagi buruh yang terkena PHK. Dengan demikian, buruh dapat kembali bekerja atau berwirausaha, mengurangi ketidakpastian yang mereka hadapi.

Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap implementasi kebijakan ketenagakerjaan, agar hak-hak buruh dapat dipenuhi dengan baik. Hal ini penting untuk menciptakan iklim ketenagakerjaan yang adil dan seimbang antara pekerja dan pengusaha.

Peringatan Hari Buruh 1 Mei adalah kesempatan penting untuk merenungkan kembali kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Ketidakadilan yang terjadi di dunia kerja, seperti PHK sepihak, outsourcing, dan rendahnya perlindungan buruh, masih menjadi masalah besar yang perlu segera diatasi. Kebijakan yang ada masih belum cukup efektif dalam melindungi hak-hak buruh, dan oleh karena itu perlu ada perbaikan kebijakan yang lebih inklusif, adil, dan berfokus pada perlindungan buruh. ( Penulis adalah Sosiolog Universitas Bangka Belitung)

-->