PAS di Pelabuhan Gunungsitoli: Kebijakan atau Akal-akalan Petugas Kenakan Tarif Pengantar Penumpang Rp. 4.950 ribu per Orang
sentralberita|Gunungsitoli~Masyarakat Gunungsitoli dibuat heran sekaligus geram dengan adanya pungutan PAS bagi pengantar penumpang di Pelabuhan Kota Gunungsitoli, Kamis (6/3/2025).
Pasalnya, setiap pengunjung yang ingin mengantar keluarganya ke kapal dikenakan tarif Rp. 4.950 per orang. Sementara itu, penumpang sendiri harus membayar Rp. 11.100.
Keluhan ini diungkapkan oleh S. Harefa, seorang warga yang mengantar keluarganya ke Pelabuhan merasa keberatan atas pungutan tersebut. Ia mempertanyakan dasar hukum dari tarif PAS bagi pengunjung yang seharusnya tidak termasuk dalam ketentuan resmi.
“Setau saya aturan tentang PAS yang berlaku secara nasional menetapkan bahwa biaya masuk pelabuhan dikenakan kepada penumpang dan kendaraan, bukan kepada pengantar,” ungkap S. Harefa
“Lantas, dari mana kebijakan ini berasal? Apakah ini bentuk resmi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), atau justru celah bagi oknum tertentu untuk mencari keuntungan pribadi,” lanjutnya.
Disebutkan, berdasarkan aturan yang berlaku, PAS merupakan bagian dari PNBP yang seharusnya sudah termasuk dalam tiket penumpang. Dengan kata lain, pengunjung atau pengantar yang tidak menggunakan fasilitas kapal tidak semestinya dikenakan pungutan ini.
“Apakah hanya di Pelabuhan Gunungsitoli atau masih dipelabuhan lain, pungutan PAS penumpang dan pengunjung dilakukan secara manual sehingga dalam praktik masih rentan terhadap penyimpangan,” tandas Harefa.
Lebih mencurigakan lagi, dalam beberapa kali, awak media ditemani Harefa melihat orang-orang yang “dikenal” oleh petugas bisa lolos dari pembayaran. Jika aturan ini memang sah, mengapa ada pengecualian bagi pihak tertentu?
“Ini semakin menguatkan dugaan bahwa kebijakan ini bukan sekadar aturan resmi, melainkan peluang bagi oknum tertentu untuk memperkaya diri,” katanya.
Masih banyak pelabuhan di Indonesia yang sudah menerapkan sistem pembayaran tiket secara online dengan transparan dan terintegrasi yang sudah ikut biaya PAS Pelabuhan.
Namun, di Pelabuhan Gunungsitoli, sistem manual ini menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan wewenang. Tidak ada kontrol yang jelas, tidak ada transparansi ke mana uang yang dikumpulkan itu disalurkan, dan yang lebih ironis, masyarakat dilarang mempertanyakan kebijakan ini.
Kasus ini semakin mencurigakan ketika wartawan yang mencoba mendokumentasikan situasi justru mendapat larangan dari petugas. Jika memang tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus ada ketakutan terhadap liputan media?
Praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan. Masyarakat Gunungsitoli, khususnya pengguna jasa pelabuhan, perlu mendesak transparansi dari pihak terkait, termasuk Pelindo dan Kementerian Perhubungan.
Jika memang ada aturan resmi yang menetapkan pungutan PAS bagi pengunjung, maka harus ditunjukkan dasar hukumnya secara jelas. Jika tidak ada, maka pungutan ini harus segera dihentikan.
Selain itu, perlu ada sistem pembayaran yang lebih transparan, seperti integrasi ke dalam sistem tiket atau digitalisasi transaksi, agar tidak ada lagi ruang bagi praktik korupsi.
Pelabuhan adalah fasilitas publik yang seharusnya memberikan kemudahan bagi masyarakat, bukan malah membebani dengan pungutan yang tidak jelas asal-usulnya. Jika dibiarkan, praktik seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi pelabuhan lain di Indonesia. (Feri)