Kasus Bullying di Simalungun: Peran Media Sosial dan Pendekatan Restorative Justice
sentralberita |¡Simalungun ~Belakangan ini, media sosial menjadi salah satu sarana utama dalam menyebarkan informasi baik yang positif dan terlebih yang negatif, termasuk mengenai kasus bullying di sekolah. Seperti yang terjadi di SD Negeri 091597 Tegal Sari, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Sebuah unggahan di TikTok yang menyoroti dugaan tindakan bullying terhadap seorang siswa menarik perhatian berbagai pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun.
Informasi tentang dugaan kasus bullying ini awalnya tersebar melalui media sosial sebelum akhirnya direspons oleh berbagai instansi terkait. Kepala Sekolah SD Negeri 091597, Sayunur Butar-butar, membantah adanya kasus bullying di sekolahnya dan menganggap informasi tersebut berasal dari unggahan yang tidak terverifikasi. Bahkan, pihak sekolah merasa dirugikan oleh kabar yang beredar.
Namun, dari pihak keluarga korban, Novia Ananda mengungkapkan bahwa adiknya memang pernah diejek karena tidak memiliki ayah. Meski begitu, keluarga terus memberikan dukungan agar anak tersebut tetap semangat bersekolah.
Kasus ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menyuarakan kasus-kasus yang mungkin luput dari perhatian publik. Namun, di sisi lain, informasi yang belum terverifikasi juga bisa menimbulkan dampak negatif bagi pihak yang diberitakan.
Dalam menanggapi permasalahan ini, berbagai pihak, termasuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), kepolisian, serta Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, mengadakan pertemuan mediasi.
Pendekatan yang digunakan dalam penyelesaian masalah ini adalah Restorative Justice. Konsep ini menekankan pada dialog dan penyelesaian secara damai, bukan sekadar hukuman. Kapolsek Sebelawan, Iptu Gunawan Sembiring, menekankan pentingnya membangun komunikasi yang baik di antara semua pihak agar masalah seperti ini bisa diselesaikan tanpa memperburuk kondisi psikologis anak.
Pemerintah juga siap memberikan dukungan, termasuk layanan konseling psikologis jika diperlukan. Selain itu, Dinas Pendidikan menegaskan bahwa seluruh tenaga pendidik harus memperlakukan semua siswa seperti anak mereka sendiri, menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seluruh peserta didik.
Kasus ini mengajarkan kita dua hal penting. Pertama, pentingnya kebijaksanaan dalam menggunakan media sosial. Sebelum menyebarkan informasi, verifikasi kebenarannya agar tidak merugikan pihak tertentu. Kedua, sekolah dan keluarga memiliki peran besar dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari bullying. Pendidikan tentang empati dan toleransi harus terus diperkuat sejak dini.
Pendekatan Restorative Justice menjadi contoh bahwa penyelesaian masalah tidak selalu harus berujung pada hukuman, tetapi bisa dengan cara yang lebih solutif dan membangun. Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi kita semua dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi anak-anak. (Feri)