Literasi Politik Pemilih Pemula Guna Kelancaran Pemilu yang Berkualitas
Oleh : Raja Malem Purba, S.H
Abstrak
Makalah ini menyajikan salah satu prasyarat utama untuk menyelenggarakan pemilu berkualitas dengan partisipasi berkualitas, khususnya di kalangan pemilih pemula, dalam konteks agenda besar integrasi dan pengembangan kehidupan demokrasi. Pemilih (pelajar dan mahasiswa) melalui pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Studi ini secara kritis menggambarkan urgensi pendidikan politik dalam konteks pemilu dan demokratisasi, dan berharap dapat mempromosikan gagasan konseptual model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan kualitasnya, terutama di kalangan pemilih untuk pertama kalinya. Metode penelitian yang digunakan dalam karya ini adalah analisis literatur, dimana referensi konseptual, data, dan informasi diambil dari berbagai sumber literatur seperti jurnal, buku, laporan penelitian, dan dokumen literatur lainnya. Kemudian menganalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual dapat sangat efektif sebagai alat pendidikan kewarganegaraan untuk meningkatkan pendidikan kewarganegaraan pemilih pemula. Kata Kunci: literacy, pembelajaran kontekstual, demokratisasi, pemilih pemula
PENDAHULUAN
Sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat, pemilu (termasuk Pilkada) idealnya tidak hanya membutuhkan jumlah pemilih yang besar (kuantitas) agar partisipasinya tinggi, tetapi juga suasana yang kompetitif, transparan, adil dan bertanggung jawab (berkualitas). Menghasilkan pemilihan – memilih dari para pemimpin politik yang kompeten dan jujur. Dengan kata lain, pemilu tidak hanya menghasilkan tingkat partisipasi
berkualitas tinggi, tetapi juga kehadiran berkualitas tinggi. Menyelenggarakan pemilu yang berkualitas dan partisipatif membutuhkan syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah kinerja pemilih yang terdidik secara politik, cerdas, dan berakal sehat sehingga preferensi politiknya rasional (rational voting).
Pemilih yang rasional (cerdas dan kritis) secara sederhana dapat disebut sebagai pemilih
yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral, tetapi juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; menolak serangan atau insentif transaksional yang tidak sehat dan ilegal, seperti B. kebijakan moneter; dan untuk sepenuhnya memahami pentingnya suara mereka dan implikasi politik dari keputusan mereka untuk masa depan.
Mengenai pemilih, menurut Affan Gafar (1994:
34) disajikan dua tipologi pembentukan preferensi pemilih dalam pemilu; 1) kecenderungan untuk muncul dalam patronase pemilih, yaitu. pemilih yang mendasarkan suaranya pada tokoh dan tokoh tertentu yang dianggap mampu menampilkan dirinya sebagai pemimpin; 2) Munculnya fenomena pemilih ABS (Asal Bahagia), sehingga pemilih yang tidak rasional dan hanya menjadi pengikut pemilih yang mengikuti suara terbanyak.
Secara hipotesis, para pemilih irasional atau pemilih yang “buta politik” (political illiteracy) mempengaruhi (influence) perilaku dan hasil pemilu yang tidak berkualitas; pilihan yang dibentuk oleh praktik transaksional seperti kebijakan moneter dan mobilisasi; Pemilu yang menghasilkan lebih banyak caleg terpilih (baik legislatif maupun eksekutif) yang tidak jujur dan jauh dari kualitas.
Pemilih irasional yang masih jauh dari kategori cerdas dan kritis cenderung masuk dalam kelompok pemilih awal. Yakni warga negara yang terdaftar dan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali sebagai pemilih dalam pemilu. Secara demografis, segmen pemilihan umum atau pilkada ini mayoritas terdiri dari mahasiswa, mahasiswa dan/atau pemuda berusia antara 17 sampai 22 tahun.
Dalam pemilu nasional, jumlah pemilih pemula secara konsisten diperkirakan mencapai 20 hingga 30 persen dari pemilu ke pemilu. Pada pemilu 2004, jumlah pemilih pemula adalah 27 juta. Pada Pemilu 2009, jumlah pemilih pemula sekitar 36 juta orang (Kumoro, 2013); dan sekitar 18 juta orang pada pemilu 2014 (Suwanti, 2014). Angka ini tentu menjadi angka yang signifikan dalam peta kompetisi pemilihan parpol dan kandidat. Itu sebabnya sebagai permulaan, yang seharusnya berdampak positif dan konstruktif terhadap kesadaran pemilih dan kesadaran politik yang lebih terpusat di kalangan pemilih pemula, khususnya pada segmen pelajar SMA/MA/SMK.
Berdasarkan uraian di atas, maka fokus penelitian ini dapat dirumuskan menjadi dua pertanyaan penting sebagai berikut:
(1) Apa urgensi pendidikan politik (literasi politik), khususnya pada segmen pemilih pemula, mengingat kebutuhan untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas dengan tingkat partisipasi yang tinggi? (2) Bagaimana konsep model pembelajaran kontekstual digunakan untuk meningkatkan pendidikan kewarganegaraan pemilih pemula?
Tujuan pencarian literatur ini adalah:
(1) Memahami dan mendeskripsikan secara kritis dan komprehensif urgensi pendidikan kewarganegaraan pada segmen pemilih pemula untuk menghasilkan pemilu dan partisipasi yang berkualitas, yang secara umum berarti memantapkan dan mengembangkan kehidupan demokrasi; (2) Memahami dan mendeskripsikan konsep model pembelajaran kontekstual sebagai sarana pembelajaran untuk meningkatkan pendidikan politik pemilih pemula. semua orang
Dengan menyelenggarakan acara pemilu, partai politik dan kandidatnya menjadikan pemilih pemula ini sebagai target penting informasi dan kampanye mereka. Oleh karena itu, penting juga bagi pemilih pemula ini untuk memperhatikan peningkatan kecerdasan dan keterampilan kritisnya sebagai pemilih, agar keputusan politiknya (perilaku memilih) masuk dalam kategori pemilih rasional, yang dengan sendirinya berkontribusi positif terhadap hasil pemilu yang berkualitas. . kegiatan partisipatif. . yang juga berkualitas baik.
Pertama, berbagai pihak khususnya KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah dan para peserta pemilu (khususnya partai politik) melakukan berbagai kegiatan edukasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan kritis para pemilih, terutama melalui kegiatan informasi. Hanya saja, upaya sosial tersebut tidak banyak memberikan efek praktis dalam meningkatkan kecerdasan dan daya kritis (literasi politik) pemilih pemula karena keterbatasan ruang, waktu, media, dan metode.
Secara umum, sosialisasi pemilu hanya berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang teknik pemilu, misalnya. B. kapan, di mana dan bagaimana memberikan suara pada dan pada hari pemilihan. Meskipun aspek material pemilu, seperti pentingnya setiap suara; pentingnya membangun otonomi dan kemandirian politik; dampak buruk dari praktik transaksional politik yang tidak sehat seperti kebijakan moneter; dan dampak atau konsekuensi dari keputusan politik di masa depan biasanya diabaikan dan tidak dimunculkan secara masif sebagai bentuk kesadaran substantif di kalangan pemilih pemula. Berdasarkan pemikiran dan fakta yang fenomenal tersebut, penting untuk dicari dan terus diupayakan suatu model kegiatan sosialisasi dalam rangka pendidikan politik, yang dapat menumbuhkan dan memperkuat kecerdasan dan daya kritis pemilih pemula secara lebih luas, lebih dalam dan lebih banyak lagi. penting. Dalam konteks kebutuhan tersebut, penulis mengusulkan penerapan konsep contextual teaching and learning sebagai pembelajaran untuk meningkatkan literasi politik pemilih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Konsep
Literasi Politik
Dalam konteks sejarah perkembangan kepolitikan mutakhir Indonesia, studi tentang literasi politik mendapatkan perhatian yang lebih serius terutama sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang telah mengubah tatakelola kekuasaan dari model demokrasi sentralistik ke demokrasi desentralistik, yang kemudian diikuti oleh keniscayaan diselenggarakannya perhelatan demokrasi elektoral di berbagai tingkatan. Merujuk pada pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) dalam kajian ilmu politik, nalar argumentasi penguatan kajian ini dapat dirumuskan, bahwa untuk mengonsolidasikan demokrasi maka diperlukan pemilu yang berkualitas; sementara pemilu yang berkualitas membutuhkan prasyarat atau prakondisi para pemilih (voters) yang cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab dengan pilihannya. Pemilih dengan antara lain karakteristik inilah yang
kemudian lazim dikategorikan sebagai pemilih yang literate (melek) secara politik.
Menurut Denver dan Hands (1990) dalam Karim dkk (2015:5), Literasi Politik (political literacy) merupakan pengetahuan dan pemahaman tentang proses politik dan isu-isu politik, suatu pengetahuan dan pemahaman yang memungkinkan setiap warga negara dapat secara efektif melaksanakan perannya (berperan serta, partisipasi) sebagai warga negara. Pengetahuan dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo (1997) sebagaimana dikutip Karim dkk (2015:5) disebut sebagai political expertise dan political awareness, yang intinya merujuk pada maksud sejauhmana seorang individu warga negara memberi perhatian dan memahami isu-isu politik.
Rumusan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Bernard Crick (2000) dalam Putri (2015:79), yang mendefinisikan literasi politik sebagai pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dan bahasa merupakan upaya memahami seputar isu politik, keyakinan para kontestan, bagaimana kecenderungan mereka mempengaruhi diri sendiri dan orang lain. Ringkasnya, literasi politik pada dasarnya merupakan senyawa yang utuh dari pengetahuan (kognisi), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afeksi). Sementara itu, dalam frasa yang simpel dan assertif, Westholm et al. (1990) dalam Karim dkk (2015:5) menyatakan, bahwa literasi politik pada dasarnya adalah kompetensi warga negara, suatu kompetensi yang dibentuk agar seorang warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi.
Berbasis pemahaman tersebut di atas, literasi politik dengan demikian meniscayakan adanya elemen-elemen yang dapat diidentifikasi dan diukur. Dalam kaitan ini, Mudhok (2005) sebagaimana dikutip Karim (2015 :6) menawarkan setidaknya 4 (empat) elemen literasi politik. Yaitu : (1) kehirauan dan kesadaran pentingnya aktivitas dan insitutsi politik, kewenangan, dan perannya; (2) kemampuan untuk membuat opini dan otonomi posisi dalam proses politik dalam rangka menghasilkan suatu outcome politik; (3) pengetahuan mengenai kebijakan, perencanan dan anggaran pemerintah untuk pembangunan dan pelayanan ublik; (4) partisipasi dalam kegiatan politik.
Pemilih Pemula
Pemilih pemula (first-time voters) adalah warga negara yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan telah memenuhi syarat sebagai pemilih, yang untuk pertama kalinya menggunakan hak pilih pada suatu pemilihan umum (pemilu nasional atau pilkada). Berdasarkan definisi ini, cakupan warga negara yang dapat menjadi pemilih pemula bisa luas dan beragam. Selain potensinya terdiri dari kalangan pelajar dan mahasiswa yang berada dalam rentang usia antara 17-22 tahun (dihitung berdasarkan pelaksanaan pemilu 5 tahunan), juga termasuk kalangan muda yang berada dalam rentang usia tersebut; warga negara yang sudah/pernah menikah meski usianya belum mencapai 17 tahun, dan para pensiunan TNI/Polri. Dalam kajian ini yang dimaksud pemilih pemula dibatasi pada kalangan pelajar SMA/MA/SMK yang untuk pertama kalinya menggunakan hak pilih dalam suatu pemilu, baik pemilu nasional maupan pilkada.
Secara umum pemilih pemula pada kategori pelajar SMA/MA/SMK ini dicirikan oleh beberapa karakteristik sebagai berikut : (1) berusia antara 17-19 tahun; (2) tingkat literasi politik (melek politik) yang relatif masih rendah; dan (3) orientasi dan preferensi politiknya masih sangat kuat dipengaruhi oleh orang-orang yang menjadi rujukan pengetahuan, sikap dan perilaku seperti guru dan orang tua; sebagian dipengaruhi oleh peer group (kelompok sebaya, kelompok sepermainan); (4) perilaku politik sebagai pemilih (voting behavior) cenderung labil dan emosional.
Pembelajaran Kontekstual
Istilah kontekstual berasal dari bahasa Inggeris, contextual, yang artinya : hubungan, konteks, suasana, dan keadaan (John. M Echolis dan Hassan Shadily, 2000: 307). Dengan demikian secara harfiah, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) dapat dimaknai sebagai pembelajaran yang berhubungan dengan konteks tertentu. Pembelajaran kontekstual ini merupakan alternatif dari model pembelajaran konvensional atau tradisional (Komalasari, 2010: 54). Di negara-negara maju pendekatan kontekstual ini sudah lama digunakan dalam proses-proses pembelajaran di kelas-kelas sekolah (Suryanti dkk, 2008: 2).
Para ahli pendidikan secara umum memiliki pandangan yang relatif sama dan sepakat mengenai pembelajaran kontekstual ini. Elaine
B. Johnson (2011:64) misalnya, mengemukakan bahwa “The CTL system is an educational process that aims to help student’s see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstance.”. Intinya, bahwa pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang bertujuan menolong siswa melihat makna di dalam materi akademik dengan konteks kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Hal ini berarti, bahwa pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Suprijono (2009:79), bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari, dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan
sosial dan budaya masyarakat.
Pendekatan pembelajaran kontekstual didasari oleh beberapa teori berikut (Suryanti dkk, 2008:2) : (1) Konstruktivisme Berbasis Pengetahuan (Knowledge- Based Constructivism). Teori ini menekankan pentingnya mengembangkan kemampuan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar; (2) Pembelajaran Berbasis Usaha/Teori Pertumbuhan Kecerdasan (Effort- Based Learning/Incremental Theory of Intellegence). Teori menekankan pentingnya upaya keras untuk mencapai tujuan belajar yang akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan komitmen untuk belajar; (3) Sosialisasi (Socialization). Teori ini ini memandang, bahwa belajar merupakan proses sosial yang menentukan tujuan belajar,
oleh karenanya faktor sosial dan budaya perlu diperhatikan selama perencanaan pengajaran;
(4) Pembelajaran Situasi (Situated Learning). Teori ini menekankan bahwa pengetahuan dan pembelajaran harus dikondisikan dalam fisik tertentu dan dalam konteks sosial (masyarakat, rumah, dsb) dalam mencapai tujuan belajar; (5) Pembelajaran Distribusi (Distributed Learning). Teori ini menekankan bahwa manusia merupakan bagian terintegrasi dari proses pembelajaran, oleh karenanya harus berbagi pengetahuan dan tugas-tugas pada individu lain serta lingkungan sekitar.
Literasi Politik bagi Pemilih Pemula
Jika demokrasi, sesuai dengan muasal makna harfiahnya, difahami sebagai “rakyat yang berdaulat” (demos = rakyat, cratie = kekuasaan/kedaultana) baik dalam sistem politik maupun sistem pemerintahan, maka aspek paling penting dan niscaya adalah partisipasi warga. Yakni keterlibatan atau peran serta warga di dalam proses pengambilan keputusan- keputusan politik, atau secara umum di dalam kehidupan politik. Seperti dikemukakan Herbert McClosky (1972:252), partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Senada dengan apa yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1977:3), partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi politik warga yang utama dan mendasar, serta “mendahului” semua tahapan dan bentuk partisipasi dalam konteks tatakelola kekuasaan, daily governing dan policymaking diwujudkan di dalam setiap perhelatan pemilu. Itu sebabnya dalam terma perundangan- undangan pemilu di negeri ini, pemilu dinyatakan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kemudian lebih dari sebagai bentuk perwujudan makna sejati kedaulatan rakyat, partisipasi politik warga di dalam pemilu juga menjadi penting karena ia akan menentukan kualitas pemilu yang dihasilkannya, serta corak kepemimpinan politik dan tatakelola pemerintahan terpilih di kemudian hari. Dalam konteks inilah kualitas partisipasi politik perlu
terus dibangun dan dikembangkan untuk menghasilkan pemilu sekaligus demokrasi yang berkualitas.
Sebagaimana telah disinggung di depan, partisipasi pemilu yang bekualitas mensyaratkan suatu kondisi tertentu, yang salah satunya adalah adanya pemilih yang cerdas dan kritis. Dan hal ini akan terpenuhi jika pemilih literate (melek) secara politik. Pada titik inilah secara umum urgensi literasi politik menemukan ruang konfirmasinya. Dalam konteks ini substansi kekuatan literasi politik ada pada partisipasi politik warganegara yang kritis dan memberdayakan terkait dengan konsep-konsep pokok politik yang akan berdampak pada kehidupan warga. Dengan demikian seperti dikemukakan Heryanto (2012) dalam Bakti (2012:109), literasi politik bukanlah semata konsep normatif, melainkan bauran antara pengetahuan, skill dan sikap politik
Meminjam argumentasi Stoker (2005), bahwa sifat mendasar dari politik dalam sistem demokrasi sungguh rumit. Tanpa direcoki dengan korupsi dan kolusi sekalipun, upaya untuk mengagregasi kepentingan, mengelola negosiasi, lalu mengartikulasikannya sebagai satu keputusan yang disetujui bersama merupakan hal yang sangat sulit. Mengingat kompleksnya sistem, institusi serta mekanisme yang ada maka ia pun menyebut warga negara sebagai political amateurs, para amatir dalam politik. Yakni pihak yang berpartisipasi dalam politik secara sporadis, piece meal, dengan kapasitas relatif lebih rendah dibanding para profesional politik atau aktor-aktor politik seperti lobbiest, aktivis, kader parpol, dan anggota dewan (Karim dkk, 2015:6). Para pemilih pemula secara sosio-demografi berada di antara political amateurs yang tentu saja lebih rendah lagi kapasitas dan kompetensinya. Padahal para amatir inilah justru pihak mayoritas yang sesungguhnya pemilik kedaulatan.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai “pintu masuk”
Dalam ruang lingkup tema dan obyek kajian ini (yakni : peningkatan literasi politik pemilih pemula dengan segmen pelajar SMA/MA/SMK), salah satu “pintu masuk” yang paling relevan untuk mengimplementasikan pembelajaran kontekstual adalah proses pembelajaran dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam kelompok wajib. Pelajaran ini diberikan kepada peserta didik sejak pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi (umumnya diberikan di semester satu) pada semua program studi/jurusan. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran ini dapat dikatakan sebagai satu-satunya pelajaran yang memuat secara khas mater-materi pembelajaran yang berhubungan langsung dengan isu-isu politik, kenegaraan dan pemerintahan, termasuk di dalamnya kajian mengenai ideologi, konstitusi, dan demokrasi.
Secara akademik, pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berfungsi untuk membina kesadaran warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan jiwa dan nilai konstitusi yang berlaku (UUD 1945) (Al Hakim dkk, 2012: 8). Tesis tersebut secara substantif sama dengan rumusan yang terdapat di dalam lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Di dalam Permendiknas tersebut juga dirumuskan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan
dasar dan menengah, yang secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
- Persatuan dan Kesatuan Bangsa, meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap megara Kesatuan republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan; (b) Norma, Hukum dan Peraturan, yang meliputi tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan internasional; (c) Hak Asasi Manusia, meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrument nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM; (d) Kebutuhan Warga Negara, meliputi hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebesan berorganisasi, kebebasanmengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara; (e) Konstitusi Negara, meliputi proklamasi kemerdekaan dan konstitusi pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi; (f) Kekuasaan dan Politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi; (g) Pancasila, meliputi kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka; dan (h) Globalisasi, meliputi globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasionl dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
Garis besar aspek-aspek tersebut kemudian dielaborasi dan diperluas lebih kongkret di dalam materi buku ajar sebagai berikut : (1) Materi Kelas X meliputi tema-tema : Hakikat Bangsa dan Negara; Sistim Hukum dan
Peradilan Nasional; Pemajuan, Penghormatan, dan Perlindungan Hak Azasi Manusia; Hubungan Dasar Negara dengan Konstitusi; Persamaan Kedudukan Warga Negara; dan Sistem Politik Indonesia; (2) Materi Kelas XI meliputi tema-tema : Budaya Politik Indonesia; Budaya Demokrasi menuju Masyarakat Madani; Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; Hubungan Internasional dan Organisasi Internasional, dan; Sistim Hukum dan Peradilan Internasional; (3) Materi Kelas XII meliputi tema-tema : Pancasila sebagai Ideologi Terbuka; Sistem Pemerintahan; Peranan Pers dalam Masyarakat Demokrasi, dan; Dampak Globalisasi (Budiyanto, 2007).
Dengan memahami ruang lingkup serta rincian materi tersebut secara utuh dan memadai (sesuai level pendidikan menengah tingkat atas), dan diberikan dengan pendekatan kontekstual secara hipotetis para pelajar SMA/MA/SMK sebagai kelompok pemilih pemula sesungguhnya sangat potensial untuk menjadi pemilih yang literate (melek) secara politik; cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab. Jika sejauh ini hipotesa sekaligus harapan itu belum terbukti, penulis menduga salah satunya karena berbagai materi yang sangat penting dan strategis itu disampaikan dengan pendekatan pembelajaran konvensional yang masih jauh dari kemampuan membuat para siswa menjadi cerdas dan kritis sebagai pemilih. Suatu pembelajaran yang hanya fokus pada peningkatan kemampuan kognisi dan gagal membangun kecerdasan serta mengembangkan daya kritis sosio-politik peserta didik.
Implementasi pembelajaran kontekstual : kasus pemilu
Berikut ini adalah implementasi pendekatan pembelajaran konteksual untuk meningkatkan literasi politik para pemilih pemula pada segmen pelajar SMA/MA/SMK dalam kegiatan pemilu. Perlu segera dikemukakan, bahwa implementasi pembelajaran kontekstual melalui “pintu masuk” mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini diproyeksikan untuk semua siswa SMA/MA/SMK mulai dari Kelas X. Artinya model pembelajaran kontekstual ini dipraktikkan 2 (dua) tahun lebih awal sebelum mereka masuk ke dalam kategori atau terdaftar sebagai pemilih pemula, dengan asumsi pemilu pertama yang akan mereka ikuti adalah ketika berada di Kelas XII.
Constructivism (Konstruktivisme). Kontrukstivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, dimana pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperkuat melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak tiba-tiba (Suryanti dkk, 2008:7). Gagasan konstruktivisme sebagai komponen pertama pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada aktivitas siswa dalam menemukan dan membangun (mengkonstruksi) pemahaman sendiri daripada kemampuan menghafal teori-teori yang ada dalam buku pelajaran. Karenanya siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa mengidentifikasi masalah dan belajar mencarikan/memikirkan sendiri solusinya; menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya; dan bergelut dengan gagasan- gagasan kreatif dan inovatif. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri, karena guru yang bertugas untuk mentransfer ilmu tidak akan mungkin mampu memberikan semua pengetahuan pada siswa. Dengan dasar tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” pengetahuan dan bukan hanya sekedar “menerima” pengetahuan (Ya’cub: 2005, 178).
Dalam konteks isu pemilu atau pilkada, prinsip kontsruktivisme ini misalnya dapat dipraktikkan oleh para guru pendidikan civic cukup dengan cara (sebagai pengantar) menjelaskan secara ringkas dan padat hakikat pemilu/pilkada dalam negara demokrasi (bahwa rakyat yang berdaulat); arti pentingnya bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dan konsekuensi setiap pilihan warga. Uraian ini kemudian dilengkapi dengan beberapa contoh kasus faktual yang para siswa sendiri dengan mudah dapat mengamatinya dalam kehidupan keseharian. Selanjutnya para siswa didorong, dipancing dan dirangsang untuk memikirkan, mengidentifikasi, dan membangun sendiri pengetahuannya secara kreatif dalam lanskap pelaksanaan kegiatan kepemiluan.
Inquiry (Menemukan). Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis kontekstual, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis (Ya’cub, 2005:78). Sebagai sebuah proses, prinsip inkuiri dalam pembelajaran kontekstual secara umum memiliki siklus sebagai berikut: observasi (observation),
bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hypothesis), pengumpulan data (collecting data), dan penyimpulan (conclusion). Artinya pembelajaran dimulai dengan observasi, kemudian mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotes, mengumpulkan data/informasi, hingga berujung pada pengambilan kesimpulan. Siklus kegiatan inkuiri ini tentu saja dilakukan oleh para siswa dengan materi atau isu dan aspek- aspek teknis metodologisnya dipersiapkan oleh guru. Dengan demikian dalam konteks ini guru dituntut untuk lebih menyiapkan teknik dan proses pembelajaran daripada materi pelajaran itu sendiri, apalagi yang sifatnya materi-materi hafalan.
Dalam konteks kepemiluan, komponen inkuiri ini dapat diimplementasikan misalnya dengan mengambil suatu isu penting dan populer untuk dijadikan materi pembelajaran. Guru tentu dapat menginisiasi atau menawarkan misalnya isu money politics, cukup menawarkan dan memberikan sedikit uraian apa yang dimaksud dengan kosakata ini. Proses pembelajaran selanjutnya dilakukan bersama- sama dengan para siswa, dimana posisi guru cukuplah mendampingi dan memfasilitasi secara terbatas. Mengikuti siklus inkuiri, mula-mula para siswa ditugaskan melakukan observasi (pengamatan). Observasi ini dilakukan sedemikian rupa oleh para siswa hingga melahirkan berbagai kemungkinan pertanyaan dalam benak mereka : mengapa terjadi money politics ? faktor-faktor apa yang telah mengakibatkan terjadinya money politics ? apa saja dampak yang bisa terjadi sebagai akibat money politics, dst. Berdasarkan hasil observasi itu para siswa diajak untuk merumuskan jawaban sementara (hipotesa) masing-masing sesuai dengan pertanyaan yang muncul. Tahapan selanjutnya para siswa ditugaskan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data/informasi menyangkut isu money politics sesuai dengan pilihan aspeknya. Tahap akhir guru memfasilitasi para siswa untuk mengemukakan kesimpulan masing-masing. Kesimpulan inilah penemuan mereka; hasil proses inkuiri para siswa. Kegiatan ini tentu saja dapat dilakukan secara berkelompok.
Questioning (Bertanya). Bertanya merupakan kegiatan yang sangat mendasar bagi guru maupun siswa dalam pembelajaran berbasis kontekstual. Bahkan bertanya merupakan kegiatan utama dari semua aktivitas belajar, karena dengan kegiatan bertanya guru dapat memotivasi bahkan bisa menilai sejauh mana keberanian dan kemampuan berpikir seorang siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan pemahaman yang ingin didapatkannya (Rudiyanto, 2009: 233).
Kegiatan bertanya merupakan interaksi majemuk (multiple interactions) antara guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan orang berpengetahuan lainnya. Aktivitas-aktivitas tesebut dapat terlihat jelas pada saat diskusi, kegiatan dalam komunitas/masyarakat belajar, bekerja secara berpasangan (work in pairs or in group), dan lain sebagainya. Dharma Kesuma dkk (2010: 65) memetakan kegunaan kegiatan questioning dalam proses pembelajaran sbb : 1) menggali informasi, baik yang bersifat administrasi maupun akademis 2) mengecek tingkat pemahaman siswa 3) membangkitkan respon siswa 4) mengukur sejauh mana rasa keingintahuan siswa 5) mengetahui hal-hal yang belum diketahui siswa 6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru 7) memberikan stimulus agar siswa bisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang kreatif, menarik dan menantang 8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Sementara bagi para siswa kegiatan bertanya adalah hal penting yang perlu dilakukan dalam pembelajaran berbasis kontekstual, yakni untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya (Suryanti dkk, 2008:9).
Dalam konteks isu-isu kepemiluan, komponen questioning ini tentu mudah dilakukan dan memiliki bahan/materi yang sangat kaya. Mulai dari konsep-konsep terkait demokrasi, pemilu dan pemerintahan; hingga ke isu-isu kontemporer elektorasi seperti isu money politics, dinasti politik, pemilu yang berintegritas dll. Tetapi hal terpenting dalam penerapan komponen bertanya ini adalah bagaimana guru mampu menstimulus rasa ingin tahu para siswa sehingga mendorong mereka untuk bertanya secara cerdas dan kritis menyangkut berbagai isu penting kepemiluan.
Dalam konteks materi pemilu atau pilkada, sebagaiman telah disinggung dalam pembahasan komponen inquiry di atas, penerapan komponen learning community atau learning society dapat dilakukan untuk membahas dan mendiskusikan semua isu kepemiluan, terutama menyangkut berbagai problematika mutakhir (aktual) seperti proses kandidasi yang kerap didominasi oleh figur-figur yang kaya raya atau isu mahar politik, selain problematika money politcs dan dinasti.
Modelling (Pemodelan). Modelling atau pemodelan adalah sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, dengan menyediakan model (contoh) yang bisa diamati dan ditiru oleh setiap siswa. Dalam kelas pembelajaran kontekstual, kegiatan modelling tidak menjadikan guru sebagai satu satunya model dalam belajar, tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan untuk memperagakan/mendemonstrasikan sesuatu di depan kelas kepada teman-temannya, seorang ahli yang didatangkan di kelas, media belajar dan lain-lain (Kesuma dkk, 2010:67). Menurut Ya’cub (2005:179), belajar dengan cara seperti ini akan membuat hasil pengetahuan yang diperoleh siswa lebih melekat dalam diri siswa, dan mereka akan lebih mudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena mereka telah melihat dan bisa mengamati suatu contoh/model konkrit dari pengetahuan yang ingi mereka dapatkan.
Dalam konteks kegiatan kepemiluan, implementasi komponen modelling ini misalnya dilakukan dengan cara guru mengundang anggota DPRD atau politisi, atau mungkin komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai model sekaligus menjadi narasumber untuk membedah dan mendiskusikan secara terbuka dan kritis aspek-aspek tertentu dari isu- isu elektorasi sesuai penjadualan materi pembelajaran.
Reflection (Refleksi). Refleksi pada dasarnya merupakan kegiatan berpikir mengenai apa yang sudah dilakukan/sudah terjadi/masa lalu; merenungkannya secara jernih, kemudian mengkontekstualisasikannya dengan masa kini untuk kepentingan masa mendatang. Dalam konteks pembelajaran, reflection berarti upaya think back (berpikir ke belakang) tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu, dan berpikir tentang apa yang baru dipelajari dalam sebuah pembelajaran oleh siswa. Dalam hal ini siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya (Ya;cub, 2005:68).
Dalam konteks pengetahuan dan pengalaman kepemiluan, salah satu hal penting dengan penerapan komponen ini adalah untuk memastikan bahwa pengetahuan dan pengalaman pembelajaran para siswa mengenai isu-isu demokrasi, elektorasi dan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan berkesinambungan. Karena setiap konsep dan isu yang didiskusikan pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan isu-isu lainnya. Dengan cara demikian para siswa akan merasakan bahwa pengetahuan dan pengalaman pembelajaran yang telah dilaluinya bersifat utuh dan karenanya menjadi sangat bermakna bagi pribadinya sebagai warga negara dan secara khusus sebagai calon pemilih pada suatu pemilu di masa mendatang.
Authentic Assessment (Penilaian Sebenarnya). Komponen terakhir dalam pembelajaran kontekstual adalah Authentic Assessment, yakni proses pengumpulan berbagai data otentik yang bisa memberikan gambaran pengetahuan perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar (Kesuma dkk, 2010:69). Dalam pembelajaran kontekstual assesment idealnya dilakukan sepanjang dan terintegrasi dalam proses pembelajaran, tidak hanya dilakukan pada akhir semester. Dengan demikian data penilain yang terkumpul diperoleh dari kegiatan
nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Ini artinya dalam pembelajaran kontekstual para guru dituntut melaksanakan penilaian dengan dukungan data yang valid, reliable, dan menyeluruh sehingga hasil yang diperoleh dari penilaian kelas kontekstual dapat memenuhi sasaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan sebaik-baiknya (Ya’cub, 2005:180).
Dalam konteks kajian peningkatan literasi politik pemilih pemula ini, tujuan pendidikan kewarganegaraan, selain tentu saja tercapainya berbagai kompetensi normatif sebagaimana telah dirumuskan dalam perundang-undangan, adalah juga meningkatnya secara signifikan literasi politik para siswa sebagai calon pemilih pemula. Melalui perangkat dan model authentic assesment ini perkembangan literasi politik para siswa dapat diukur dari waktu ke waktu secara lebih akurat, karena pengukurannya dilakukan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran keseharian, yang karenanya juga dapat dipantau perkembangannya setiap pekan dan bulan.
PENUTUP
Simpulan
Pemilu berkulitas yang menjadi salah satu prasyarat hadirnya kehidupan politik yang demokratis membutuhkan prakondisi adanya para pemilih yang literate (melek) secara politik, yang memungkinkan partisipasi pemilih bukan saja tingi secara kuantitas, melainkan juga bermutu derajat kualitasnya. Pemilih yang literate secara politik adalah pemilih yang memahami, selain aspek-aspek pengetahuan teknis elektorasi, juga memahami aspek-aspek yang bersifat substantif dari isu-isu politik jangka panjang dan bersifat keseharian (daily governing) seperti isu policymaking, dampak suatu kebijakan politik terhadap kehidupan warga negara dll. Selain itu, pemilih yang melek politik diharapkan juga akan memiliki integritas tinggi, kecerdasan dan daya kritis, serta rasionalitas dan tanggungjawab politik sebagai warga negara.
Pemilih literate tidak dapat hadir dengan sendirinya dalam kegiatan-kegiatan politik yang kompleks. Mereka, terutama para pemilih pemula yang untuk pertama kalinya menggunakan hak pilih dalam suatu pemilu adalah para amatir dalalm politik (political amateurs), yang perlu mendapatkan pendidikan
politik untuk bisa sampai pada level sebagai pemilih dengan tingkat literasi minimal memadai. Oleh karena itu diperlukan ikhtiar- ikhtiar kongkret dan berkesinambungan untuk meningkatkan literasi politik mereka.
Jalan untuk meningkatkan literasi politik warga negara, khususnya para pemilih pemula secara umum dilakukan melalui pendidikan politik atau pendidikan kewarganegeraan. Dalam konteks tahapan elektorasi upaya ini dilakukan melalui sosialisasi atau pendidikan pemilih (voter education) yang terbatas dari sisi waktu, cakupan keluasan peserta, maupun materinya. Itulah sebabnya program-program sosialisasi atau pendidikan pemilih yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu (partai atau kandidat) secara hipotetis sejauh ini belum berhasil membangun dan menumbuhkan literasi politik yang ideal terutama pada segmen pemilih pemula, khususnya para pelajar SMA/MA/SMK. Beberapa indikasi belum hadirnya literasi politik yang baik adalah masih maraknya praktik- praktik money politics setiap kali pemilu dihelat; kecenderungan orientasi dan preferensi pilihan politik yang masih emosional; dan masih cukup tingginya angka golput, bahkan yang sama sekali tidak peduli dengan kegiatan pemilu.
Salah satu jalan alternatif untuk meningkatkan literasi politik yang lebih efektif dan produktif dibandingkan dengan kegiatan- kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih, khususnya bagi kalangan pemilih pemula pada segmen pelajar SMA/MA/SMK adalah melalui pendekatan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), dengan mengambil materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sebagai “pintu masuk”. Pembelajaran kontekstual adalah suatu model pembelajaran yang menghubungkan materi belajar dengan konteks atau situasi ril (nyata). Model pembelajaran ini lebih efektif dan produktif karena, selain dilakukan dengan ragam metode yang memberdayakan, mendorong kemandirian, memicu daya kritis dan menumbuhkan kreatifitas peserta didik, juga berlangsung dalam kurun waktu yang relatif panjang (selama menjadi siswa). Melalui model pembelajaran kontekstual ini mereka dipersiapkan secara lebih matang untuk menjadi pemilih pemula yang cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab.
Saran
Berdasarkan telaah literatur dan diskusi di atas, tulisan ini merekomendasikan beberapa saran berikut.
Pertama, pendidikan politik atau voter education sebagai upaya untuk meningkatkan literasi politik pemilih pemula hendaknya dilakukan lebih dini dan dalam durasi waktu yang relatif panjang, sekurang-kurangnya sejak kelas X dan selama masa belajar di tingkat sekolah menengah atas (SMA/MA/SMK), dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual dan mengintegrasikannya dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education). Dengan demikian para pelajar sebagai calon pemilih pemula memiliki kesempatan yang lebih lama, bahkan juga lebih intens dari sisi penyerapan dan penghayatan pengetahuan, sikap dan perilaku politik- kenegaraan, untuk mempersiapkan diri menjadi pemilih pemula yang cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab di kemudia hari. Dalam kaitan ini semua tema materi pembelajaran di dalam buku pendidikan kewarganegaraan dapat dihubungkan sedemikian rupa dengan kebutuhan peningkatan literasi politik para siswa.
Kedua, terkait dengan poin pertama, ketersediaan guru-guru pengampu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang memahami secara lebih mendalam, luas, dan komprehensif isu-isu politik (khususnya tema demokrasi dan elektorasi), kenegaraan dan pemerintahan menjadi suatu keniscayaan. Karena itu penting untuk diprogram dan diupayakan langkah-langkah kongkret untuk memperkuat dan mengembangkan literasi politik para guru mata pelajaran ini secara simultan misalnya melalui pelatihan dan pendidikan khusus demokrasi, kepemiluan dan kepemerintahan untuk para guru pengampu mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Ketiga, akan sangat baik jika gagasan ini disinergikan dalam bentuk program pendidikan kewarganegaraan bersama yang terintegrasi di antara para pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya institusi-institusi penyelenggara kepemiluan, kependidikan, kepemudaan dan pemerintah daerah (Kesbangpol).
Keempat, secara akademik kajian literatur ini barulah merupakan suatu ikhtiar pendahuluan.
Tentu akan sangat baik jika ikhtiar ini ditindaklanjuti dengan riset-riset lapangan yang lebih komprehensif dan tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Cassel, C. A., & Lo, C. C., 1997. “Theories of Political Literacy” dalam jurnal Political Behavior, Volume 19, Nomor 4 Tahun 1997. Crick, Bernard, 2000. Essays on Citizenship,
London : Bloomsbury Publishing.
Echols, John. M dan Hassan S, 1989. Kamus Indonesia Inggris, Jakarta: PT Gramedia.
Gafar, Affan, 1994. “Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System’, dalam The Journal of Asian Studies. Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson, 1972. No Easy Choice : Political Participation in Developing Countries,
Cambridge : Harvard University Press.
Johnson, Elaine B., 2011. CTL, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Bandung: Kaifa.
Karim, Abdul Gaffar dkk, 2015. “Memahami Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten Sleman”, Laporan Penelitian, Sleman : JPP FISIPOL UGM dan KPU Kabupaten Sleman. Kesuma, Dharma dkk. 2010. Contextual Teaching and Learning, Garut: Rahayasa
Research & Training.
Komalasari, Kokom, 2010. Pembelajaran Kontekstual, Konsep dan Aplikasi, Bandung: PT Refika Aditama.
Kumoro, Bawono, 2013. “Pemilih Pemula”, dalam Kolom http://www.tempo.co. Diakses tanggal 15 April 2017.
Madhok, S., 2005. “Autonomy, Political Literacy and the “Social Woman”: Towards a Politics of Inclusion”, dalam C. Bates, & S. Basu (Eds.), Rethinking Indian Political Institutions, London: Anthem.
Al Hakim, Suparlan dkk., 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia, Malang : Universitas Negeri Malang.
Aqib, Zainal, 2013. Model-model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif), Bandung: Yrama Widya.
Bakti, Andi Faisal, 2012. Literasi Politik dan Kondolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press.
Budiyanto, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas X, XI, XII, Jakarta : Penerbit Erlangga.