Mengenal Eks. Kekuriaan Harahap Hutaimbaru Ompu Saruduk

Oleh : Suheri Harahap| sentralberita~Sejarah Eks. Kekuriaan Hutaimbaru. Keturunan Harahap Ompu Sarudak berada di desa Hutaimbaru (sekarang Hutaimbaru Kota Padangsidimpuan), Desa Parsalakan, Desa Panobasan, Desa Sibongbong dan Desa Sangkunur Tapanuli Selatan.
Memilki wilayah adat dan tanah ulayat di Desa Sibara-bara dan sekitarnya..Menelusuri sejarah dan antropologi manusia masyarakat yang hidup ratusan tahun secara turun temurun dengan konsep budaya dalihan na tolu. Silsilah (tarombo) menjelaskan jejak kehidupan manusia yang ada dan asal usul historis.
Modernisasi dan pembangunan terus mengalami eskalasi perubahan pada kemajuan manusia sejak pra Belanda dan era penjajahan sampai era baru revolusi 4.0. Hidup manusia terus berevolusi pada eksistensi atas tanah sebagai tempat kehidupan bidang pertanian seperti tanaman yang tumbuh seperti Salak dan mungkin sebelumnya sudah ada, tanaman karet, aren, durian, padi, pola hidup bercocok tanam sampai muncul tanaman sawit sebagai tanaman rakyat.
Masuknya perusahaan-perusahaan besar lewat pemberian izin oleh pemerintah, saat terjadi pengolahan hutan juga muncul pendatang sebagai tenaga kerja terutama dari suku Nias, Batak Toba dan sudah mendiami wilayah ini sejak puluhan tahun. Penguasaan tanah terus terjadi akibat migrasi ke Tapsel.
Dulu masih sedikit malah dikasih tanah (Mangido Tano Tu Rajai dan juga ada yang buat perjanjian agar tidak terjadi perambahan hutan, pola migrasi berjalan secara damai karena saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Kedepan pola integrasi akan sulit jika problem tanah tak diselesaikan yang muncul adalah kecemburuan sosial (prasangka dan sentimen primordial sengaja digunakan oleh aktor tertentu demi kepentingan ekonomi dan politik, pemerintah tak akan mampu menyelesaikan jika terjadi letupan sosial).
Disebabkan minimnya legalitas baik organisasi adat, tanah ulayat, dan kurangnya dukungan dan keberpihakan Pemkab Tapsel, masyarakat yang terus berjuang bertahun-tahun ingin mendapatkan legitimasi oleh pemerintah dan juga ingin memperoleh hasil CSR dari tanah adatnya, investor juga ingin kondusif berusaha tapi pengusaha belum memberi kepuasan, sudah muncul perlawanan masyarakat adat, ada penolakan izin baru, pembakaran lahan sebagai bentuk emosi sosial, bukti protes ini akan terus berlanjut jika model institusi adat tidak menuju penguatan legalitas, nanti pola refresif pemerintah akan dijadikan oleh investor.
Lalu apa manfaat menuju penguatan legalitas? oknum adat baik raja Luat, Raja Pamusuk akan tak tergoda dengan uang receh, tak mudah menjual-jual tanah, tak mudah melakukan pemberian izin ke swasta (pengusaha) join kesepakatan bisnis atau pola ganti rugi lahan adat semakin transparan, pola pemanfaatan lahan untuk keturunan marga (pekerja lokal warga desa dan hasil pertanian, perkebunan semakin dilirik investor).
Pola kerjasama lewat dalihan na tolu (kahangggi, mora, anak boru) desa semakin kuat, jauh dari monopoli. Pemilik tanah diatas 100 ha kalau ditanya datanya pasti sedikit dari eks. Kekuriaan, kenapa ada pemilik 400 ha? Kapan ada eks. Kekuriaan bisa melakukan kolaborasi dalam pemanfaatan lahan, agar tidak terjadi diskriminasi (jangan hanya dikuasai pemilik modal). Strategi mengurangi kemiskinan keturunan eks. Kekuriaan di Tapsel.
Kedepan pola pemanfaatan tanah adat secara massif dan menjadi kemajuan bagi anak keturunan marga Tapsel. Kepada keturunan/popparan Ompu Sarudak tetap ikut andil dimana pun berada. Pola pembangunan kolaborasi, kesepakatan dalihan na tolu menjadi pilar pemersatu desa. Kepada saudara saya berbeda etnis adat agar terus memahami budaya lokal Tapsel agar kompromi dan mediasi terus dirawat. Problem lahan akan terus menjadi diskusi panjang. Horas.(SB/01)