Bobroknya Pengelolaan Sepak Bola Sebabkan Tragedi Kanjuruhan

sentralberita| Jakarta~Duka sedalam-dalamnya untuk para saudara-saudari kita korban represifitas aparat dalam pengendalian massa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Sabtu, 1 Oktober 2022 menjadi sejarah kelam dalam sepak bola Indonesia, pertandingan AREMA FC vs Persebaya Surabaya berujung kelam dan memakan korban jiwa.

Peristiwa bermula saat Panpel AREMA FC mengajukan perubahan jam kick off di sore hari dengan pertimbangan keamanan dan rivalitas antar klub yang cukup tinggi, namun hal itu ditolak oleh PT Liga Indonesia Baru (LIB). Pertandingan tetap dilaksanakan di malam hari pukul 20.00 WIB dengan hasil kekalahan kandang AREMA FC dengan skor 2-3 yang dimenangkan Persebaya Surabaya.
Saat pertandingan selesai para suporter memasuki area lapangan untuk menemui pemain dan tim AREMA FC.

Merespon hal tersebut, beredar keterangan saksi mata di lapangan dan video yang menunjukkan aksi represi dari aparat dengan menendang dan memukuli suporter. Kemudian polisi juga menembakan gas air mata ke arah lapangan dan tribun suporter yang masih penuh.

Penembakan gas air mata tersebut sontak membuat para suporter yang berada di tribun panik dan berlarian menyelamatkan diri, namun dengan keadaan penglihatan terbatas serta kondisi sesak napas, banyak suporter yang berjatuhan dan terinjak-injak. Akses pintu keluar pun sangat terbatas sehingga menyebabkan penumpukan. Pada saat proses penyelamatan diri itulah para korban kekurangan oksigen, serta karena berdesakan membuat kesulitan mendapatkan pertolongan medis.

Pada konferensi pers yang dilakukan oleh Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta, ia menyatakan bahwa hal yang dilakukan oleh pihak Kepolisian sudah sesuai dengan prosedur. Faktanya dalam peraturan FIFA Stadium Safety and Security Regulation, penggunaan gas air mata adalah hal yang dilarang karena hal tersebut ada dalam Pasal 19b “No firearms or crowd control gas shall be carried or used.”

Hal ini juga menunjukkan bahwa pihak-pihak terkait seperti PSSI, Panpel, PT LIB dan pihak Kepolisian tidak memiliki mitigasi kontrol keramaian yang layak dan humanis, seperti tidak belajar dari negara-negara lain yang telah mengalami hal serupa. Sampai pernyataan sikap ini ditulis, menurut catatan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Malang terdapat 131 korban jiwa dan ratusan lainnya mengalami luka-luka (data masih terus diperbarui).

Baca Juga :  Suporter PSMS Medan Mestinya Bersuara agar  kembali mampu bersaing di Kancah Sepakbola Indonesia.

Mitigasi Risiko Kerusuhan tidak mendapat perhatian penuh dari pihak penyelenggara dan para pemangku kepentingan. Dalam perhelatan pertandingan di Stadion Kanjuruhan yang bisa dikatakan sebagai High Risk Match karena melihat catatan rivalitas Jawa Timur ini seharusnya perlu diantisipasi. Direktur Indonesia Resilience Hari Akbar menyatakan, “Penyelenggara mestinya memahami bahwa derby Jawa Timur ini memiliki risiko tinggi.

Kita bisa melihat bukti sejarah rivalitas antara Arema dan Persebaya. Maka dari itu, semestinya disiapkan langkah-langkah antisipatif yang sadar risiko. Nampaknya penyelenggara hanya mementingkan keuntungan dari pertandingan saja, ini bisa dibuktikan dari penjualan tiket yang melebihi kapasitas stadion, seharusnya dari total kapasitas stadion paling tidak harus dikosongkan sekitar 10%. Ketika panpel menjual habis berarti tidak diterapkan skema kapasitas maksimum yang sudah diatur PSSI”.

Selain itu beberapa peraturan regulasi keselamatan dan keamanan PSSI juga tidak dijalankan oleh penyelenggara, diantaranya adalah menutup pintu gerbang stadion, tidak dijalankannya prosedur darurat, kelebihan kapasitas, dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur. Terlebih menggunakan kekuatan yang berlebihan dari pihak kepolisian dan TNI merupakan kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma.
Hari Akbar Apriawan menambahkan, ”Dalam pertandingan ini terlihat sekali cacat administratif sehingga terjadi bencana sosial ini. Banyak prosedur yang tidak dijalankan, seperti menutup gerbang stadion, tidak menjalankan prosedur darurat, menjual tiket secara berlebihan, pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur dan paling sadis adalah melakukan kekuatan berlebihan oleh aparat secara represif yang menyebabkan korban berjatuhan.

Perlu diketahui bahwa penembakan gas air mata secara brutal di ruang terkunci adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini jelas adalah pelanggaran HAM berat.”

Baca Juga :  Pengprov Kodrat Sumut Lepas Atlet Tarung Derajat Menuju Arena PON di Aceh

Kondisi ini diperparah dengan komunikasi krisis dan ketimpangan data korban yang tidak terkelola dengan baik. Sebagaimana kita ketahui setiap media membicarakan jumlah korban yang berbeda-beda, begitu juga klaim instansi yang nampaknya menutupi jumlah korban.

Belum lagi kita sempat dengar dan beredar di media bahwa Ketua PSSI Komjen. Pol. (P) Dr. Drs. H. Mochamad Iriawan, S.H, M.M., M.H. dalam pembukaan konferensi pers PSSI kepada awak media terkesan tidak memiliki empati.

“Tragedi ini juga diperparah dengan pengelolaan data korban yang kurang baik. Data yang keluar di media-media dan instansi terkait sangat beragam dan tidak sinkron. Ditambah lagi tidak adanya komunikasi krisis yang digunakan dalam membicarakan tragedi ini baik di pemerintah, media maupun publik.

Saya mengecam keras tindakan tidak simpati dan empati yang dilakukan Ketua PSSI dalam memulai konferensi pers kepada awak media. Hal itu mengisyaratkan bahwa jatuhnya korban bukanlah hal penting, dan konferensi pers terkesan formalitas.” tutur Direktur Eksekutif Indonesia Resilience.
Maka dengan ini Indonesia Resilience menyampaikan pernyataan sikapnya, yakni:

  1. Mendesak pihak-pihak terkait melakukan investigasi secara transparan dan kredibel untuk mempertanggungjawabkan atas peristiwa yang terjadi
  2. Mendesak PSSI dan PT Liga Indonesia Baru membuat dan menerapkan rencana mitigasi kontrol keramaian sesuai dengan standar FIFA secara layak dan humanis
  3. Mendesak PSSI, Kepolisian RI dan TNI RI untuk mematuhi regulasi FIFA untuk tidak membawa atau menggunakan gas air mata sebagai kontrol keramaian
  4. Mendorong Kompolnas dan Komnas HAM untuk menindak lanjuti dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian dan militer
  5. Mendorong pemerintah cq Kementerian sosial dan Dinas Sosial setempat memberikan jaminan dan penyediaan fasilitas pemulihan bagi korban, kerabat dan keluarga yang terdampak Tragedi Kanjuruhan yang termasuk bencana sosial. (SB/01)
-->