Global Climate Strike : Elit Semakin Kuat, Rakyat Jadi Sekarat

Gerakan iklim global berlangsung serentak di seluruh dunia, termasuk kota Medan.(f-ist)

sentralberita | Medan ~ Jumat, 23 September 2022, Puluhan aktivis dan mahasiswa berkumpul di titik Nol
Kota Medan dan melaksanakan aksi damai Global Climate Strike (Gerakan iklim global).

Gerakan iklim global berlangsung serentak di seluruh dunia, bermula dari gerakan Greta Thunberg. Di Indonesia sendiri bernama “Jeda Untuk Iklim” yang
pertama kali berlangsung di tahun 2019. Tema Global Climate Strike yang diangkat
kali ini adalah Elit Makin Kuat, Rakyat Sekarat.

Merujuk penelitian yang di terbitkan oleh lembaga riset asal Swiss tahun 2021,
perubahan iklim memberikan kerugian perekonomian bagi Indonesia, kehilangan 10 % dari total nilai ekonominya apabila kesepakatan Paris 2050 tidak terpenuhi.
Padahal pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim melalui Paris Agreement dimana pengurangan 29 % emisi CO2 dengan upaya sendiri dan mengurangi 41 % dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Paris Agreement adalah sebuah traktat internasional tentang mitigasi, adaptasi dan keuangan perubahan iklim pada tahun 2015. Persetujuan ini mengawal negara- negara untuk mengurangkan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global kepada cukup di bawah 2,0 derajat Celsius.

Perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi mengakibatkan kerugian finansial yang besar, rantai pasokan Nasional dan Internasional akan tergangu akibat tekanan Inflasi, Indonesia
diperkirakan berpotensi memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai
112,2 triliun pada tahun 2023.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, mencatat kawasan Indonesia
mengalami peningkatan suhu dalam kisaran 1 °C dan dapat bertambah mencapai 3 °C di akhir abad ini. Peningkatan 1 derajat Celcius berdampak cuaca ekstrem seperti siklon tropis, hujan ekstrem, angin kencang/puting beliung, gelombang tinggi, yang dapat memicu banjir, banjir bandang, tanah longsor dan bencana hidrometeorologi lainnya. BNPB menghitung ada 90% dari 5,400 bencana hidrometeorologis, tahun 2021 menghatam dari seluruh masyarakat Indonesia ini akibat krisis iklim.

Baca Juga :  Kunjungi Institut Teknologi DEL, Bobby Nasution Ajak Sejumlah Gubernur Manfaatkan Fasilitas dan Teknologinya

Emisi karbon yang masif yang dihasilkan dari PLTU-PLTU batubara yang
mendominasi 65% energi listrik Indonesia, dalam beberapa tahun ke depan akan
menggantikan deforestasi sebagai sumber utama emisi karbon Indonesia, sekaligus penyebab utama krisis iklim.

Di Sumatera Utara sendiri kondisi Krisis iklim telah menghantui, abu pembakaran
PLTU batubara Pangkalan Susu yang letaknya di Kabupaten Langkat Provinsi
Sumatera Utara, unit 1-4 dengan kapasitas 800 Megawatt. PLTU batubara
Pangkalan Susu membakar 11.885 Ton Batubara/ Hari, 6% X 11.885 Ton = 713,10
Ton FABA (Flya Ash Bottom Ash), Bottom Ash = 213,93 Ton / Hari, Fly Ash =
499,17 Ton/ Hari, yang juga salah satu penyebab utama krisis iklim.

Di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara, perubahan
musim telah terjadi, petani tadah hujan kini sulit memprediksi musim hujan dan ini mengakibatkan menurunnya masa tanam yang harusnya 2 kali menjadi 1 kali, banjir
rob yang kerap terjadi banjir yang juga merugikan pada petani di Pangkalan Susu.

Namun kondisi Krisis iklim juga sama sekali tidak disinggung oleh Presiden
Indonesia, Bapak Jokowi, pada Pidato Kenegaraan HUT RI ke 77 tahun, Presiden
Jokowi hanya menyampaikan bahwa Indonesia sedang berada di puncak
kepemimpinan global, terkait diplomasi perdamaian dunia, kepemimpinan di kancah

ASEAN dan G20. Presiden Jokowi hanya berfokus pada krisis pangan, krisis energi
dan krisis finansial, padahal Krisis iklim mengakibatkan ketiga Krisis ini.

Elit Makin Kuat, Rakyat Sekarat merupakan tema Aksi Global Climate Strike, aksi
ini menyoroti Pertemuan G20 di bawah Presidensi Indonesia telah dimulai pada 1
Desember 2021 dan akan berpuncak pada KTT Bali pada tanggal 15-16 November

  1. Isu prioritas pada G20 adalah global health architecture, digitaltransformation,
    sustainable energy transition.

Ketiga isu ini dibahas di dalam working group, dua diantaranya adalah working group energy transition dan environment and climate sustainability. Kedua working grup ini mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu global sampai di
angka 1,5º Celsius tingkat pra industri.
Pertemuan tingkat menteri G20 tidak mampu untuk mempercepat transisi energi fosil ke terbarukan padahal konsumsi energi saat ini bergantung pada energi fosil telah menjadi akar masalah dari krisis iklim.

Baca Juga :  Pj Gubernur Agus Fatoni Komitmen Jaga Kedaulatan Pangan Sumut

Bahkan 75 % permintaan energi dunia ternyata dilakukan oleh negara G20, itu artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim, urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20.

Pulau Bali yang dijadikan tempat perundingan ini juga terancam akibat krisis iklim, data menunjukan menunjukan bawah 175 desa pesisir di Bali terancam krisis iklim, utamanya karena kenaikan muka air laut.

Mimi Surbakti (Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari), menyerukan bahwa
Indonesia berperan penting dalam mengatasi situasi krisis energi global terutama pada Presidency G20. Pada pertemuan G20 Indonesia harus menegaskan dan menyepakati percepatan transisi dari energi fosil ke energi bersih, terbarukan dan manajemen transisi. Demokratisasi energy diharapkan bisa dibicarakan pada G20, demokratisasi energy diharapkan menuju energi transisi yang adil, terjangkau, dan berkeadilan kepada masyarakat.

Demokratisasi energy juga akan menjadi sektor yang baik dalam menjaga alam melalui pengelolaan yang berkelanjutan.
Rimba Zaid dari Fossil Free Sumut, menambahkan bahwa sumber daya energiyang ada di Indonesia seharusnya kuasai, dikelola dan dimiliki seluruh rakyat Indonesia namun faktanya saat ini sumber daya energy hanya dinikmati oleh
segelintir orang elit saja, ini menjadi puncak kekecewaan kami karenanya kami memilih slogan “Elit Makin Kuat, Rakyat Sekarat”.

Kondisi ini, bertentangan dengan
poin b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. “… peranan energi
sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. (01/red)

-->