Ahli Kehutanan Tegaskan Kalau Masih Ditunjuk Itu Masih Hutan, Bukan Kawasan Hutan
Sidang mantan Dirut PT. PSU kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Kamis (30/6/2022) malam. (F-ist)
sentralberita | Medan ~ Sidang dugaan korupsi di PT. PSU Kabupaten Mandailing Natal ( Madina) dengan terdakwa Ir. Heriati Chaidir selaku mantan Dirut PT. PSU kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, Kamis (30/6/2022) malam.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai Sulhanuddin, SH, MH dan dua Hakim anggota yakni As’ad Lubis dan Husni Thamrin tersebut beragendakan mendengarkan kesaksian dari tiga saksi Ahli.
Ketiga saksi Ahli yang dihadirkan yakni, Ahli Kehutanan, Dr Sadino, SH, MH, Ahli Koorporasi, Prof. Dr. Tan Kamello dan Ahli Pidana, Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum.
Dihadapan Majelis Hakim, ketiga Ahli ditanya secara bergantian oleh OK. Iskandar, SH, MH dan OK. M. Ibnu Hidayah, SH, MH, C.L.A selaku penasehat hukum terdakwa Ir. Heriati Chaidir selaku penasehat hukum dari terdakwa Ir Heriati Chaidir dan Jaksa Penuntut Umum.
Ahli Kehutanan, Dr Sadino SH MH mengatakan, menentukan sebuah lahan kawasan hutan untuk mengetahui kepastian hukum dilakukan pengukuhan kawasan hutan. Yang pertama penujukan hutan, penataan, penanaman, dan penetapan.
“Kalau itu baru ditunjuk itu namanya bukan kawasan hutan,” kata Ahli Kehutanan, Prof. Dr Sadino.
Dalam persidangan tersebut Dr Sadino juga menyebutkan bahwasannya definisi Kawasan Hutan berdasarkan UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana diubah melalui Putusan MK No 45/PUU-IX/2011 adalah areal yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan, bukan areal yang ditunjuk saja, sehingga harus melalui mekanisme pengukuhan dulu baru dapat dinyatakan sebagai Kawasan Hutan.”
Diluar persidangan OK. M. Ibnu Hidayah mengatakan, bahwa Dr. Sadino dengan tegas menyatakan sepanjang areal di simpang koje itu masih tahap penunjukan maka areal tersebut bukan kawasan hutan. Sementara bukti bukti dipersidangan areal yang dipermasalahkan disimpang koje itu adalah areal yang ditunjuk berdasarkan SK 579 tahun 2014, artinya itu belum merupakan kawasan hutan. Ini sesuai dengan keterangan dari dinas kehutanan kemarin yang menyatakan areal ini tapal batas belum temu gelang.
Terkait permasalahan kawasan hutan ini sudah diatur mekanismenya, secara administratif melalui undang undang cipta kerja. Artinya, apakah boleh PT. PSU mengelola diareal HPT? Saat ini boleh, dengan tegas dinyatakan boleh, diperbolehkan oleh undang undang cipta kerja. Diberikan waktu 3 tahun untuk mengurus izinnya. Dan setiap penguasaan lahan waktu itu tidak dapat di pidana, itu jelas diatur dalam PP no 24 tahun 2021.
Terkait Ahli Koorporasi, Prof. Dr. Tan Kamelo SH MS juga menjelaskan apabila Direksi sepanjang tindakan tujuannya adalah untuk menguntungkan perusahaan dalam hal ini adalah direksi menggantirugi tujuannya adalah agar aset PT. PSU berkembang tumbuh dan itu menguntungkan, nah ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dipersalahkan direksi tersebut. Meskipun secara administratif ternyata ini masih ada izin izin yang perlu di urus, sepanjang secara keuangan ini menguntungkan koorporasi tidak masalah.
Kemudian yang dipermasalahkan dalam dakwaan itu mengenai gantirugi, artinya menurut dakwaan ganti rugi itu tidak sah. Ternyata gantirugi itu dilaksanakan berdasarkan pernyataan pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh masyarakat penggarap kepada PT. PSU. Dan menururut ahli bahwa perjanjian ini sah, artinya perolehan aset PT. PSU itu sah secara hukum karena dilakukan di areal Penunjukan, dan bukan di Hutan Tetap, sehingga PT. PSU berhak menguasainya.
Dilanjutkan lagi oleh dari Ahli Pidana, Dr Mahmud Mulyadi SH Mhum menjelaskan bahwasanya seluruh areal pemeriksaan ini berada pada lingkup pidana kehutanan bukan pidana tindak pidana korupsi. Artinya permasalahan ini tunduk pada undang undang kehutanan, itulah namanya azas lex spesialis sistematis, itu penting disini karena pertanyaan dari penuntut umum dari pemeriksaan ini juga semua sebatas kehutanan tidak lebih dari yang lain.
Dan yang penting dijelaskan Ahli pidana adalah apabila peristiwa tahun 2007 sampai 2010 kemudian ternyata ada perubahan peraturan, dan 2020 ini sudah bukan tindak pidana artinya dekriminalisasi. Peraturan yang mana digunakan?, apakah peraturan lama atau peraturan saat ini? di KUHP jelas diatur dalam pasal 1 ayat 2 bahwa peraturan yang meringankanlah yang digunakan, artinya untuk perkara ini undang undang cipta kerja dapat diterapkan, meskipun peristiwa yang didakwakan adalah ditahun 2007 sampai tahun 2010.
Perbuatan yang didakwakan itu adalah gantirugi, dan gantirugi itu terindikasi diareal penunjukan kawasan hutan produksi terbatas. penyelesaiannnya bukan melalui tindak pidana korupsi, tapi di undang undang kehutanan dan sejak tahun 2010 bahkan ada diatur ada namanya diskema tukar menukar kawasan hutan. Kemudian ditahun 2015 juga ada diatur mengenai tukar menukar kawasan hutan, dan terakhir sekarang di cipta kerja juga ada diatur mekanisme bagaimana caranya perusahaan ini boleh menguasai lahan tersebut. Hal ini masuk ke ranah Administratvie Penal Law, apalagi dalam UU Cipta Kerja hal ini tidak dapat dikenai sanksi pidana.( FS)