Catatan Membangun Desa di Padang Lawas Utara, Sebuah Potret Desa Padang Garugur dan Stop Kehadiran PT. Brapala

Oleh : Suheri Harahap| Berkunjung dan berdiskusi dengan warga Desa Padang Garugur berinisial ‘A’ Harahap, seorang petani karet dan sawah. Sejak lahir beliau tinggal di desa sampai berkeluarga memiliki tiga orang anak dan marga Harahap menjadi raja kampung (huta), masih terdapat pola pertanian yang tradisional dengan memanfaatkan lahan untuk menanam padi.

Suheri Harahap/ (SB/F-Dok)

Oleh: Suheri Harahap~Berkunjung dan berdiskusi dengan warga Desa Padang Garugur berinisial ‘A’ Harahap, seorang petani karet dan sawah. Sejak lahir beliau tinggal di desa sampai berkeluarga memiliki tiga orang anak dan marga Harahap menjadi raja kampung (huta), masih terdapat pola pertanian yang tradisional dengan memanfaatkan lahan untuk menanam padi.

Tentu Desa ini dengan jumlah penduduk sekitar 300 KK, sangat homogen, kehidupan antar warga sangat kuat nilai-nilai adat dan agama. Sebuah perjalanan menuju Desa masih ada jalan yang belum diaspal tapi sekitar jalan terdapat kebun karet dan sawit sebagai penghasilan masyarakat setempat.

Sejarah desa ini sedikit berbeda sejak datangnya dana desa dan perubahan mindset dan pola kerja kepala desa. Semestinya desa ini jauh lebih maju, ditata dengan baik agar penghasilan masyarakat bertambah. Misalnya potensi kilang padi yang dimiliki warga desa sudah mengalami persoalan modal, sejak masuknya ‘toke’ dari kota Medan menggunakan ‘orang kampung” sebagai agen gabah untuk mengambil hasil-hasil pertanian khususnya padi dengan harga gabah Rp. 4.400/kg oleh agen kampung.

Ada sekitar 600 ton sekali panen keluar gabah dijual menuju Medan, Kisaran, jadi kilang padi di desa hanya dapat sekitar 150-200 ton karena tidak bisa mengambil gabah warga desa akibat harga. Kilang padi desa yang sangat sederhana, lahan yang sangat sempit, modal yang kurang, sebab setiap musim tanam mereka harus mampu menyediakan pupuk dengan cara pinjaman sampai musim panen. Terlihat penggunaan dana desa masih bangun jalan setapak di desa, itupun belum semua desa dibuat parit, ada dibangun jembatan kecil dengan anggaran 280 jt, terlihat sangat besar anggarannya. 2020 anggaran digunakan untuk Covid pertama diberikan uang tunai 200 KK sebesar 600 rb/KK.

Baca Juga :  Catatan Akhir Tahun SMSI Sumut 2024 : Membangun Kembali Tatanan Organisasi Pasca Pilkada

Sebuah pertanyaan akankah kemajuan desa bangkit dengan dana desa? Sebuah prilaku kepala desa patut dicurigai dengan kehadiran dana desa. Kantor desa serta fasilitasnya masih ada yang belum punya kamar mandi. Potensi desa masih banyak yang belum dikelola seakan ‘jalan ditempat’ perlu terobosan para tokoh, pemuda, raja adat mengkaji mempercepat kesejahteraan rakyat desa.

Dana PKH, BLT, raskin, baik Kabupaten dan Propinsi, Pusat tidak cukup, ada siklus ekonomi desa lewat potensi tanah untuk perkebunan, pertanian dan pariwisata yang cukup potensial. Saatnya gotong royong dan mentalitas baru dirancang menata desa. Bayangkan ada desa dapat beras padahal di desa jual gabah ke luar, tak sempat dikelola jadi beras.

Kehadiran PT. BRAPALA Mengancam

Menarik untuk menelusuri kedatangan investor PT. BRAPALA yang menguasai tanah sekitar tahun 2007 dengan luas 5000 ha, memang betul diberikan oleh tokoh-tokoh adat Desa Padang Garugur Kecamatan Batang Onang dengan Padang Hasior masing-masing 2500 ha dengan alasan membuka perkebunan sawit, ditandatangani raja-raja adat marga Harahap Sutan Nasinok dan Harahap Padang Hasior Kecamatan dengan perkiraan harga Rp. 500 rb perhektar.

Menariknya kenapa PT. BRAPALA diberikan akses, sampai hari ini terus mengambil kayu sementara kawasan tersebut masuk Hutan Register 38 dengan luas wilayah dari Dinas Kehutanan diberikan sekitar 9.800 ha jika ditambah 5000 ha sudah ada 14.800 ha HGU/HPH yang diperoleh PT. RAPALA. Kemungkinan besar lahan masyarakat juga ikut, inilah cara Kepala Daerah yang dipimpin saat itu Bapak Bahrum Harahap memberikan lokasi PT. Brapala disampingnya juga terdapat lokasi lahan Bupati sekitar 300 Ha dengan alasan waktu itu membuka jalan AMD TNI masuk desa dari Padang Garugur ke Balimbing Julu sekitar 14 KM.

Baca Juga :  79 Tahun, Nusantara Baru untuk Indonesia Maju

Saat ini Kepala Desa Padang Garugur dan 14 orang warga desa masuk penjara akibat protes terhadap Galian C di sungai Aek Sihapas yang berdekatan dengan lahan sawah masyarakat, motif pembangunan desa berwawasan lingkungan dalam tatanan dalihan na tolu terus terancam. Bapak Kapolres Tapsel diminta jangan tebang pilih, harus membela kepentingan masyarakat bukan pengusaha perusak lingkungan.

Ternyata lahan masyarakat semakin sempit akibat luasnya lahan PT. BRAPALA sementara manfaat ke masyarakat adat belum terlihat, ada apa dengan politik pembangunan lahan di Paluta? Apa yang dicapai pasca pemekaran dari Tapanuli Selatan dimana keadilan bagi masyarakat adat. Masih ada pendapat raja2 adat kita ‘untuk apa lahan, daripada kosong’, pola pikir memudahkan urusan tanpa memikirkan masa depan desa dan lahan bagi generasi kedepan, sekarang mulai menyesal apakah konsep perkebunan dan pertanian rakyat sudah berjalan? Lahan perkebunan di lokasi register diberi izin sementara rakyat dilarang membuka lahan, menanam, menebang kayu. Para wakil rakyat di DPRD Paluta harus mengawasi lahan register. Jika terjadi perambahan hutan oleh siapa pun harus ditindak, tidak tertutup kemungkinan terjadi banjir dan berdampak ke sungai Barumun.

Rakyat menjaga hutan, stop izin PT. BRAPALA, berikan lahan 2 ha ke masyarakat Paluta. Perlu investigasi lebih lanjut…para mahasiswa & aktifis/LSM peduli lingkungan terutama tanah2 konservasi untuk diawasi.

-->