Banyak Kejanggalan, Kasus BRI Kabanjahe Tak Tepat Disebut Kejahatan Korupsi 

Sidang korupsi BRI Kabanjahe,Senin malam (13/12). (SB/F-FS)

sentralberita|Medan ~Kasus dugaan korupsi di Bank BRI Kabanjahe dinilai tidak tepat disebut sebagai kejahatan tindak pidana korupsi. Hal ini didasari sejumlah kejanggalan-kejanggalan yang terlihat mulai dari penyidikan hingga keterangan sejumlah saksi yang telah dihadirkan selama persidangan.

Hal itu dikatakan Hartanta Sembiring selaku kuasa hukum James Tarigan dan Yoan Putra, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi Bank BRI Kabanjahe, menanggapi keterangan saksi dalam sidang lanjutan yang digelar pada Senin (13/12) malam.

“Apa yang kita bisa tangkap selama persidangan, ada begitu banyak kejanggalan-kejanggalan. Seperti saya contohkan pada sidang kemarin. Saksi dari BRI menyatakan ini adalah kesalahan terdakwa. Kita kejar terus, benar atau tidak,” kata Hartanta kepada wartawan, Rabu (15/12/2021).

Menurut Hartanta, terlalu cepat pihak BRI menyimpulkan kasus ini adalah kesalahan terdakwa. Padahal, hingga sekarang soal tanda tangan yang disebut-sebut palsu belum ada kesimpulan otentik yang bisa membuktikan itu.Karena tidak ada hasil 

“Disebutkan ada empat kategori kesalahan terdakwa dalam kasus ini. Terdakwa versi mana? Kategori apa? Apa sudah jelas rupanya orangnya? Kemudian kita kejar juga soal tanda tangan, kan belum ada putusan dari labfor. Sedangkan klien kita juga mengatakan bukan dia yang menandatanganinya,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga mengkritik jaksa yang menurutnya aneh, belum ada keputusan hukum soal pemalsuan tanda tangan itu, penyidik begitu cepat menaikkan berkas perkaranya.

Baca Juga :  Pangdam I/BB Pastikan 15.000 Prajurit TNI Siap Mengamankan dan Menyukseskan Pemilu 2024.

“Jadi kenapa berkasnya dinaikkan. Belum ada keputusan hukum. Kedua, kalau kita telusuri ini sesuai apa kata jaksa, Yoan baru tertangkap 2021, kan begitu. Yoan langsung ditangkap Kejatisu tanpa ada proses wawancara yang dilakukan BRI, lalu kapan Yoan menerangkan ini tanda tangan siapa?,” tanya Hartanta heran.

“Lalu bagaimana BRI menyatakan itu palsu sementara hasil wawancara belum mencakup semua, apa pula daasar kejaksaan menetapkannya jadi tersangka,” kata Hartanta menambahkan.

Hartanta juga menyinggung soal keanehan keterangan para saksi selama persidangan. Seperti saksi nasabah yang dihadirkan pada Senin kemarin di PN Medan.

“Apa yang bisa tangkap dari para saksi, satu nasabah menyatakan itu tidak tanda tangan dia. Dari keterangan teller pernah dia bilang ada nasabah yang mengambil. Lalu kenapa uangnya disebut diambil Yoan,” sebutnya.

Karena menurutnya hal itu sangat aneh, sebab jelas ada nasabah yang hadir tapi bisa disebut uangnya hilang.  “Ada hadir di situ nasabah, lalu uangnya hilang,  kok bisa ada hadir uangnya hilang, ini yang jadi pertanyaan kami, lalu terjadi tuntutan bahwa itu diambil Yoan , jadinya sumir ceritanya. Tidak nyambung,” tegasnya.

Tondak Pidana Perbankan

Maka berkaca pada kejanggalan-kejanggalan itu, lanjutnya, sebenarnya kasus ini tidak layak disebut kasus kejahatan korupsi. Sebab, para pihak jelas terlibat dalam  transaksi. Berarti transaksi tersebut adalah sah.

Baca Juga :  Pimpin Apel Pagi, Kapolrestabes Medan Ajak Personel Doakan Almarhum Aiptu Amirsyah

“Kalau transaksi sah, resmi, berarti tidak ada seharusnya kasus ini. Kemudian sekarang  nasabah yang terdaftar menggunakan kecurangan kredit,  tetap bisa menggunakannya. Berarti kan gak ada uang yang hilang di BRI. Dan tidak mungkin ada kerugian negara. Makanya ini lebih kepada tindak pidana perbankan,” jelasnya.

Ia menyebut, jaksa tampak begitu sembrono menyusun dakwaan. Menurutnya, jaksa tidak menjalankan pedoman penentuan untuk menetapkan seseorang jadi tersangka. 

“Inilah yang mau kita kongkritkan. Bukan asal-asalan menyusun dakwaan. Kalau mau bongkar semua, ayo kita siap bantu. Namanya surat dakwaan kan  harus teliti, cermat. Ini ada transaksi ternyata uangnya diterima, berarti kan transaksi sah. Bukan korupsi namanya, ini kejahatan perbankan,” tandasnya. 

Sebelumnya, Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa James Tarigan, dalam perkara korupsi senilai Rp8,1 miliar terkait pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) kepada para debitur/nasabah yang diduga fiktif.

Sebelumnya, JPU Kejatisu menguraikan, terdakwa James sejak tahun 2014 sampai bulan September 2017 sebagai SPB dan bawahannya langsung Yoan Putra (berkas terpisah) sebagai petugas Administrasi Kredit (AdK) dipercayakan mengurusi fasilitas KMK kepada debitur/nasabah yang memerlukan modal tambahan untuk usaha. (SB/ FS).

-->