Petani Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan Bea Keluar Ekspor CPO
sentralberita | Jakarta ~ Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan bea keluar ekspor CPO atau menurunkan tarif pungutan ekspor CPO agar petani sawit bias hidup sejahtera dan bisa merasakan hasil kerja payah selama ini. “Pemerintah harus lindungi petani sawit,” kata Ketua Umum APPKSI, AM.Muhammadyah, dalam siaran persnya, Jumat (22/1/2021).
Pungutan Dana Perkebunan atas ekspor kelapa sawit, dan bea keluar merupakan dua pungutan yang dikenakan atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannya.
Muhammadyah mengatakan, besaran tarif dana perkebunan atas ekspor sawit dikenakan berdasarkan harga crude palm oil. Kementerian Keuangan baru-baru ini menaikkan tarif pungutan.
Muhammadyah mengatakan, berdasarkan PMK Nomor 191/PMK.05/2020, pungutan ekspor CPO dengan harga di bawah atau sama dengan US$670 ton dikenai tarif US$55 per ton. “Tarif pungutan ini akan dinaikkan US$15 per ton setiap kenaikan harga CPO US$25 per ton,” kata dia.
Kementerian Perdagangan (Kemdag) menetapkan harga referensi minyak sawit mentah untuk penetapan bea keluar pada periode Januari 2021 sebesar US$951,86/ton.
Harga referensi ini meningkat US$81,09 atau 9,31 persen dibandingkan dengan harga Desember 2020 yang dipatok US$870,77/ton. “Saat ini harga referensi CPO telah jauh melampaui threshold US$750/ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan bea keluar (BK) CPO sebesar US$74/ton untuk periode Januari 2021,” kata dia.
Dikatakan, bea keluar CPO untuk Januari 2021 merujuk pada Kolom 6 Lampiran II Huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.010/2020 sebesar US$74/ton. Nilai tersebut jauh meningkat dibandingkan dengan bea keluar CPO untuk periode Desember 2020 sebesar US$33/ton.
Penerapan BK ini akan menekan kembali harga Tandan Buah Segar (TBS) petani. Pasalnya, dalam struktur penetapan harga TBS petani yang ditetapkan setiap minggu dipengaruhi pajak ekspor dan pungutan ekspor.
“Pajak ekspor dan pungutan ekspor itu masuk dalam biaya pengurang harga TBS yang diterima petani. Istilah umumnya biaya produksi yang diterapakan oleh perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang menjadi penerima TBS dari pengepul TBS,” kata dia.
Ia menambahkan, belum lagi persoalan petani yang tidak bisa menjual TBS nya langsung ke PKS –PKS terutama petani rakyat (mandiri) yang tidak bermitra dengan perusahaan sawit mana pun. Akibat Keterbatasan kapasitas produksi pada PKS menyebabkan hasil penen TBS petani tidak dapat diolah secara maksimal.
Akibatnya petani mengalami kerugian karena harus menjual ke pengepul TBS yang membeli TBS dibawah harga yang ditetapkan. “Kami mengusulkan kepada pemerintah supaya bea keluar sawit sementara dinolkan atau ditunda terlebih dahulu agar tidak menjadi beban tambahan yang menyebabkan tertekannya harga di tingkat petani,” kata dia.
Kenaikan tariff pungutan ekspor CPO sudah cukup dan tidak perlu ditambah dengan penaikan bea keluar. Pasalnya, kenaikan pungutan ekspor tersebut saja sudah akan menekan harga tandan buah segar (TBS) petani dan karena memang berkat pungutan ekspor inilah harga TBS petani terjaga melalui [industri] biodiesel.
Sementara itu, kata Muhmmadyah, jika bea keluar yang merupakan penerimaan negara yang masuk ke dalam kas negara dinaikan tarifnya maka penaikan bea keluar sawit akan menekan permintaan ekspor secara signifikan ,dimana permintaan ekspor akan turun dan harga CPO menjadi rendah dan produksi CPO nasional pun menurun, yang akhirnya juga akan berpengaruh pada penurunan jumlah pungutan ekspor CPO yang digunakan untuk mensusbsidi industry biodiesel dimana pungutan ekspor sawit merupakan keniscayaan untuk menyelamatkan industri biodiesel nasional. Pasalnya, sebanyak 9,5 juta ton CPO akan terbengkalai jika industri tersebut terbengkalai.
“Pembatalan kenaikan bea keluar atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannya dimaksud agar agar pasar dapat mengunci harga bawah TBS petani di level Rp 2.100 per kilogram,” kata dia.
Muhammadyah mengatakan, perlu menjadi catatan kenaikan harga CPO dan permintaan CPO di luar negeri sepanjang 2020 hingga saat ini ini mencapai level sebesar US$951,86/ton.di januari 2021 lebih disebabkan karena diberlakukannya protokol lockdown di negara produsen CPO, salah satunya Malaysia.
Alhasil, produktivitas perkebunan kelapa sawit Negeri Jiran merosot lantaran kekurangan tenaga kerja untuk memanen kelapa sawit. Artinya jika sudah tidak lagi lockdown di Malaysia maka kemungkinan harga CPO di tahun 2021 akan kembali menurun begitu pula harga TBS akan turun juga, lalu apa yang akan diberikan oleh pemerintah jika harga CPO jatuh kembali ,karena selama ini saat harga CPO rendah tidak ada satupun kebijakan pemerintah untuk membantu para stake holder kelapa sawit. (bs/ras)