Dalihan Na Tolu sebagai Idealogi Pembangunan di Tapsel, Perlu Penguatan Lembaga Adat

Oleh : Suheri Harahap|sentralberita~Kita punya Forkala (Forum Komunikasi Lembaga Adat), ada juga Dewan Adat Raja Angkola Sipirok. Tentu berbeda dengan Lembaga Kerapatan Adat Nagari (Sumbar/Padang/Orang Minang, Ninik Mamak) begitu juga Lembaga Adat Aceh (MAA).
Semangatnya tentu untuk memperkuat masyarakat adat, apalagi menyelesaikan berbagai persoalan tanah ulayat, dan eksistensi kehidupan masyarakat lokal. Sebuah kerjasama lewat pemerintah memberikan resolusi sosial budaya di Tapsel.
Solusi selama ini lewat penegakan hukum oleh Pemkab Tapsel beserta jajarannya dan terjadinya berbagai sengketa tanah maupun problem sosial di masyarakat belum terselesaikan dengan tuntas.
Kami melihat semacam ada pelemahan secara institusional selama ini, bahkan tarik-menarik kepentingan para elit sehingga Tapsel kehilangan kekuatan kelompok penyeimbang (civil society) yang kuat, lihatlah Ormas agama, OKP, partai politik dan lembaga bentukan pemerintah seolah terkooptasi dan cenderung mudah dintervensi kekuasaan.
Pembelaan kepada hak-hak masyarakat sipil mudah terabaikan. Kenapa kita khawatir dengan menguatnya masyarakat adat di Tapsel, ataukah ada segelintir orang yang tak ingin Tapsel maju dan pembangunan digunakan bukan untuk kemakmuran rakyatnya.
Kalau program adat lewat Forkala saya kira bagus, tapi programnya hampir berbasis anggaran dam belum memenuhi aspirasi perjuangan masyarakat adat sesungguhnya.
Lihatlah perkembangan adat istiadat dan pelestarian budaya belum mengakar secara utuh apalagi membumi bagi warganya. Program ‘Makkobar Boru Marbagas’, Maralok-Alok Margondang’, ‘Tor-Tor’ cenderung program perlombaan bukan penanaman nilai-nilai budaya, bisa dari pendidikan pra sekolah (PAUD) dan seterusnya. Upaya pelemahan lewat politik lokal juga sangat berpengaruh.
Apa yang menggerakkan pembangunan di sebuah daerah, kami mendorong penguatan dan internalisasi adat budaya secara komprehensif. Inilah ideologi pembangunan Tapsel.
Yaitu berakar pada nilai-nilai sosial budayanya. Kita memiliki konsep budaya yang luhur tapi kita tinggalkan dan memiliki relevansi yang kuat dengan Pancasila. Saya boleh sebut SAYA PANCASILA, SAYA DALIHAN NA TOLU.
Kita punya konsep sesuai dengan Pancasila. Jika ideologi pembangunan sejalan dengan kearifan lokal akan menambah ‘rasa senasib sepenanggungan”, ‘ saanak saboru’ di bumi dalihan na tolu Tapsel. Adapun nilai-nilai itu misalnya :
Pertama, hombar adat dohot agama (nilai Ketuhanan/dalam Islam konsep Tauhid/masyarakat sudah beralih ke monoteisme, budaya yang tidak sesuai dengan Islam pelan-pelan diitinggalkan, jadi budaya dan agama saling menguatkan.
Kedua, kemanusiaan dalam budaya dalihan na tolu sangat dijunjung tinggi, adil dan beradab dibuktikan dengan cara hidup ‘marsihaholongan’, ‘sahata saoloan’, ‘rap tu ginjang rap tu toru’, menolak sistem kapitalisme, saling menghormati antarsesama Ketiga, persatuan kita diikat dengan perekat budaya dalihan na tolu, siapapun bisa tinggal, hidup bersama dengan damai, begitu juga persatuan dalam aktifitas bergotong-royong (marsialap-ari).
Keempat, kerakyatan diwujudkan dalam filosofi pola hidup saling membantu sesama lewat ‘martahi, ‘marpokat’.
Keadilan sosial, kita menolak bentuk sistem kapitalisme, sosialisme apalagi komunisme. Kita punya konsepsi keadilan ekonomi lewat ‘marjulo-julo’, sekarang koperasi, keadilan ekonomi bukan segelintir orang.
Maka nilai sosial dalam pembangunan dikuatkan fondasi ‘Poda Na 5’, dimulai dari diri sendiri dan keluarga (bergerak dari hati (roha/jiwa), bagas (rumah), pakaian (parabiton) adab prilaku sosial, pekarangan (lingkungan), motif kehidupan sosial sangat penting sesuai budaya lokal dan tidak bertentangan dengan agama dan ideologi negara.