Mendagri Tito: Sistem E-Voting Layak Diterapkan Dalam Pemilu di Indonesia

Mendagri Tito Karnavian saat menghadiri Rakornas dan Penyampaian Laporan Kinerja DKPP Tahun 2019, di Hotel Grand Mercure Baycity, Jakarta Utara, Sabtu (14/12/2019).

Hal itu disampaikan oleh Mendagri Tito Karnavian dalam acara diskusi publik bertema Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan.

Demikian disampaikan dalam siaran pers Staf Khusus Mendagri Kastorius Sinaga yang diterima awak media, di Jakarta, Senin (9/3/2010).

“Di samping aspek positif di atas, aneka aspek negatif seperti ‘keterbelahan’ masyarakat yang mengancam integrasi bangsa dan mengganggu kerukunan, melanggengnya politik identitas, munculnya konflik yang mengandung kekerasan serta ‘high cost politics’ atau biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh kontestan pilkada dan oleh pemerintah,

adalah beberapa contoh empirik dari sistem pemilihan kita baik pilpres ataupun pilkada,” tutur Tito di depan para aktivis pro demokrasi yang tergabung dalam Perhimpunan Gerakan Kebangsaan (PGK).

Hadir antara lain Hariman Siregar yang dikenal sebagai aktivis Malari 74, mantan anggota DPR RI sekaligus Ketua Umum PGK Bursah Zarnubi, Pengamat Militer Conni Rakahundini Bakri.

Pembicara lainnya yakni Prof Dr Siti Zuhro dari LIPI, dan Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, LSM pemerhati pemilu di Indonesia.

“Kita harus memikirkan cara-cara untuk mengurangi semua dampak negatif di atas dengan tetap menjaga agar pemilu atau pilkada tetap demokratis dan tetap menjamin hak-hak konstitusional masyarakat,” lanjut Tito.

Baca Juga :  Pj Gubsu Apresiasi Kontribusi Wartawan Sukseskan Pemilu 2024, Ustaz Winda: Jadilah Wartawan Seperti Burung Hudhud Dalam Kisah Nabi Sulaiman

Mendagri Tito memang sangat dikenal serius untuk memperbaiki kulitas demokrasi dan sistem pilkada di Indonesia. Mantan Kapolri ini selalu rajin berdiskusi dengan hampir semua kalangan kompeten untuk mengembangkan sistem pemilu dan pilkada yang efektif dan berkualitas.

Bahkan, atas inisiatifnya, Kementerian Dalam Negeri yang dia pimpin sekarang ini telah menjajaki evaluasi penyelenggaraan pilkada dengan sejumlah universitas dan lembaga penelitian untuk melakukan evaluasi bersifat akademis dan independen terhadap penyelenggaraan pilkada, yang tahun ini akan diselenggararakan untuk keempat kalinya meliputi 270 daerah.

“Salah satu alternatif jalan keluar yang sedang saya pikirikan adalah menerapkan sistem E-Voting di dalam pemberian suara,” tandas Tito yang disambut tepuk tangan peserta yang menyesaki ruang diskusi di sebuah hotel di wilayah Jakarta Selatan itu.

“Sistem E-Voting malah sudah diterapkan di beberapa negara dan bahkan di dalam pemilihan kepala desa di Indonesia dan berhasil,” ungkap Tito.

“Sistem KTP-El di Dukcapil Kemendagri telah menjangkau 98% warga Indonesia yang berhak memiliki KTP yang juga sebenarnya ‘idem ditto’ dengan pemilih.

Sistem akurasi data KTP-El juga sudah dengan ‘double filter’, yaitu dengan identifikasi irisan mata dan sidik jari, sehingga tingkat akurasi sangat tinggi untuk mencegah penduduk untuk memiliki KTP ganda,” kata Tito.

Baca Juga :  Tantangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Merawat Satya Haprabu

“Gejala politik ‘ghost voter’ atau ‘pemilih palsu yang tak berhak’ nyaris tak dimungkinkan terjadi bila dua variabel kontrol KTP, scan irisan mata dan sidik jari, diberlakukan bagi pemilih lewat sistem E-Voting,” ujar Tito.

Artinya, dengan dukungan sistem kependudukan yang sangat akurat demikian, maka daftar pemilih akan lebih mudah namun akurat diintegrasikan dalam sistem E-Voting.

“Lewat E-Voting, kita tak perlu lagi membangun ratusan ribu TPS konvensional, tak membutuhkan kertas surat suara, juga tak membutuhkan ratusan ribu tenaga TPS yang semuanya tentu akan sangat menghemat biaya. Tentu keamanan data sistem E-Voting harus tetap diutamakan,” tandas Tito.

Menanggapi hal itu, Prof Siti Zuhro dari LIPI menimpali bahwa setiap sistem yang dipandang bisa meningkatkan kemudahan dan memperhatikan “keunikan” Indonesia layak dipertimbangkan.

“Inti pemilu, pada prinsipnya, adalah upaya mengkonversi suara pemilih menjadi dukungan elektoral ke kontestaan atau partai. Bila makna ini kita pegang maka kita harus terbuka ke dalam metode-metode yang menjamin efisiensi dan mengurangi dampak buruk yang bisa merusak demokrasi itu sendiri. Kemajuan teknologi seperti E-Voting dapat diadopsi karena hal ini tidak mengurangi hak konstitusional masyarakat,” ujar Siti mendukung ide Tito. (SB/01/rel)

-->