Profesor Hukum USU Sebut Pengancaman Tidak Mesti Pakai Alat

Sentralberita|Medan ~ Dua Profesor bidang hukum dari Universitas Sumatera Utara (USU) dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus pengancaman lewat jasa pembunuh bayaran.
Kedua saksi ahli yakni, Prof. Alvi Syahrin selaku ahli hukum pidana dan Prof Dr. Tan Kamello selaku ahli hukum perdata. Dalam keterangannya di hadapan Hakim Ketua Erintuah Damanik, Saksi ahli Prof. Alvi Syahrin menjelaskan, mengenai Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman.
Ia mengatakan dalam sebagain penggalan isi ayat 1 pada pasal tersebut dijelaskan, ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu kepada seseorang untuk memberikan sesuatu, bisa diancam penjara paling lama 9 tahun.
Bahkan, saat jaksa memberikan sebuah ilustrasi pembicaraan beberapa orang diinisialkan dengan nama A, B, C dan D kepada 3 orang anak, mengenai pembunuhan hanya dengan ucapan kalimat. Hal itu menurut Prof. Alvin Syahrin, sudah bisa disebut pengancaman.
“Dalam pembicaraan itu hanya si A yang ngomong, bilang sama bapakmu nanti ku bunuh kalian sekeluarga. Di situ si B, C dan D hanya meyakinkan. Pengancaman itu disampaikan melalui anak untuk disampaikan ke orang tua. Apakah bisa disebut pengancaman?,” tanya jaksa kepada Prof. Alvi Syahrin.
“Bisa. Pengancaman itu tak perlu alat. Lewat kalimat saja sudah memenuhi unsur ancaman. Misalnya awas kubunuh kau nanti. Itu sudah memenuhi unsur,” jelasnya dengan tegas.
Sedangkan saksi ahli perdata, Prof Dr. Tan Kamello yang dimintai pendapatnya, diminta menjelaskan perbedaan antara jual beli dan tukar menukar berdasarkan hukum perdata.
“Perbedaannya tukar menukar tidak memiliki unsur harga hanya ada barang yang bertukar secara timbal balik antara barang dengan barang,” ucap Prof Tan Kamello.
Kemudian jaksa bertanya, apabila dalam suatu jual beli notaris tidak mengetahui ada penyerahan uang namun sudah tanda tangan apakah itu dibenarkan. Dengan tegas, Prof Tan Kamello mengatakan itu merupakan cacat hukum.
“Kalau tidak ada penyerahan uang, itu cacat hukum. Harus ada penyerahan uang. Dalam jual beli harusnya notaris wajib menanyakan mana uangnya mana barangnya. Karena itu kewajibannya. Baru ditandatangani jual beli itu. Kalau tidak mengetahui, itu namanya notaris ‘asongan’,” pungkas Prof Tan Kamello.
Diketahui, dalam kasus ini, tiga orang yang masih memiliki hubungan saudara menjadi terdakwa karena kasus pengancaman lewat jasa pembunuh bayaran.
Ketiga terdakwa yakni, Anton Sutomo, Sui Kui, dan Citra Dewi berniat ingin menguasai harta korban Ali Sutomo yang tak lain adalah abang kandung mereka. Kasus ini bermula pada tahun 2011 lalu. Saat itu ketiga terdakwa dibantu oleh Harris Anggara (DPO) melakukan pengancaman dengan menyewa pembunuh bayaran guna menguasai harta milik Ali Sutomo.
Namun, karena berada di bawah ancaman, dengan terpaksa Ali Sutomo menyerahkan aset harta miliknya. Akibatnya Ali Sutomo mengalami kerugian sekitar Rp30 miliar. (SB/AFS)