Mendapat Perlakuan Tidak Adil Dari BPN Deliserdang, Petani Ngadu ke Kontras Sumut
sentralberita|Medan – Belasan petani pemilik lahan di Dusun VIII Desa Puji Mulyo dan Dusun Dusun IX Bangun Mulia Desa Medan Krio, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deliserdang kecewa dengan sikap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deliserdang, Sumatera Utara.
Pasalnya, tanah yang mereka kuasai dan usahai sejak puluhan tahun secara turun temurun itu di tolak pendaftarannya oleh BPN dengan alasan objek tanah bersengketa.
R. Karina, ahli waris tanah tersebut menjelaskan bahwa pada tahun 2018, bersama dengan belasan petani lain memohonkan penerbitan sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Pada prosesnya dilakukan pengukuran dan beberapa tanah milik petani telah keluar peta bidang.
“Waktu itu tiba-tiba BPN Deliserdang menolak permohonan kami, dengan alasan ada sengketa di tanah itu. Sempat di mediasi oleh BPN, tapi tidak ada titik temu,” kata R. Karina di kantor Kontras Sumut, pada Rabu (4/9).
Persoalan kembali muncul setelah permohonan para petani ditolak oleh BPN Deliserdang. Dimana BPN Deliserdang menerbitkan surat nomor 1677/3-12.07/VII/2019 tertanggal 23 juli 2019 yang intinya menjelaskan bahwa kelompok yang mengklaim sebagai ahli waris (penyerobot), sudah mengajukan permohonan penerbitan sertifikat dengan nomor berkas 71144/2019, 71145/2019, 71147/2019 dan 71172/2019.
“Dalam surat itu, kami sebagai pemilik tanah yang terkena masalah diminta dalam waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Jika tidak, permohonan sertifikat yang di ajukan penyerobot tanah akan di ditindaklanjuti dan sertifikatnya akan di diterbitkan,” ungkap R. Karina.
Munculnya para penyerobot ini, lanjut R. Karina, berawal pada pertengahan tahun 2014. Saat itu sekelompok orang suruhan (preman) yang mengklaim sebagai pemilik tanah, datang dan menguasai lahan serta melakukan pengrusakan di lahan petani.
“Kasus penyerobotan dan pengrusakan itu kami laporkan ke Polda Sumut. Namun saat itu kasus di hentikan dengan alasan bukan perkara pidana melainkan perdata,” ujarnya.
Padahal, sambungnya, jauh sebelum itu tanah tersebut tidak pernah di klaim oleh siapapun. Sebab tanah pertanian yang saat ini dikuasai oleh petani merupakan bekas perkebunan Sei Semayang Roterdam A, yang habis kontraknya pada tahun 1950.
“Tanah yang habis kontraknya itu, di bangun persawahan dengan nama persawahan tentara bebas tugas pada tahun 1956 yang diketuai oleh Sersan Mayor Efendi Chan. Dan saat itu anggotanya 85 orang termasuk orangtua saya,” kata R. Karina.
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli waris lain, Hendri Ponda. Menurutnya tanah persawahan yang selama ini dikelola dari orangtuanya itu tidak pernah bermasalah sejak tahun 50an. Akan tetapi tiba-tiba orang-orang suruhan itu datang mengkalim tanah tersebut miliknya.
“Mereka datang merusak persawahan kami. Bahkan saya diancam bunuh oleh para orang suruhan itu,” beber Ponda.
Menurut Ponda, tanah yang selama ini dijadikan mata pencarian itu sudah dilengkapi surat-surat. Diantaranya surat dari bupati Deliserdang yang di urus pada tahun 1973, dengan surat keterangan tanah nomor 27948/A/I/12.
Menanggapi persoalan tersebut, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara, M. Amin Multazam Lubis menilai langkah yang dilakukan BPN Deliserdang bukan menyelesaikan masalah, akan tetapi membuat masalah baru.
“Seharusnya BPN bisa lebih Arif dan bijak dalam melihat persoalan mulai dari hulu hingga hilir. Sehingga tidak perlu gegabah menerbitkan surat nomor 1677/3-12.07/VII/2019,” kata Amin Multazam Lubis.
Menurut Amin, persoalan yang dihadapi petani bukanlah persoalan baru. Bahkan petani pernah mengurus penerbitan melalui program PTSL, sekalipun belum ada surat resmi dari BPN untuk menolak penerbitan sertifikat tanah, namun pada intinya BPN Deliserdang tidak menerbitkan sertifikat kepada pengadu.
“Tapi mengapa saat permohonan dilakukan oleh yang mengklaim sebagai ahli waris (penyerobot), justru para petani yang diminta untuk menggugat. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar, ada apa dibalik proses ini?” tegas Amin.
Atas persoalan ini, Kontras Sumut meminta Kepala Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sumatera Utara untuk mengevaluasi kinerja jajarannya khususnya BPN Deliserdang.
“BPN itu seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan konflik agraria, bukan menjadi sumber konflik agraria,” pungkasnya. (SB/M)