Lintasan Sejarah Kenagarian Ranah Nata: Masuknya Bangsa Belanda (Sambungan-7)

Oleh: Heri Sandra-sentralberita|Nala~ 3.Bangsa Belanda.

Kedatangan Bangsa Belanda diakhir tahun 1825 ke wilayah Nagari Ranah Nata adalah sebagai konsekwensi ditandatanganinya Traktat london. Meskipun di dalam perjanjian itu Nagari Nata tidak disebutkan dengan jelas. Namun salah satu point ( point 5 ) pada bahagian pertimbangan pertimbangan dalam Traktat London tersebut berbunyi bahwa:

“Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan mendirikan kantor perwakilan di pulau Sumatra atau membuat perjanjian dengan penguasanya”. Pada kata kata yang bergaris bawah itulah dimasukkan wilayah Nagari Nata.

Pendudukan Belanda atas Nagari Nata terhitung lambat dibanding tetangganya Air Bangis yang sudah dikuasai oleh Belanda semenjak tahun 1756. [Dr S. Muler dan Dr L. Horner di Mandailing tahun 1838.]

Pada Akhir tahun 1842, Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels yang bermarkas di Padang, mengirim seorang Tweede Classe (Kontrolir kelas dua) ke Nagari Nata yang dikenal dengan nama Eduard Douwes Dekker (Multatuli) dalam usia 22 tahun.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), penulis roman kontroversial Max Havelaar yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah bertugas di Nata sebagai controleur kelas dua. Multatuli dalam bahasa Latin berarti “Aku telah banyak menderita”.
Douwes Dekker hanya berdinas satu tahun di Natal. Sewaktu dia sampai di Natal, Douwes Dekker masih muda. Dalam novelnya Max Havelaar, diceritakan kisah percintaannya dengan Upik Ketek yang waktu itu baru berusia 13 tahun, putri seorang Datuk Suku Aceh bertempat tinggal di Taluk Balai yang sering berurusan tentang perkebunan lada dengan Eduard.

Douwes Dekker bertemu dengan Upik Ketek pertama kali pada tahun 1842, ketika terjadi kecelakaan di laut di mana Douwes Dekker menyelamatkan gadis itu dari bahaya maut. Ketika itu dia baru saja menempati posnya di Nata.

Di Taluk Balai yang terletak di sebelah utara Nata terdapat perkebunan lada yang luas. Seperti kita ketahui, lada merupakan barang dagangan maha penting bagi Belanda dan Inggris pada masa itu. Sebenarnya dia tidak begitu senang dengan pekerjaannya, apalagi dia masih awam dalam masalah lada dan perkebunan. Tetapi tugas itu dilakukannya juga.

Oleh karena itu dia sering meminta bantuan seorang datuk (Datuk Suku Aceh) yang mengerti tentang lada dan perkebunan. Dalam melakukan tugasnya, datuk sering ditemani oleh putrinya, Upik Ketek. Melalui kehadiran Upik Ketek inilah hati Douwes Dekker yang senantiasa gundah gulana semakin hari semakin dapat terobati.

Baca Juga :  79 Tahun, Nusantara Baru untuk Indonesia Maju

Selama di Nata, Douwes Dekker kerap kali menyaksikan bagaimana pemerintah Belanda menindas penduduk setempat. Perasaan keadilannya tersentuh sehingga dia ingin membela orang-orang yang tertindas tersebut.

Di kemudian hari, pengalaman batin yang dialaminya itu yang didapat di berbagai tempat di Indonesia, dimulai dari Nata, Sulawesi Utara dan Jawa Barat, dituangkanya dalam buku Max Havelaar.

Diceritakan pula tentang pelabuhan Nata yang tidak dapat “disinggahi” perahu pada bulan Juli, karena angin kencang. Dia beberapa kali mengusulkan kepada atasannya untuk membangun dinding penahan ombak atau membuat pelabuhan buatan di muara sungai Batang Nata agar perdagangan dapat berjalan lancar sepanjang tahun, sehingga setengah juta penduduk di pedalaman tetap dapat menjual hasil bumi mereka, walaupun musim badai tiba. Tentu saja atasannya tidak setuju, dengan maksud Douwes Dekker yang hendak memperbaiki taraf hidup penduduk.

Kadang kala, Douwes Dekker harus bepergian ke tempat-tempat yang jauh dari Nata, seperti ke Barus, Tapus dan Singkil di Utara.

Daerah-daerah tersebut belum lagi aman ketika baru dikuasai Belanda karena masih terpengaruh Perang Padri, apalagi daerah kediaman orang Batak yang benar-benar kacau dan banyak menimbulkan dampak buruk bagi Nata. Kenderaan Douwes Dekker ketika itu hanyalah kuda, sehingga perjalanan menjadi sangat lambat. Selama dalam perjalanan, dia selalu tidur dengan pakaian lengkap agar selalu siap menghadapi keadaan darurat, lagi pula ketika itu terdengar desas-desus tentang adanya komplotan yang hendak membunuh pejabat Belanda dan semua bangsa Eropah di Mandailing.

Konon, awal pergerakan tersebut terjadi di Nata karena di sana banyak tinggal orang-orang kulit putih. Apakah peristiwa itu benar-benar pernah terjadi, tidaklah dapat dipastikan karena Douwes Dekker hanya membaca keterangan-keterangan tertulis darisaksi-saksi.

Karena adanya pengkhiantan, komplotan yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Mandailing terbongkar. Pemimpinnya ditangkap dibawa ke Padang dan dianggap sebagai penjahat yang bersalah terhadap Belanda.

Anehnya, Yang Dipertuan Mandailing tidak diperiksa di sana, tetapi dibawa ke rumah pejabat tinggi Belanda dengan kereta kebesaran. Tak lama waktu berselang,Yang Dipertuan Mandailing dikembalikan ke kampung halamannya.

Baca Juga :  Perempuan Berkemajuan di Tanah Para Pekerja

Di antara pemuka-pemuka masyarakat di daerah Mandailing dan Nata sering terjadi perang dingin yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk kepentingannya.
Douwes Dekker sering melihat proses peradilan yang curang dan kecurangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang mencelakakan penduduk, sehingga dia semakin tidak suka menjalani sisa masa dinasnya. Sebagai contoh, dia (Eduard Douwes Dekker) menyebutkan tentang kasus si Pamaga.

Si Pamaga, anak angkat Sutan Salim didakwah mencoba membunuh Tuanku Nata dan controleur Belanda di Nata.

Menurut cerita, percobaan pembunuhan yang tidak berhasil itu terjadi di rumah Yang Dipertuan Mandailing. Tuanku Nata terlempar dari jendela sehingga terlepas dari bahaya maut. Si Pamaga melarikan diri dan bersembunyi di hutan, tetapi dia ditangkap polisi Nata.

Dalam pemeriksaan, Si Pamaga mengaku diupah oleh Sutan Adam. Hukuman berat lalu dijatuhkan kepada Si Pamaga. Dia dibuang ke Jawa atas perintah Residen Belanda.
Kelak diketahu, Si Pamaga belum pernah bertemu, baik dengan Sutan Adam maupun dengan abang/kakaknya, Yang Dipertuan Mandailing. Dia juga tidak pernah menyerang Tuanku Nata dan Tuanku Nata pun tidak pernah terlempar dari jendela untuk menghindari seorang pembunuh. Dia terpaksa membuat pengakuan ini oleh para pejabat Belanda.

Pada pertengahan tahun 1843, Douwes Dekker dipangil menghadap Jenderal Michiels, Gubernur Belanda saat itu, di peristirahatannya di Padang. Dia langsung dimarahi dan dicaci maki sebagai pegawai yang tidak setia karena menggelapkan uang dinas. Dia juga dituduh memeras beberapa orang Cina dan tokoh pribumi serta sejumlah serdadu Belanda di Natal.

Selain itu Douwes Dekker dianggap congkak dan sering meninggalkan posnya pada saat diperlukan. Douwes Dekker tidak dapat membela diri karena Gubernur tidak berminat mendengarkan keterangannya. Dia juga tidak diinzinkan menghadirikan saksi-saki untuk pembuktian, bahwa tuduhan Gubernur tidak benar.

Selanjutnya, dia diskors dan tidak diperbolehkan kembali ke Nata. Untuk sementara, dia diperbantukan kepada Residen Padang. Kemudian dia dipindahkan lagi ke pegunungan sampai pemeriksaan perkaranya selesai.Bersambung…(Penulis adalah aktifis penggiat sosial dan mantan wartawan).

-->