Problem PT. PP LONSUM dan Masyarakat di Sumut Bisa Melegitimasi Aturan Uni Eropa


Oleh Ridho Suwarno
Ketua DPD IMM SUMUT

Oleh: Ridho Suwarno-sentralberita|Medan~Fenomena sawit di dunia internasional menjadi polemik, pasalnya Uni Eropa memberlakukan aturan Renewable Energy Directive II (RED II) pada bulan Mei lalu, imbasnya adalah pengurangan penggunaan sawit mulai dijalankan hingga menjadi 0% pada tahun 2030 mendatang. Ditambah lagi rencana Uni Eropa menerapkan bea masuk imbalan sementara pada produk biodiesel Indonesia 8-18%. 

Skema Aturan Uni Eropa diantara nya

  1. UE harus menggunakan energi terbarukan disetiap sektor industri dan termasuk kedalamnya moda transportasi. Dimana, UE harus mencapai 32% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2030.
  2. Minyak sawit termasuk kedalam kategori bahan bakar nabati beresiko tinggi, sehingga penggunaanya dibatasi hingga ke tingkat yang paling memungkinkan.
  3. Mulai Januari 2024, perhitungan terhadap komoditas beresiko tinggi alias minyak sawit akan diturunkan secara bertahap hingga penggunaan 0% pada tahun 2030.

Ketiga inti peraturan yang berkaitan dengan minyak sawit tersebut secara langsung mempengaruhi industri sawit Indonesia dan menghambat proses ekspornya ke UE.

Akibatnya, permintaan dunia akan minyak sawit juga ikut menurun akibat dari efek domino aturan UE tersebut.

Pemerintah Indonesia bersama dengan Dewan negara-negara penghasil minyak kelapa sawit (CPOPC) sedang berusaha menggugat WTO mengenai pajak sawit yang sedang dirancang dan akan di sahkan Eropa.

Tentu langkah ini ini juga harus di dukung oleh pemerintah daerah khususnya di Sumut, karena Sumatera Utara (Sumut) menjadi salah satu penghasil terbesar kelapa sawit terdapat 1,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Sumatera Utara.

Baca Juga :  Kepmenaker Nomor 76 Tahun 2024: Menciptakan Hubungan Industrial dan Demokratis yang Berlandaskan pada Nilai-Nilai Pancasila

Lalu terdapat 2,1 hektar lahan perkebunan kelapa sawit. Dari Jumlah tersebut terdapat produksi perkebunan kelapa sawit hingga 15,8 ton dan produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPU) 5,5 ton.

Di Sumatera Utara terkait perkebunan kelapa sawit masih banyak terjadi terkait sengketa tanah antara masyarakat dan perkebunan, kemudian CSR Perkebunan yang tidak transparan dan tepat sasaran. Problem seperti ini jangan justru menjadi penghambat pemerintah pusat dalam melakukan upaya negoisasi.

Ada kasus yang harus juga menjadi perhatian pemerintah Sumatera Utara yaitu sengketa PT. PP LONSUM GUNUNG MELAYU ESTATE dengan Masyarakat Desa Gunung Melayu Dsn III Bukit Kijang, Kecamatan Rahuning Kabupaten Asahan.

74 Tahun Merdeka masyarakat Desa Gunung Melayu Dsn III Bukit Kijang sampai saat ini belum mendapatkan hak nya untuk merasakan penerangan Listrik PLN. Padahal listrik merupakan hak dasar masyarakat, kemudian Menteri ESDM menargetkan rasio elektrifikasi listrik mencapai 99,9% tahun 2019 sampai ke pelosok desa.

Proses masuknya jaringan Listrik PLN di Desa Gunung Melayu Dsn III Bukit Kijang terhambat karena melewati perkebunan PT. PP LONSUM GUNUNG MELAYU ESTATE dan harus dilakukan penebangan dengan pertimbangan keselamatan.

Baca Juga :  Rahudman Sosok yang Tepat Kembali Pimpin Kota Medan 2024 - 2029

Untuk melakukan nya harus mendapatkan persetujuan dan ganti rugi kepada PT. PP LONSUM yang tidak sedikit. Masalah seperti akan menjadi catatan buruk bagi pemerintah pusat dan Sumatera Utara khususnya jika sampai terdengar sampai eropa.

Jika dikaji kebermanfaatan sawit secara ekologi merupakan tanaman monokultur yang banyak menyerap air mengakibatkan tanaman disekitarnya mati, secara sosial antara perkebunan sawit dengan masyarakat menciptakan sekat dan kesenjangan sosial ini tentu tidak baik dan bisa memicu konflik yang besar, secara ekonomi hanya perkebunan sawit yang mendapatkan manfaat namun tidak sampai kepada masyarakat karena CSR tidak transparan dan tepat sasaran.

Sebagai negara agraris tanaman palawija adalah tanaman asli indonesia, sedangkan tanaman sawit adalah tanaman yang berasal dari Afrika yang di bawa oleh belanda pada tahun 1848 sampai sekarang masyarakat tercerabut dari akarnya yang merupakan masyarakat dari negara agraris. Pemerintah dalam hal ini Eksekutif dan legislatif harus segera menyikapi secara serius, karena masyarakat butuh kepastian penerangan dan juga akan menjadi senjata bumerang bagi Indonesia dan bisa melegitimasi setiap aturan Uni Eropa.(Penulis adalah ketua DPD IMM Sumut)

-->