Analisis Pengungkapan Komplotan Begal: Terbebas dari Rasa Takut yang Utama Bagi Warga
sentralberita|Medan~Beberapa hari terakhir, warga dunia nyata,terkhusus di Medan dan juga dunia maya (netizen) sedang menjadikan berita keberhasilan Polrestabes Medan dan Polsek Medan Timur dalam mengungkap komplotan begal yang disebut-sebut polisi terbilang sadis.

Istilah komplotan dipakai polisi karena memang sesuai defenisi KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), berkonotasinegatif, yakni persekutuan secara rahasia untuk melakukan tindak kejahatan
Tapi nanti dulu. Yang menjadikan berita kejahatan konvensional ini menjadi ‘besar’ bukan karena faktor komponen What dalam piramida sistem penulisan berita standar.
Kejahatan jalanan ini menjadi vital di sejumlah jaringan media sosial dan juga media mainstreame lebih karena faktor How nya.
Betapa tidak. Teknis pengungkapan kejahatan berkategori pencurian dengan pemberatan (curat) ini-meski bukan hal baru di kepolisian- nyaris langka dipergunakan dan ‘terekam’ dalam pengetahuan publik, yakni penyamaran (undercover) “bertukar peran gender”. Polisi pria berpenampilan sebagai wanita guna memunculkan “stimulus” (rangsangan) kepada komplotan begal ‘memangsanya’ .
Sudah menjadi rahasia umum kalau kompolotan-kompolotan begal menjadikan wanita sebagai target operasi mereka. Faktor lemah secara fisik menjadi orientasi dan alasan utama wanita kerap menjadi objek “eksploitasi” kejahatan.
Ternyata teknis ‘sederhana’ ini terbilang efektip. Komplotan begal berhasil dilumpuhkan.
Laporan demi laporan kejahatan jalanan di kota Medan kerap diterima polsi, namun polisi kesulitan mengungkap dan mengidentifikasi siapa-siapa saja-setidaknya- aktor lapangan .
Namun tanpa butuh “rusa” dan sebagainya, dengan bios (biaya operasional) seadanya, Polrestabes dan Polsek Medan Timur sudah bisa ‘melumpuhkan’ kompolotan ini.
Jadilah teknis “sederhana” yang mungkin kerap kita saksikan di layar kaca, baik di film maupun sinetron di layar kaca menjadi sesuatu yang terbilang luar biasa tadi. Lalu belakangan mengapa jadi “kontra-versial” ?.
Karena sebagian warga memberi apresiasi kepada jajaran kepolisian, dan sebagian menyayangkan polisi mem-viralkan teknis seperti ini.
Pasti lah masing-masing ‘faksi’ memiliki argumentasi untuk menjustifikasi pandangannya. Yang pro melihatnya sebagai terobosan .
Sementara yang kontra melihatnya dari sisi “criminal awareness”, dimana para pelaku begal menjadi tersadar dan lebih hati-hati saat beraksi.
Konfrontasi pandangan-pandangan dalam kehidupan bermedia masyarakat saat ini menjadi sebuah realitas yang tidak terhidarkan.
Menganggap pandangannya sebagai sebuah kebenaran dan menilai pandangan orang lain sebagai sesuatu yang salah sangat lumrah karena belum ada ‘wasit’ yang bisa menghentikan ‘perang argumentasi’ saat produk informasi digital itu masih berada di objeknya yakni di dunia maya, selain jika salah satu dari para pihak membuat laporan ke pihak yang berwajib.
Lantas apakah dengan aneka pandangan dan argumentasi saling berseliweran tersebut polisi menjadi ‘patah arang’ dengan hasil kerja yang sudah dilakukan ? off course No. Malah sebaliknya, seharusnya keberhasilan cara ini harus dlihat dari sisi positif dengan melihatnya dari efek positif dari teknis ‘sederhana’ ini.
Terhindar dari Rasa Takut menjadi idaman dan harapan di dalam diri setiap orang, tak terkecuali warga kota Medan yang kerap menjadi incaran para pelaku kejahatan jalanan belakangan ini. Ada semacam fear kognitif effect atau membangun efek pemikiran ketakutan kepada para pelaku begal. Para pelaku begal semakin was-was saat beraksi karena kekhawatiran bahwa korbannya tak lain dan tak bukan ‘wanita KW’.
Dan bukan sebaliknya, warga dan polisi berkonfrontasi mendebatkan perlu atau tidaknya teknik-teknik pengungkapan kejahatan di kepolisian diumbar ke publik. Polisi pasti mempunyai pertimbangan matang untuk membuka teknik semacam ini.
Karena di internal kepolisian sangat banyak teknik-tekknik pengungkapan kejahatan yang memang sesuai SOP nya tidak bisa dikonsumsi publik, baik untuk kejahatan konvensional maupun kejahatan non konvensional.
Warga boleh dan sah-sah saja menilai karena memang menjadi hak warga juga untuk menilai lembaga yang difungsikan untuk melindungi keamanan diri dan harta benda warga ini. Namun kohesi social dengan memberi punish dan reward kepada kepolisian secara proporsional, harus menjadi komitmen bersama untuk menciptakan rasa aman di kota tercinta ini.
Biarkan aparat keamanan menjalankan fungsinya sebagai pemberi rasa aman kepada warga dengan tetap memberi kontrol yang proposional. Karena sekali lagi, keamanan menjadi tujuan bersama kita. Apa dan bagaimana cara polisi mengungkap, yang pasti punya pijakan yang terukur. Karena keamanan sangat mahal ‘harganya’. Terbebas dari rasa takut itu yang utama. (Penulis adalah Edi Iriawan)