Ekspor Sumut Turun 15,63 Persen


Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kemendag Marolop Nainggolan memberikan cenderamata kepada Kabid Perdagangan Luar Negeri Deperindag Sumut Parlindungan Lubis di hotel Le Polonia Medan Kamis (2/5).

sentralberita|Medan~Kinerja ekspor Sumatera Utara pada bulan Pebruari 2019 mengalami penurunan dibandingkan bulan Januari 2019, yaitu dari 682,28 juta dolar AS menjadi 575,62 juta dolar AS atau turun sebesar 15,63 persen.

Kenaikan nilai ekspor Sumatera Utara pada bulan Pebruari 2019 terhadap Januari 2019 terjadi pada golongan buah-buahan (HS 08) sebesar 951 ribu dolar AS (7,22 persen).

Hal itu dikatakan Gubsu Edy Rahmayadi dalam sambutan tertulis dibacakan Kabid Perdagangan Luar Negeri Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Deperindag) Sumut Parlindungan Lubis sekaligus membuka acara Focus Group Discussion (FGD) Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI di Hotel Le Polonia Medan Selasa (30/4).

FGD Kemendag bertema “Penyebarluasan informasi manfaat kerjasama pengembangan ekspor bagi Pemda dan pelaku usaha di Sumut” dihadiri Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kemendag Marolop Nainggolan dan pengusaha kecil Choad yang bergerak di bisnis bumbu andaliman. Dalam FGD itu Kemendag ingin mendapat masukan bagaimana hubungan kelembagaan Pemda dan pelaku usaha terkait ekspor.

Gubsu dalam sambutannya menyebut untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing produk ekspor, pemerintah melalui Kemendag telah melakukan kebijakan hilirisasi, yaitu komoditi / produk yang akan dieskpor tidak lagi dalam bentuk raw material/bahan baku melainkan sudah dalam bentuk barang setengah jadi atau barang jadi.

Baca Juga :  Poldasu Selama Bulan Puasa akan Tingkatkan Patroli agar Tetap Kondusif , Petasan Dilarang

“Kebijakan hilirisasi bertujuan untuk membangun industri dalam negeri dan untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri,” ungkap Gubsu.

Adapun kebijakan kebijakan lain yang telah diupayakan oleh pemerintah, yaitu : tarif, subsidi ekspor, pembatasan impor, pengekangan ekspor sukarela ( valuntary restraint agmement), dan persyaratan kandungan lokal. dengan adanya kebdakan yang
diupayakan pemerintah dalam kegiatan ekspor impor, maka tujuan dan target pun diharapkan tercapai.

Bagi pemerintah (pemerintah pusat dan daerah) nilai ekspor merupakan salah satu indikator kinerja ekonomi yang harus ditingkatkan untuk memutar roda perekonomian yang perlu menjadi perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah.

Gubsu menyebut dalam kegiatan yang tingkat kompleksitasnya tinggi, banyak kepentingan yang harus dipenuhi di dalamnya. banyak permasalahan yang bisa berkembang menjadi hambatan yang serius dalam menjalankan usaha. Untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang baik dari semua pihak agar tujuan dan kepentingan masing-masing dapat dicapai.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sangat mendukung setiap kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan ekonom Sumatera Utara,” katanya.

Baca Juga :  Jelang Lebaran, KPPU Minta Maskapai Tidak Naikkan Harga Tiket Pesawat 

Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kemendag Marolop Nainggolan mengatakan secara nasional transaksi ekspor pada tahun 2018 mencapai 14,79 miliar dolar AS, naik 4 kali lipat dibanding tahir 2017.

Saat ini, kata Marolop, Kemendag memiliki kantor perwakilan di 23 negara dan 19 Atase Perdagangan. Kemendag tidak hanya sebagai institusi pemerintah melainkan sudah sebagai agen perdagangan di luar negeri. “Untuk itu dalam FGD ini kami juga ingin mendapat masukan kendala pelaku usaha di Sumut,” ungkap Marolop.

Choad, salah seorang pelaku UMKM di Sumut pada FGD itu mengatakan usahanya kuliner spesial memproduksi sambal andaikan, khas Batak. Ia sudah 9 tahun menemaninya dan peminatnya luar biasa.

Pemasarannya sudah sampai ke berbagai wilayah di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua, bahkan ke Thailand dan Taiwan. “Banyak.orang Batak di Taiwan yang menyukai sambal andaliman,” kata Chord.

Kendalanya menurut Chaod, ekspor ke putar negeri agak repot karena mereka minta kelengkapan sertifikasi bahan-bahannya yang beragam. Padahal untuk sertifikasi satu jenis bahan saja butuh biaya Rp100 juta.
“Akhirnya kami fokus penjualan ke lokal saja dengan tambahan produksi bawang goreng,” kata Choad. (SB/wie)

-->