JPPR Ungkap Rendahnya Partisipasi Masyarakat Menggunakan Hak Pilihnya

Sentralberita| Medan~Tingkat partisipasi pemilih tampak ironis di tengah sejumlah langkah yang telah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mendorong penigkatan partisipasi pemilih. Contoh yang paling ekstrim adalah Kota Medan.
Hal itu disampaikan oleh Koordinator Provinsi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sumatera Utara Darwin Sipahutar ketika tampil sebagai pembicara pada Sosialisasi Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Sumut Tahun 2018, di Hotel Madani, Medan, Jumat (11/5/2018).
Selain Darwin Sipahutar, Anggota Bawaslu Sumut Aulia Andri dan Anggota KPU Sumut Benget Silitonga juga tampil sebagai pembicara pada sosialisasi yang diselenggarakan oleh JPPR Sumut bekerja sama dengan KPU Sumut itu, dengan moderator Elsuhaimi.
Dijelaskan, sejak Tahun 2014 KPU telah menciptakan skema-skema seperti Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) untuk mengatasi sulitnya verifikasi dalam penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kemudian sejak Tahun 2015, KPU telah menerapkan pilkada serentak.
Namun, skema yang dirancang untuk mengurangi intensitas pemilu sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, ternyata belum efektif.
“Tahun 2015 ketika pilkada untuk pertama kalinya diselenggarakan secara serentak di 206 daerah (provinsi, kabupaten, kota), rata-rata tingkat partisipasi hanya mencapai 64,02 persen. Dengan kata lain, rata-rata tingkat pemilih yang tidak hadir di TPS mencapai 35,98 persen,” papar Darwin Sipahutar.
Walaupun pada Tahun 2017 rata-rata tingkat partisipasi dalam pilkada serentak di 101 daerah naik menjadi 74,5 persen, namun hal yang sama belum tentu terjadi di Tahun 2018 ketika pilkada serentak diagendakan di 191 daerah.
Hal ini karena sejumlah daerah yang akan berhadapan dengan Pilkada Serentak Tahun 2018 masih memiliki problem rendahnya rata-rata tingkat partispasi dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan dalam beberapa tahun terakhir.
“Contoh yang paling ekstrim adalah Kota Medan. Jika dalam pemilu nasional Tahun 2014 tingkat ketidakhadiran pemilih di kota ini mencapai 46,50 persen (pemilu legislatif) dan 41,50 persen (pemilu presiden), tidak demikian halnya dengan capaian saat pemilu kepala daerah,” papar darwin Sipahutar.
Satu tahun sebelum pemilu nasional, tepatnya saat Pilkada Gubernur Sumut Tahun 2013, tingkat partisipasi di Kota Medan sangat rendah yaitu hanya 36,62 persen. Dengan kata lain, tingkat abstain pemilih saat itu mencapai 63,38 persen. Sementara pada Pilkada Wali Kota Medan Tahun 2015, angka partisipasi anjlok hingga titik 25,38 persen, atau dengan kata lain tingkat abstention melonjak hingga 74,62 persen.
Apa sebenarnya yang menyebabkan apatisme sehingga mendorong pemilih untuk abstain? Menurut Darwin Sipahutar, ada beberapa penjelasan untuk ini. Misalnya saja yang terkait dengan kepuasan pemilih terhadap performa pemerintah.
“Studi komparatif yang dilakukan oleh Tilman (2008) terhadap sistem elektoral di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat (yang menyelenggarakan pemilu antara Tahun 1996 hingga 2002) menemukan bahwa penilaian masyarakat terhadap performa pemerintah dalam bidang ekonomi menentukan pilihan mereka terhadap partai politik, juga keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir dalam pemilu,” papar Koordinator Provinsi JPPR Sumut Darwin Sipahutar. (SB/Husni L)