Sejumlah Regulasi Hambat Kerja Penegak Hukum
Sentralberita| Jakarta~ Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, tak semua regulasi di Indonesia membantu meringankan penanganan perkara.
Menurut dia, ada beberapa di antaranya yang justru terkesan menghambat penegakan hukum.
Regulasi tersebut kerap dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk mengulur proses hukum hingga lolos dari jeratan hukum.
“Banyak kejahatan sekarang yang memanfaatkan kelemahan dan celah undang-undang atau regulasi dan peraturan yang ada,” ujar Prasetyo di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (9/1/2018).
“Terjadi dinamika perundangan yang justru tidak membuat penegak hukum semakin mudah. Tapi semakin berbelit-belit dan sulit,” lanjut dia.
Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitsusi No. 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.
Putusan itu diambil atas uji materi terhadap Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Prasetyo mengatakan, putusan itu kontraproduktif dalam penegakan hukum. Menurut dia, PK yang diajukan jaksa bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hukum.
“Ketika harus ada yang diluruskan dari PK ketika ditemukan hal baru, yang itu kalau sebelumnya tidak ada putusan hakim, patut diajukan. Tapi jaksa tidak dibenarkan mengajukan PK,” kata Prasetyo.
Selain itu, Prasetyo juga mempersoalkan perluasan objek praperadilan.
Gugatan atas penetapan tersangka seolah menjadi tren saat ini.
Meski tersangka memiliki hak untuk menguji tindakan penegak hukum, namun Prasetyo menganggapnya sebagai upaya tersangka untuk mengulur proses hukum.
“Ada saja alasannya, yang penting memperpanjang (waktu). Syukur-syukur menang,” kata Prasetyo
Mantan politisi Partai Nasional Demokrat itu meyakini bahwa penyidiknya telah bekerja maksimal dalam penanganan perkara.
Minimal dua alat bukti sudah dikantungi untuk menetapkan tersangka.
Prasetyo juga menyinggung soal terhambatnya eksekusi mati terhadap terpidana yang divonis hukuman mati di pengadilan.
Dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi, seseorang paling lambat mengajukan grasi setahun setelah keputusan berkekuatan hukum tetap.
Namun, dalam peraturan baru, tak ada batasan waktu seseorang mengajukan grasi.
“Ini menjadi problem kami. Kalau dulu satu tahun tidak mengajukan dianggap tidak menggunakan haknya. Begitupun PK yang bisa diajukan lebih dari sekali,” kata Prasetyo.
“Betapa banyak regulasi yang sering membuat penegakan hukum jadi tersendat dan sulit dilaksanakan,” lanjut dia.
Kamis (14/12) siang Hakim Kusno telah mengugurkan praperadilan yang diajukan Setya Novanto. (SB/kom)