Media Harus Ikut Andil Memberikan Perlindungan Perempuan dan Anak

Hal itu dikatakan Kepala Dinas (kadis) Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Sumatera Utara Hj Nurlela, SH, MAP kepada wartawan dalam Pelatihan PUG, PP bagi SDM media Sumut di Hotel Four Points Jalan Gatot Subroto Medan, Selasa (12/9).
Pelatihan yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut dengan peserta wartawan dan kalangan blogger berlangsung selama dua hari.
Turut hadir membuka acara Ketua PWI Sumut H Hermansyah, SE dan Sekjen PWI Pusat Hendrik CH Bangun selaku pembicara.
Menurut Nurlela, masalah perempuan dan anak, termasuk penyimpangan perilaku seperti seks menyalah, sodomi anak-anak serta berbagai kasus lainnya, semuanya karena faktor ekonomi.
“Ini yang perlu kita tangani, bagaimana membuat berita dan tulisan itu yang mendukung keberdayaan perempuan dan anak, bukan menyudutkannya,” kata Nurlela.
Disebutkannya, saat ini budaya patriaki (laki-laki mendominasi) dimana hampir seluruh
bidang, sektor yg diterjuni, tak lepas dari kontrol laki-laki.
“Budaya patriaki, tercermin dalam pemberitaan media massa lainnya. Padahal media massa cermin dari kontrol masyarakat,” katanya.
Menurutnya, budaya ini secara sadar atau tidak turut memberikan andil dalam kehidupan sehari-hari maupun pemberitaan. Padahal perempuan tak bisa lepas dari pemberitaan.
“Media bisa jadi alat efektif dalam mensosialisasikan gender, perlindungan perempuan dan anak,” katanya.
Nurlela menilai banyak media yang jadi propaganda kasus-kasus perempuan dan anak. Ia mengharapkan media dapat lebih cerdas lagi melihat kasus-kasus tersebut.
Disebutkannya, pihaknya kedepan berkomitmen tiga program dapat terealisasi, seperti akhiri kekerasan anak, akhiri perdagangan orang
dan akhiri ketimpangan ekonomi.
“Di 33 kabupaten/kota di Sumut, kita sudah tunjukkan kabupaten layak anak,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya jurnalis dan institusi media perspektif dalam masalah perempuan dan anak. Perlu perubahan paradigma dalam pencitraan perempuan dan anak. Sebab selama ini perempuan selalu jadi objek publik. Jadi sekarang perlu menjadi subjek dan menjadi peran dalam pembangunan.
“Jurnalis mengambil peran strategis dalam pengambilan keputusan di masyarakat,” katanya.
Nurlela Menyebutkan, berbagai upaya dilakukan pemerintah antara lain kerjasama (MoU) provinsi se-Sumatera dengan 5 provinsi; Jateng, Jabar, Jatim, NTT, NTB dan Sulawesi kesepakatan tentang penanganan perempuan dan anak korban kekerasan khususnya kekerasan dalam bentuk pidana dan perdagangan orang.
Sementara itu, Sekjen PWI Pusat Hendri CH Bangun mengatakan, perlakuan terhadap pelemahan perempuan sebenarnya sudah terjadi di dalam lingkungan rumah seperti kalau menyapu, memasak dan bersih-bersih lainnya selalu dilakukan anak perempuan.
Namun, Hendri tetap meminta wartawan agar dalam pemberitaannya selalu menyamarkan korban perempuan dan anak. Wartawan selalu menyebut nama “bunga”, “melati” atau “mawar” dalam identifikasi korban perempuan, sebaiknya sebut saja “seorang perempuan”, “seorang anak” atau “korban” yang menggambarkan identitas korban. Pemuatan gambar yang disamarkan juga ikut membuka identitas korban.
Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), kata Hendri, tertulis wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Wartawan harus sungguh-sungguh melindungi korban kejahatan susila, apalagi masih tergolong anak-anak.
“Berita yang terlalu vulgar saat pelaku melakukan kejahatan susila dapat menambah trauma dan penderitaan korban dan menimbulkan copy cat,” kata Hendri.
Selain itu, masalah karir perempuan yang meningkat, sebagainya ditulis dari sisi kehebatan perempuan itu, bukan sisi lainnya. Seperti judul berita “Rektor Perempuan Pertama Di Riau Jalankan Pesan Ayah”. Dari judul seolah-olah perempuan ini hanya jalankan pesan ayah, bukan karena kehebatan karirnya atau dirinya yang pintar. “Inilah yang namanya bias gender ada dalam diri kita sebagai wartawan,” jelas Hendri.
Jadi menurut Hendri, kita sudah terpola sejak dari rumah, sekolah sampai kerja. Sebaiknya melihat korban perempuan dan anak, wartawan harus ada empati.
Hendri memaparkan Tanzania sudah membuat model kode etik gender yang dikeluarkan Dewan Media Tanzania berlaku sejak tahun 2009. Isinya antara lain perusahaan pers harus memberi ruang yang adil dan setara bagi pria dan wanita dalam peliputan. Media siaran harus meningkatkan program spefisik gender dan program yang menggugat steorotipe gender. (SB/lin)