Hendrik: Indonesia Akan Kacau Jika Komitmen Kebangsaan tidak Dirawat

Hendrik Halomoan Sitompul

Sentralberita| Medan~ Indonesia akan terus berada dalam situasi kacau dan carut marut jika komitmen kebangsaan tidak bersatu untuk merawatnya.

“Karenanya, seluruh warga negara Indonesia diminta untuk tetap bersatu merawat komitmen kebangsaan.Dengan langkah utamanya harus mempedomani Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi falsafah hidup,”ujar Hendrik Halomoan Sitompul menyikapi peringatan Hari Kebangkitan Nasional kepada wartawan, Sabtu (20/5/2017).

Menurut Ketua Umum DPD Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (DPD ISKA) Sumut ini, semua warga Negara Indonesia apapun suku, agama, ras dan golongan diharuskan merawat komitmen kebangsaan itu. Bangsa ini juga tidak boleh membiarkan nilai nilai yang bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tumbuh subur.

Dikatakan, anggota Fraksi partai Demokrat DPRD Medan ini peringatan Kebangkitan Nasional pada 2017 menemukan momentumnya setelah bangsa Indonesia secara langsung ataupun tidak langsung terbelah karena dinamika Pilkada DKI Jakarta serta dibubarkannya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Semua warga negara apapun suku, agama, ras dan golongannya memiliki hak yang sama untuk hidup di Indonesia. Tidak ada kelompok mayoritas ataupun minoritas. Kekuatan Pancasila sebagai dasar negara menjadi jelas ketika kelompok mayoritas dan minoritas menjadi satu bangsa. Nilai Kebangsaan Indonesia terletak pada Bhinneka Tunggal Ika dan bukan azas yang lain,” ujar Hendrik Sitompul yang juga Alumni PPRA 52 Lemhannas RI.

Baca Juga :  Manulife Indonesia Kembali Resmikan Kantor Pemasaran Mandiri di Medan

Ditambahkan, bangsa Indonesia tidak akan mungkin menjadi bangsa besar ataupun kuat dan kemudian mampu memenangi Perang Generasi Ke-IV (The Fourth Generation Warfare) atau disebut Proxy War jika cara berpikirnya masih berlandaskan nilai mayoritas dan minoritas. Namun bagi warga negara Indonesia harus ada “Bangsa Yang Besar dan Kuat” dan ditakdirkan untuk memenangkan perang tersebut.

Perang Generasi Ke-IV diawali dengan adanya pengaburan garis antara perang dan politik, tentara dan sipil, sehingga sulit menentukan metode perang yang akan digunakan.

Dalam perang ini, perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sehingga, akan sulit membedakan antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak dan diam-diam dengan menggunakan ekonomi, pendidikan ataupun budaya.

Baca Juga :  Indonesia Solar Summit 2024: Perkuat Rantai Pasok Industri Surya Lokal

Karena itu, Perang Generasi Ke-IV ini bukanlah perang senjata super canggih (hard power) tetapi justru menemukan bentuk baru dengan menyerang kelemahan pihak musuh (bangsa).

Ciri utama Perang Generasi Ke-IV adalah menurunnya loyalitas terhadap negara dan sebagai gantinya adalah meningkatnya loyalitas alternatif, seperti kepada agama, suku, etnis, geng, kelompok atau ideologi tertentu.

“Hanya dengan merawat komitmen kebangsaan, Indonesia dapat memenangkan perang ini. Negara ini aslinya merupakan pinjaman dari generasi mendatang yakni anak cucu kita. Jika saat ini, kita tidak dapat menjamin bahwa Tanah Air dan Negara Indonesia dengan segala kekayaannya adalah milik generasi mendatang.

Artinya, kita semua adalah para pihak yang berada dalam Perang Generasi Ke-IV itu. Yang akan memenangkan perang itu bukan bangsa Indonesia tetapi bangsa Asing yang menggunakan diri kita sebagai alatnya,” tegas Hendrik.(SB/01)

Tinggalkan Balasan

-->